Share

4. Tak sesuai harapan

Melihat pemuda itu keluar, gegas Nuha mempercepat waktunya untuk mengenakan pakaian yang mungkin sudah tak laik disebut pakaian.

Hanya saja pakaiannya tampak sekali dirobek paksa dan khimarnya pun terlihat sudah tak utuh.

Nuha menatap dirinya di cermin dengan tatapan yang merana.

Bagaimanapun caranya, dia harus pergi dari tempat tersebut secepat mungkin sebelum dia mengalami kejadian semalam terulang kembali. Atau mungkin ... Daniel Dash dan kawannya akan segera datang meminta jatah untuk tidur bersamanya? Seingatnya, Daniel Dash sudah mengutarakan isi hatinya ingin menidurinya dengan terang-terangan tanpa rasa malu.

Seketika, Nuha merasa sakit yang luar biasa di bagian sensitifnya. Namun, ditahannya itu semua karena teringat bahwa dia harus kuat sampai keluar dari kandang singa itu.

"Arrghh." Ringisan sakit tanpa sengaja terlepas begitu saja kala merasakan sesuatu mengalir di pangkal pahanya. Hanya saja, Nuha tak berniat mengeceknya. Dia sudah merasa sangat terhina dan kotor.

Menangis pun percuma. Semua sudah terjadi.

Perlahan, dia membuka pintu kamar itu dan menengok ke kanan dan kiri, memastikan pemuda tadi menunggunya. Pemuda tadi rupanya kini sedang berjalan menuju pantry. Melihat itu, Nuha langsung menyasar pintu keluar dan berlari dengan kaki telanjang.

'Allah, maafkan aku, ini adalah kesalahanku karena tidak patuh pada Ummi,' batin Nuha terus berlari ke arah jalan beraspal. Dia kelihatan linglung. Gadis itu sendiri tidak tahu sekarang berada di mana.

'Aku di mana ya Allah? Aku harus segera bertemu Mas Attar. Dia mungkin satu-satunya orang yang akan melindungiku. Bukankah dia mencintaiku karenaMu, ya Allah.'

Nuha bersenandika dan sesekali bergumam nama calon suaminya, Muhammad Attar.

Baginya, Attar harus tahu apa yang terjadi padanya. Nuha merasa sosok pelindungnya itu tak akan meninggalkannya begitu saja. Attar sudah berjanji akan sehidup semati dalam ikatan pernikahan karena dia akan senantiasa mencintai Nuha karena Allah.

Ia terus berlari, hingga....

TIN!

Suara klakson mobil terdengar melengking.

Karena Nuha kurang berhati-hati saat berjalan di pinggir jalan, dia bahkan nyaris tertabrak mobil yang melaju kencang.

"Maaf," ucapnya tak enak.

Nuha lalu memerhatikan sekeliling.

Tampak sekali fajar baru menyingsing dan jalanan tampak lengang. Hanya sesekali truk raksasa yang mengangkut barang antar kota lewat.

Kala melihat perbukitan, seketika dia merasa sedikit lega.

'Bogor,' batinnya yakin saat ini masih berada di daerah Puncak. Ada banyak pohon pinus terlihat. Dan, ternyata daerah tersebut kebetulan dekat dengan rumah Attar.

Nuha pun terus berjalan karena tak mungkin ada kendaraan umum sepagi itu dan dia tidak punya uang.

Dia bahkan tidak tahu keberadaan tas miliknya.

Nuha merasa kelelahan dan tubuhnya nyaris ambruk ke jalan. Namun, dia tak menyerah.

Dia memilih duduk di sebuah bangku halte bus yang kosong.

"Arrgh...." Dia meringis saat baru sadar kakinya yang telanjang telah menginjak bebatuan agregat yang runcing dan pecahan beling.

Darah mengalir segar di kakinya.

Nuha pun merobek paksa bagian ujung khimarnya untuk mengikat kakinya.

Dia harus bertahan sampai mendapat tumpangan gratis dari angkutan umum. Semoga saja ada orang yang berbaik hati menolongnya yang tengah kesulitan.

Sebuah angkot berwarna hijau berhenti setelah melihat Nuha melambaikan tangannya.

“Pak, saya minta tolong, antar ke Perum Istana Sutan Raya. Saya tak punya uang soalnya dirampok.”

Nuha berdusta. Dia tak mungkin mengatakan bahwa dia baru saja menjadi korban pemerkosaan pemuda asing di sebuah villa.

“Kasihan itu si Neng, Kang. Anterin saja! Lagian itu perum Istana Sutan Raya mah perumahan elit. Biasanya orang-orang kaya yang tinggal di sana, dia jujur kelihatannya,” ucap seorang wanita yang tak lain, istrinya sang supir.

Supir itu memindai Nuha dari atas ke bawah. Lalu ke atas lagi. Terlihat wajah Nuha yang cantik sekali meskipun dalam balutan lusuh. Dagunya yang terbelah dan ke dua bola matanya yang besar disertai bulu mata yang lebat dan lentik mencuri atensi si supir. Padahal, di sebelahnya istrinya duduk menemaninya.

“Masuk!” ucap supir tersebut.

“Makasih,” sahut Nuha.

Tak butuh lama, akhirnya dia sampai di perumahan Istana Sutan Raya sekitar pukul delapan pagi.

Tak apa, dia harus ikut muter-muter bersama angkot mencari penumpang.

“Makasih, Pak, Bu,” seru Nuha saat turun dari mobil.

“Semoga Allah membalas kebaikan Ibu dan Bapak,” katanya.

“Semoga, debay dalam perut Ceuceu cantik kayak Neng geulis. Asli geulis pisan,” ucap istri sang supir sembari mengelus perutnya yang masih rata. Ternyata dia tengah hamil muda.

“Iy-ya, Bu,” ucap Nuha sembari nyengir dan seketika bayangan peristiwa semalam muncul.

Bagaimana kalau dia hamil anak pemuda asing itu?

Sungguh sebuah lelucon Nuha mendatangi Attar. Untuk apa? Apakah untuk mengatakan padanya bahwa dia sudah tidak perawan lagi dan Attar bebas memilih gadis lain menggantikan dirinya. Ataukah meminta Attar tetap menerimanya setelah semua peristiwa tragis dan traumatis yang dialaminya.

Nuha melangkah ragu padahal dia sudah berada di gerbang utama perumahan mewah tersebut.

Apapun yang terjadi Nuha harus menceritakan apa yang dialaminya pada Attar.

“Mau bertemu siapa?” tanya security dengan tatapan selidik.

“Aku … mau bertemu Mas Attar, Muhammad Attar. Putra Kyai Ilyas. Dia baru beli rumah di sini dua minggu yang lalu. Blok E no 60,” papar Nuha dengan menjelaskan secara rinci berharap security percaya padanya.

“Baiklah. Lurus lalu belok ke kanan, blok E berada di sebelah kanan, terus dari sana,” sahut security.

“Terima kasih.”

Perjalanan menuju rumah Attar yang dibeli untuknya cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Namun Nuha tak memiliki pilihan yang lebih baik dari itu.

Nuha telah tiba di depan gerbang berukiran perunggu . Seorang security menghampiri Nuha dan menanyakan maksud kedatangannya dengan sopan.

“Ada yang bisa saya bantu?”

“Katakan pada Mas Attar jika Nuha datang.”

“Baik. Tunggu sebentar.”

Security bertubuh gemuk tersebut langsung menelepon Attar.

Seketika Attar mengerjap saat mendengar calon istrinya datang. Dia langsung berjalan menuju walk in closet di mana gaun pengantin untuk Nuha baru tiba dari Mesir kemarin sore. Dia tak sabar ingin menunjukkannya pada Nuha yang tak biasanya mengunjungi dirinya hari itu.

“Suruh masuk! Aku akan bersiap-siap,” seru Attar dengan mata yang berbinar. Attar segera bercermin dan merapikan rambutnya.

Nuha dipersilahkan masuk oleh salah satu pelayan lelaki di sana.

“Maaf, ya, Mbak. Rumahnya masih direnovasi jadi tidak nyaman,” ujar seorang tukang bangunan yang tengah mengecat ruang tamu.

“Aku masih bisa duduk, kok,” sahut Nuha dengan mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah.

Attar tahu betul seleranya. Dia benar-benar mengecat rumahnya sesuai warna kesukaan Nuha, hijau tosca. Mata Nuha berkaca-kaca melihat semua itu.

Mendadak, jantungnya berdegup lebih kencang saat mendengar langkah kaki Attar menuruni anak tangga sembari membawa gaun yang begitu indah di tangannya.

“Kebetulan kau datang. Istri sahabat Mas seorang desainer jadi Mas sudah pesan gaun pengantin untukmu langsung dari Mesir,” katanya dengan menundukan wajah dan tangan yang terulur menyerahkan gaun tersebut.

Nuha hanya diam dan menatap Attar dengan bibir yang gemetar.

“Tak biasanya datang ke mari sendiri,” ucap Attar.

“Mas,” sahut Nuha.

“Ya, apa?”

“Mas....”

Ucapan Nuha kini disertai lirih.

Mau tak mau, Attar mendongak dan menatap Nuha yang tengah menangis dan kondisi pakaian yang mengenaskan.

“Mas.”

Hanya itu kata-kata yang mampu lolos dari bibir Nuha yang gemetar.

“Apa yang terjadi Nuha?” bentak Attar dengan pikiran yang berkelana ke sana kemari.

“Ma-s.”

Nuha menatap Attar yang juga menatapnya.

“Aku diperkosa Mas.”

Bagai halilintar di siang bolong, wajah Attar yang tampan langsung membeku saat mendengar pengakuan Nuha.

Attar menggeleng kecil. “Tak mungkin.”

“Mas,” seru Nuha berharap Attar meraih dan merangkulnya dalam arti menenangkannya. Namun, apa yang dia dapatkan ialah sebuah respon di luar dugaan.

Attar tampak tersenyum kecut lalu menatap Nuha sekilas dengan tatapan yang rumit. Dia menyingkirkan gaun yang mahal itu ke lantai dan meninggalkan Nuha dengan segudang tanya.

Tubuh Nuha rubuh ke lantai dengan tangis yang kembali meruah.

“Mas … maafin aku Mas,” lirih Nuha dengan perasaan yang begitu sesak.

Seolah ada sekam yang bersemayam di balik dadanya.

Dia lega bisa menceritakan apa yang dialaminya meskipun sesak di saat yang sama karena itu adalah mimpi buruk yang tak bisa diterima olehnya dan oleh Attar.

Beberapa pekerja menatap iba pada Nuha yang terlihat bersedih hati.

Mereka mendekatinya untuk menenangkannya, tetapi Nuha segera bangkit berdiri dan berlari keluar dari istana Attar dengan hati yang perih.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rastono
CAranya gimanah di tuker uang nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status