Seketika aku pun panik. Saka datang. Lalu bagaimana jika dia tahu bahwa yang kemarin malam bersamanya di hotel adalah aku, istrinya. Sedangkan dia menganggapku wanita rendahan. Pasti dia akan semakin jijik jika tahu itu aku.
Saat aku mendengar suara langkah kaki Mami menaiki tangga. Gegas aku berpamitan pada pelayan agar tidak bertemu dengan Saka. Bisa semakin terhina jika dia tahu aku lah wanita yang malam kemarin tidur dengannya. Sebelum hal itu terjadi. Menghindar dari Saka sepertinya lebih baik. Toh semua surat sudah aku tanda tangani. Jadi, tidak ada lagi urusan antara aku dan juga keluarga Abraham. Aku berjalan mengendap-endap dari pintu belakang. Sialnya, aku malah memakai mobil sport. Kepergianku pasti terdengar oleh kuping Saka. Dari kaca spion, aku melihat Saka memperhatikan mobilku dari balkon kamarnya. Untung saja aku memakai kacamata hitam saat masuk dan keluar rumah. Jika pun dia melihat cctv, aku bisa aman. Idih, kepedean sekali aku nih. Mana mungkin Saka bakalan cari tahu aku sampai segitunya. Bukankah aku sudah dianggap wanita murahan. Jadi, tidak ada alasan untuk Saka mencari tahu siapa mantan istrinya. Keluar dari gerbang rumah mewah itu. Aku sudah seperti burung lepas dari sangkar, tidak perlu menjaga image dari keluarga besar Abraham. Sebab, aku sudah bukan lagi dari bagian keluarga mereka. Huft! Menghirup udara dengan menarik napas panjang, lalu keluarkan secara perlahan. Lakukan lagi hingga berulang kali sampai kini aku tiba di kantor. Sebagai pemimpin baru di sini tentunya. Baru juga tiba, Bibi sudah berdiri di depan pintu ruangannya. "Gimana hasilnya?" tanyanya langsung pada intinya. "Hasil apa?" tanyaku ketus. "Hasil dari perundingan dan negosiasi pernikahan kalian?" tanyanya tak beralih dari tempatnya berdiri. "Sudah," jawabku santai lalu menerobos masuk lewat pintu di mana tubuh Bibi bersandar. Hampir saja tubuh seksinya terjungkal karena pintu kudorong tanpa aba-aba. Kalaupun jatuh. Aku hanya akan tertawa dan bukan membantunya. Sayang banget dia cuma hampir ter-ja-tuh! Terdengar kejam ya, tapi dia lebih kejam dariku dengan menjebakku saat pernikahan di ambang perceraian. Gimana kalau aku hamil? What! Kenapa aku baru kepikiran sekarang tentang hamil! No, no, no! Aku tidak boleh hamil. Gawat kalau sampai hamil? Tentu Saka tidak akan mau mengakuinya sebagai anak walaupun kami melakukan masih dalam ikatan pernikahan. "Dasar bocah gemblung! Bibinya hampir jatuh ini!" cerocosnya seraya memperbaiki posisi tubuhnya agar kembali tegap. "Gimana hasilnya?" tanyanya setelah berdiri tegak. Dasar mata duitan! Mau enaknya aja, tetapi aku terus yang dijadikan korban. "Cerai," jawabku enteng seraya memperbaiki duduk di kursi kebanggaan Bibi. "Ya ampun Nilam! Kamu itu emang dasar anak bengal! Bibi sudah kasih tahu bawa foto kalian saat di hotel sebagai bukti biar gagal cerai. Ini malah nggak mau. Bodoh!" Brak! Aku tak terima dikatakan demikian. Enak saja! Aku sudah berkorban dan dia tinggal makan enaknya aja. Sorry, aku tidak mau lagi! Seketika wajahnya berubah pucat saat aku berdiri dan menggebrak meja dengan kuat hingga beberapa berkas jatuh ke lantai. "Maksud Bibi itu, bukankah lebih baik tidak bercerai? Kamu tidak akan jadi janda dan siapa tahu kamu bisa bikin dia jatuh cinta," tuturnya sok baik dan bijak. Padahal aslinya mah dia sekutu mak Lampir. Kejam! "Kalau Bibi mau, silahkan Bibi saja yang menikah dengan keluarga Abraham. Nikah sama kakeknya Saka! Dia kan duda, harta Abraham sepenuhnya ada di kakek tua itu!" tegasku dengan tatapan mata tajam menusuk ke arah Bibi. Seketika wajah garangnya berubah pucat. Cukup sudah aku selalu diam selama ini. Dan sekarang bukan lagi waktunya untuk berdiam diri saat ditindas. Enak saja Bibi terus yang menang. Kalau pun hidupku adalah drama film. Aku akan meminta sutradara dan penata skenario untuk merubah adegan, biar aku saja yang menang! Hahaha. Terdengar kejam! "Mulai detik ini! Aku yang akan mengurus perusahaan ini sendiri, Bibi akan aku pindahkan," kataku membuatnya terbelalak. Tak percaya jika aku sudah sekuat ini paling. "Posisi apa ya, yang cocok buat Bibi?" Aku mulai menimbang-nimbang di mana Bibi cantikku itu diposisikan. "OB, mau?" tawarku dan kini matanya makin melebar. "Wong ed4n! Bibimu sudah berjuang selama bertahun-tahun di perusahaan. Mau kamu jadikan OB, mending aku keluar dari kantor ini. Bye!" Loh, malah kabur. Aku aja belum bilang mau ditaruh bagian mana, eh udah ngibrit aja. Wanita itu pergi meninggalkan ruangan ini dengan hanya menenteng tas saja. Setelah kepergiannya, aku langsung mengecek keuangan perusahaan. Siapa tahu dia sudah melakukan sesuatu. Benar saja. Keuangan perusahaan kembali kocar-kacir. Apa yang sudah dia lakukan? Apa dia korupsi? Aku meneliti setiap pengeluaran perusahaan. Ada banyak pengeluaran yang direkayasa. Dasar licik! Uang perusahaan sudah dia gelapkan hampir seperempatnya. Sekarang aku harus gimana? Masak kembali minta kerja sama dengan perusahaan Abraham lagi. Sial! Bibi bangsat! Dia pandai sekali. Saat tahu aku akan bercerai. Dia ambil uang dari perusahaan. Hah! Aku harus mencari penanam saham baru lagi ini. Tentu bukan dengan keluarga Abraham. Mereka tidak akan lagi percaya padaku setelah semua yang terjadi selama aku menjadi istri Saka. Kepala berdenyut memikirkan perusahaan. Segera mungkin aku harus dapat suntikan dana. Aku harus bergerak cepat. Aha, kan ada Aditya. Pasti dia tahu solusinya. Nanti malam, aku akan dekati dia. Cari tahu banyak-banyak tentang perusahaan yang mau bekerjasama dengan perusahaan. Aku mengirim pesan untuknya. Sudah masuk tetapi belum dibuka olehnya. Mungkin sedang sibuk bekerja. Aku akan tunggu malam nanti di rumah. Dia sudah janji akan menjemputku. Saat aku pulang dari kantor sore hari. Mak Lampir pasti dah pindah rumah. Kamarnya sudah sepi dan barang-barangnya juga sudah tidak ada. Biarkan aja dia pergi, yang penting aku tidak mengusirnya. Malam pun tiba, Aditya menjemput. Dia hanya membaca pesan dariku dan tidak membalas. Namun, dia tidak lupa dengan janjinya. "Selamat malam Tuan Putri," sapanya ketika aku masuk mobil. "Ah kamu bisa aja. Kenapa nggak dibalas pesanku?" tanyaku menyelidiki, siapa tahu dia sudah beristri, kan berabe. Nanti aku dikira pelakor. "Ada kerjaan banyak banget hari ini. Makanya aku cuma baca aja," jawabnya. "Bukan karena kamu sudah beristri bukan?" tanyaku terdengar konyol. Aditya tertawa. "Aku tidak punya pacar, apalagi istri. Jika pun aku dipaksa menikah, aku akan menikahimu," selorohnya membuatku tersipu malu sekaligus gemetar. Apa jadinya jika Aditya tahu aku sudah tidak perawan dan juga janda. Mana mungkin dia mau mengatakan itu padaku. Setibanya di aula hotel. Sialnya, hotel ini adalah hotel yang sama di mana aku kehilangan keperawanan. "Sayang, aku akan ke toilet sebentar." Seketika aku celingukan. Suara itu .... Suara itu tidak asing bagi telingaku. Mana ... mana mungkin jika Saka ada di sini. Habis sudah riwayatku malam ini jika sampai pria itu ada di sini.Pria renta itu bangkit dari duduknya lalu beralih memandangku. Tatapannya tajam. Hal itu membuatku khawatir dan takut.Apa jangan-jangan Opa tidak suka jika dia memiliki cicit laki-laki?Namun, rasa ketakutan seketika sirna setelah kakek berucap."Baby boy?"Aku mengangguk."Opa senang mendengarnya. Dia akan menjadi pewaris setelah Saka. Terima kasih banyak Nilam," ujar kakek ia mendekat lalu mengusap lenganku."Sama-sama, Kek," jawabku."Aku pikir tadi kakek akan marah," imbuh Saka yang ternyata dia memiliki ketakutan yang sama."Enggak dong, apa pun anak yang dilahirkan. Opa tetap menerimanya. Jaga istri dan anakmu ya," kata kakek kembali ke posisi semula. Duduk di hadapan Saka."Siap, Opa," balas Saka."Ah iya, hari ini Opa rencananya mau menengok Aditya. Apa kalian mau ikut?" tawar Opa."Boleh," jawab Saka, "bagaimana Nilam? Kamu mau ikut?" tanya Saka dan aku pun mengangguk.Siang itu aku, Opa dan Saka berkunjung ke sel. Setibanya di sana, Vika juga sedang menemui Aditya. Saat kam
Saat sedang bucin-bucinan. Tiba-tiba ada aja yang ganggu. Suara pintu diketuk. Entah siapa yang datang.Beberapa saat kemudian, seorang suster muncul di ambang pintu. Wanita cantik berpakaian serba putih itu mendekat. Namun, Saka tetap tidak mau melepaskan genggaman tangannya."Sayang, malu," bisikku dan Saka tetap tidak menggubrisnya."Maaf ya, Tuan, permisi," kata suster mengganti infus yang sudah habis."Iya, Sus, jangan lama-lama ya. Segera keluar karena saya mau bicara penting dengan istri saya," balas Saka dan suster itu pun patuh."Baik, Tuan," jawabnya lalu pergi setelah urusannya selesai."Mau bicara apa sih? Sampai ngusir suster segala?" tanyaku ketika kami kembali hanya berdua di dalam kamar ini."Cuma mau bilang jadilah istriku hingga maut memisahkan kita. Aku mencintaimu Nilam Cahaya," balasnya membuatku tersipu.Kenapa setelah kejadian tadi, Saka berubah semakin romantis. Apa jangan-jangan otaknya juga ikut geser?Aku memegang kening Saka dan beralih mengusap-usap wajahn
Saka terjatuh dengan perut terluka. Gegas aku terkesiap memegangi kepalanya karena kesadaran Saka berangsur menghilang. Matanya mulai terpejam. Namun, aku berusaha membuatnya tetap sadar.Entah apa yang terjadi tadi, aku hanya menoleh dan membalas lambaian tangan Vika. Dan tiba-tiba Saka sudah terluka serta tubuhnya limbung, jatuh di atas paving."Sayang, kamu pasti kuat. Bertahan, ya," lirihku disertai dengan tetesan air mata yang tak bisa dibendung lagi.Beberapa orang mendekat dan bersiap membantu Saka."Ya ampun, Saka." Vika datang dan bersiap membantu Saka, membawanya ke rumah sakit."Tolong segera bawa ke mobil. Biar saya yang antarkan ke rumah sakit," ujar Vika.Tanpa menjawab, beberapa dari lelaki yang ada di sampingku langsung mengangkat tubuh Saka dan membawa ke dalam mobil."Ayo," ajak Vika membantuku berdiri.Di area parkiran sebelah kiri, terdengar suara riuh warga. Satpam dan beberapa warga tersebut telah mengamankan seseorang. Pakaiannya acak-acakan dan rambut awut-awut
Apa yang sebenarnya terjadi? Hatiku mulai gelisah.Bukannya langsung ganti, Saka malah mendekat padaku dan melempar amplop ke arahku yang masih duduk di tepi ranjang."Apa itu!" Matanya memandang nyalang padaku."Apa maksud kamu?" tanyaku heran mengapa wajah Saka langsung berubah 90° seperti ini.Aku membuka isi amplop tersebut. Seketika tak percaya dengan apa yang ada di depan mata."Aku bisa jelaskan, Saka. Pria ini ....""Siapa dia? Katakan sejujurnya padaku, Nilam!" sentak Saka.Hal yang aku takutkan menjadi kenyataan. Aditya mengirim surat, berisikan tentang cinta dan lain sebagainya. Namun, tulisan itu bukan tulisan tangan Aditya. Pandai sekali dia memfitnah. Dia sama liciknya dengan bibi. Apa aku jujur saja pada Saka. Sudah terlampau basah, sekalian aja nyebur."Dia itu a ...."Belum sempat aku berucap. Di luar rumah terdengar suara orang berteriak. Gegas Saka turun karena terdengar jeritan yang sangat keras. Sedangkan Aku sendiri hanya melihat dari balkon.Sungguh kejam, Adit
Vika langsung bersimpuh di hadapanku. Wanita itu memohon padaku. Apa jangan-jangan ...."Ada apa, Vik?" tanyaku khawatir.Saka muncul di ambang pintu. Pria itu langsung mendekat dan membantu Vika bangun lalu mendudukkannya di sofa.Entah apa yang terjadi dengan Vika. Saat dia akan mengatakan apa yang terjadi. Tiba-tiba Aditya datang lalu memukul pintu dengan keras hingga membuatku kaget.Brak!Aku terkesiap dengan menutupi hidung menggunakan apa saja saat Aditya mendekat. Demi meyakinkan jika aku benar-benar tidak tahan bau parfum. Vika sendiri tidak memakai parfum karena tidak ada bau sama sekali pada tubuhnya saat kami berdekatan. Selama ini aku sengaja memblokir banyak kontak, termasuk Aditya dan Vika. Sengaja aku menghindar dari mereka, terutama Aditya.Aditya masuk lalu menyeret Vika dengan kasar. Saka langsung bertindak. Dia memang pria dingin, tetapi tak pernah berlaku kasar terhadap istri meski dia dulu sangat membenciku. Namun, kenapa Aditya bersikap demikian pada Vika. Sebe
POV Arshaka"Ya Allah, Opa!"Gegas aku mendekat dan membantu Opa yang jatuh pingsan saat akan menaiki tangga. "Papa!" Mami dan papi ikut mendekat.Papi membantuku membawa Opa ke dalam mobil. Mami pun sama. Ia duduk di belakang menjaga kepala Opa. Sedangkan papi duduk di jok depan.Aku sendiri harus masuk ke kamar. Mengambil kunci di dalam tas. Kebetulan saat itu, Nilam juga akan menyusul keluar."Kamu di rumah saja, takut kelelahan," ujarku memintanya kembali masuk rumah."Tapi, Sayang ....""Nggak usah tapi-tapi, buruan masuk. Ini sudah malam. Kamu sedang hamil. Jaga baik-baik anak kita, ini adalah cicit yang diharapkan oleh Opa." Aku meyakinkan Nilam seraya mengusap perutnya yang masih rata.Wanita itu mengangguk dan nurut. Dia kembali masuk rumah bersamaku. Memasuki kamar bersama. Sebelum aku pergi, kukecup keningnya beberapa saat."Semoga Opa baik-baik saja," lirihnya."Amin," balasku lalu berpamitan dan segera mengantar Opa."Bang," panggil Aditya tetapi aku tidak menjawab. Kese