Share

3. Terluka

“Arrgh, kenapa kepalaku sakit sekali?” gumam Darren Dash--pemuda yang semalam telah meniduri Nuha. Dia pun menyentuh area pelipisnya yang terasa berdenyut sakit. Hanya saja, kepalanya seperti mau pecah setiap berusaha mengingat kejadian semalam.

Darren menggerakkan tubuhnya dan baru sadar jika dia tidak berpakaian sama sekali. Dia sontak mengerutkan keningnya dan mendengus kesal karena masih belum bisa mengingat kejadian semalam.

Hanya saja, pemuda itu bisa merasakan hawa dingin yang berasal dari penyejuk ruangan, serta bagian sensitifnya terasa ngilu.

Darren sontak meraih celana boxernya yang tergeletak begitu saja di atas nakas, lalu memakainya.

Dia pun berdiri dan menarik tirai di jendela untuk melihat pemandangan sekitar villa yang begitu indah saat pagi hari.

Villa tersebut ialah villa milik keluarganya yang berlokasi di daerah Puncak dan menjadi salah satu tempat favoritnya di kala suntuk.

Hanya saja, pandangannya terusik kala menemukan siluet seorang gadis yang meringkuk di bawah lantai dengan posisi setengah tubuhnya tertutup selimut. Darren pun terlonjak kaget melihat penampakannya. Seketika ingatan tadi malam pun mulai muncul satu per satu.

“Tolong! Jangan lakukan ini padaku! Sakit!” Suara lirih seorang gadis yang dia perkosa terngiang di telinganya, tetapi Darren justru meraup wajahnya dengan kasar.

“Astaga!” serunya saat ingatannya bermunculan. “Aku telah menghancurkan seorang gadis.”

Dia mengepalkan tangannya dan ingin memukul tembok.

“Daniel sialan!” geramnya, “Awas kau! Akan kuhabisi kau!”

Dia berjalan dengan perasaan yang luar biasa takut menuju Nuha yang tak sadarkan diri. Pemuda itu sungguh penasaran siapakah gadis yang dia perkosa?

Dengan seksama, Darren memperhatikan gadis yang wajahnya tertutup dengan helaian rambut yang hitam legam itu. Bahunya yang polos terlihat putih sedikit kebiru-biruan seperti luka lebam.

Tanpa sadar, pemuda itu menggeleng pelan.

Dalam kondisi tidak sadar, Darren tampaknya bukan hanya sudah merenggut kehormatannya, tetapi juga menganiayanya.

Gemetar, tangannya terulur untuk menyingkirkan helai demi helai rambut yang menutupi wajah cantik Nuha.

“Astaga! Anak ini?” serunya dengan keterkejutan luar biasa hingga dia merasa sesak. Beberapa hari yang lalu dia sempat melihat Nuha yang tengah melakukan aksi demo di depan kampusnya.

Flashback on

"Kami hanya minta pelaku di-DO dari kampus segera. Sekarang juga! Kami tidak berniat melakukan persekusi pada pelaku. Kami berpihak pada korban dan tidak ingin korban malah menjadi victim blaming. Tegakkan keadilan! Hukum harus adil! Tidak ada istilah hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas! AllahuAkbar!” pekik Nuha.

Gadis berbaju gamis dan memakai kerudung lebar mirip mukena itu berdiri di barisan terdepan sebuah gedung rektorat sayap timur dengan memegang toa tanpa gentar. Tak tampak sedikitpun rasa gugup ataupun malu mengutarakan apa yang bermukim di kepalanya. Dia merasa terpanggil untuk menyuarakan sebentuk keadilan. “Setuju!” Teriakan para mahasiswa dan mahasiswi mengudara dan meraungkan gema semangat 45. Mereka adalah para demonstran berasal dari gabungan organisasi BEM maupun UKM ROHIS kampus yang mengatasnamakan diri sebagai aliansi mahasiswa/mahasiswi yang peduli pada kasus asusila yang terjadi di lingkungan kampus. Tak peduli panas matahari begitu menyengat tetapi semangat mereka bukanlah logam besi yang berkarat. Semangat yang berkobar mirip api abadi yang berasal dari Api Biru Kawah Ijen. Satu visi dan misi membela kaum perempuan yang tertindas. Barikade aparat yang dipersenjatai bertugas menjaga ketat lingkungan kampus. Mereka siaga terhadap kemungkinan tindakan anarki yang secara tiba-tiba akibat adanya provokasi pihak yang tidak bertanggung jawab. Bukan tanpa alasan, demo yang terjadi seminggu lalu menjadi kisruh akibat ulah salah satu mahasiswa yang melempar batu pada salah satu dosen yang ditunjuk sebagai jubir untuk menghadapi demonstran mahasiswa. “Saya Mariyam Nuha berbicara mewakili para perempuan (mahasiswi) yang menjadi korban tindakan asusila memprotes kebijakan kampus yang masih belum melakukan tindakan sama sekali terhadap para pelaku, padahal jelas mereka sudah membuat kampus menjadi lingkungan tidak nyaman! Predator seks!” Nuha memaparkan maksud aksi demo dirinya. Kali ini, terdengar lebih lantang dan keras sebab tidak ada respon sama sekali dari pihak kampus. Mungkin lebih tepatnya, belum. Salah satu perwakilan sivitas akademika, seorang rektor berkacamata hitam langsung memanggil Nuha dan beberapa teman mahasiswa untuk melakukan semacam negosiasi dalam upaya mencari solusi mengenai kasus yang menimpa beberapa mahasiswi, korban pelecehan seksual dan pencabulan.

Sang rektor Adi Gunawidjaya bahkan berjanji akan segera mengusut kasus tersebut dengan melibatkan pihak kepolisian dan memecat tidak hormat oknum dosen atau mahasiswa yang terbukti melakukan penyimpangan dan pelanggaran. Nuha pun keluar dari ruang rektorat dengan tersenyum penuh kemenangan. Lalu, dia mengumumkan keputusan tersebut pada teman-temannya. Untuk sesaat, Nuha melakukan selebrasi yang tak sengaja direkam demonstran lain, hingga akhirnya viral. Masyarakat begitu salut karena gadis itu tampak lugas dan punya nyali untuk menyeruakan pendapat di depan salah satu kampus ternama itu. Sebelumnya, tidak ada yang pernah berani memprotes kebijakan kampus, apapun yang terjadi di dalamnya. Berani buka suara maka berani membayar dengan resiko yang tak terduga. Sialnya, Nuha tidak mengetahui ihwal tersebut. Dari kejauhan, seorang pemuda yang tengah terjebak di dalam mobil yang macet tengah memerhatikan Nuha. Darren tak sengaja melewati jalan tersebut dan melihat aksi demo yang terjadi, hingga membuat jalanan lumpuh, tak bergerak. “Pak, saya tidak habis pikir lihat anak itu. Padahal, dia perempuan tetapi dia punya nyali yang besar, suka ikut demo,” ucap seorang supir pada tuannya. “Dulu demo BBM di depan kantor bupati saja, saya ketakutan.” Darren mengangguk. “Saya suka anak itu! Dia berani menyuarakan aspirasi. Jarang yang memiliki keberanian seperti itu. Meskipun memang cukup berbahaya untuk seorang perempuan,” sahut sang majikan, menurunkan kaca jendela untuk melihat dengan jelas gadis yang berorasi tadi. “Dia muda dan cantik, Pak. No debate. Dibungkus pula pasti terjaga,” kata supir dengan terkekeh pelan memergoki tuannya yang berusaha mencari tahu gadis itu. Flashback off

Nuha membelalakan matanya dan menangkap sosok pemuda yang merenggut kesuciannya tengah menatapnya tanpa berkedip.

Air matanya sepertinya sudah habis. Yang tersisa, hanyalah luka tubuh dan luka hati yang teramat sakit.

Tak pernah terlintas takdir buruk menimpanya. Kehilangan mahkota bagi seorang perempuan ialah aib.

Apakah Nuha akan siap menghadapi dunia setelah apa yang dilewatinya malam tadi? Bagaimana dia menghadapi calon suaminya? Apakah dia akan menerima Nuha? Rencana pernikahan hanya tinggal hitungan hari.

Nuha tak berkata apa-apa. Dia bangun dan bicara dengan matanya yang menyala. Bibirnya terkunci rapat. Dia menarik selimut dengan tangan yang gemetar.

“Maaf …” lirih Darren yang diserbu rasa bersalah. Dia bingung harus berkata apa.

Pemuda itu sendiri tidak sepenuhnya dalam kondisi sadar saat kejadian semalam.

Menyadari keterdiaman Nuha, ia pun berdehem menormalkan suara. “Kau bisa berpakaian dulu! Aku akan tunggu di luar. Kita bisa bicara,” ucap Darren mencoba tenang.

Tak butuh waktu lama, pemuda itu berdiri dan langsung memakai pakaian. Hanya saja, tatapannya kosong kala keluar kamar dan duduk di ruang tamu. "Sial. Apa yang harus kulakukan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status