Share

seperti kuduga

Author: Ria Abdullah
last update Last Updated: 2022-08-17 14:30:57

Seperti kuduga di dalam hatiku, sampai jam dua belas siang esok harinya belum ada kabar dari Mas Albi terkait uang Pramuka anak kami. Aku geram dan terpaksa meminjam dulu pada Mbak Dima, salah seorang kerabat yang kebetulan tinggal sekomplek denganku.

Sebenarnya dalam hatiku, ingin sekali kutelpon Mas Albi, tapi sesuai peraturan yang dibuatnya salah seorang istri tak boleh mengusik saat sang suami berada di rumah madu kecuali hal mendesak. Aku khawatir, saat menelpon nanti justru Filza lagi yang mengangkatnya.

"Assalamualaikum Mbak Dima." Kuucapkan salam di depan pintu rumah Mbak Dima.

"Iya Dik Aini silakan masuk," jawab Mbak Dima membukakan pintu dengan lebar.

"Mbak, aku gak usah lama lama, aku ke sini mau pinjam uang dua ratus ribu, insya Allah akhir bulan ini Mas Albi akan memberiku uang jadi aku akan membayarnya berikut aku akan melebihkannya."

"Tidak usah seperti itu Dik. Sebenarnya aku juga mau bantu, tapi aku juga sedang tak pegang uang. Kamu tahu kan, kalau sudah di atas tanggal dua puluh kita para ibu rumah tangga mulai mengencangkan ikat pinggang."

"Iya juga," jawabku mendesah lemah. "Aku sebenarnya malu tapi diri ini seakan tidak punya pilihan."

"Aku prihatin denganmu, dik, sebelum ini kau tak pernah kekurangan. Ada apa dengan sekarang? Bukannya suamimu seorang manager yang memimpin banyak staf di bawahnya, apakah dia sedang tak punya uang?"

Sungguh malu diri ini menjawab pertanyaan Mbak Dima. Jika kubilang tidak ada, aku seakan mendustakan nikmat Tuhan, tapi sejujurnya, belakangan ini, aku agak kekurangan Karena ada sesuatu yang darurat kubayar.

"Bukannya saya mendustakan nikmat Tuhan yang diberikan kepadaku. Tapi, jujur saja, Minggu ini saya kesulitan Mbak. Maaf ya, sudah mengganggu, kalau begitu saya pulang dulu."

"Jika aku dapat arisan hari ini,maka aku bisa membantumu sore nanti."

Ah, Sebenarnya aku butuh sekarang karena ini hari terakhir kesempatan membayar. Fatimah tak akan bisa mengikuti event sekolah tanpa uang administrasi. Arghh ... Aku benar benar gerah pada Mas Albi.

Untuk kedua kalinya Aku memberanikan diri untuk menghubungi ponsel Mas Albi, tersambung sih Iya tapi dia tidak mengangkatnya. Kucoba lagi dan lagi, hingga aku mengirimkan pesan, namun jangankan membalas, centang biru pun tidak.

Ya Allah, mas Albi sedang di mana sih, apakah dia begitu sibuknya hingga tak bisa melihat ponsel? Ya Allah kasihan anakku.

Setengah jam kemudian Fatimah pulang sekolah, dia nampak lu suruh sedih dan tertunduk lemah. Diletakkannya sepatu di rak sepatu lantas berjalan menuju kamarnya tanpa mengatakan apa-apa padaku.

"Fatimah umi minta maaf karena ...."

"Mengapa umi tidak datang untuk membayarkan uang perkemahan saya?"

"Bukannya tidak mau umi juga sedang berusaha untuk mendapatkan uangnya."

"Lalu kenapa dengan ayah?"

Kali gini aku galau ingin membalas seperti apa pertanyaan Fatimah. Mustahil aku memberitahu kalau ayahnya tidak merespon teleponku atau menjawab pesan ini. Aku benar-benar bingung Dan panik ditambah Mas Aldi baru akan pulang 2 hari lagi.

Hingga pukul 03.00 sore dia tidak kunjung memberiku kabar, sementara dalam hati ini sudah berapi-api, dadaku panas dan telingaku seakan mengeluarkan asap. Terus-menerus ku buka ponsel untuk memeriksa Apakah dia sudah membaca pesan whatsappku tapi percuma saja.

Tepat setelah azan asar dia menelponku, terima kasih Tuhan akhirnya dia membaca pesan dan menelpon.

"Maaf aku baru melihat pesanmu," ucapnya, " apa uangnya masih bisa dibayarkan?"

"Percuma, sudah terlambat, teman-teman dan guru pemimpin sudah berangkat ke tempat camping, Fatimah sangat kecewa Bi!"

"Kenapa umi tidak memberitahu Abi dari kemarin-kemarin?"

"Semalam saya menelpon Abi, mengapa tidak ditanggapi? Bukannya umi sudah menitipkan pesan kepada Ummi gibran?"

"Tapi Filza tak mengatakan apa apa," jawab Mas Albi dengan ragu.

Ya! Tentu saja wanita sok suci dan cantik itu tak menyampaikannya pada Mas Albi. Dia menahan hakku dan anak anak demi egonya, dia sengaja melakukan itu untuk menyakiti diri ini atau membuatku marah.

Aku harus memberinya sedikit peringatan!

"Astagfirullah Mas semalam aku menelponmu dan mengatakan bahwa filsafat membutuhkan uang Rp.200.000 untuk pembayaran administrasi pergi berkemah, pagi tadi harusnya uang itu dibayarkan Tapi sekarang sudah terlambat karena teman-teman fatimah sudah berangkat."

"Ya ampun ...." Mas Albi terdengar terkejut.

"Fatimah sangat kecewa, dia pulang dengan wajah lesu dan Mata sembab, harusnya ini tidak terjadi."

"Aku berjanji akan menebusnya, tolong maafkan aku dan maafkan juga filsa mungkin adikmu itu lupa memberitahuku karena saking repotnya dia mengurus Gibran."

"Iya, aku paham, Mas," jawabku sambil menahan rasa jengkel. Aku ingin marah tapi kutahan, rasanya tak baik memprotes apalagi sampai berteriak di telpon, Mas Albi akan semakin menjauh dariku dan kejauhan itu akan mendekatkan dia pada Filza.

Ah, dilema sekali hidup ini.

*

Syittt ....

Bunyi ban mobil berdecit di depan rumah, tak sampai tiga puluh menit sejak aku menelpon Mas Albi, pria itu datang. Setelah mengucapkan salam dia langsung masuk dan mencari Fatimah.

Tok ..tok.

"Fatttum, ini Abi," ucap Mas Albi sambil memanggil nama kecil putrinya.

Tak lama gadisku yang berumur sepuluh tahun itu keluar dengan wajah yang masih kecewa.

"Maafkan Abi ya."

"Iya tidak apa apa. Sejak ada Gibran, Abi jarang memperhatikan kami," ucap Fatimah dengan jelas. Aku dan suami sampai terkejut dan tak menyangka sekali.

"Tidak begitu Nak ...."

"Abi sendiri yang bilang bahwa sekolah itu penting tapi Abi juga yang mengabaikan ...." Anak Perempuanku langsung menangis dan mohon izin masuk ke dalam kamarnya lagi.

"Fatimah mau belajar," ucapnya dengan wajah kecewa.

"Tunggu Nak, Abi minta maaf ...."

Terlambat, Fatimah terlanjur kecewa, mas Albi mengetuk tapi anak kami tak menanggapinya. Kini giliran Mas Albi berbalik ke arahku dengan wajah penuh tanda tanya mengapa anaknya bersikap seperti itu, sementara aku tak punya jawaban selain mengangkat bahu.

Itu baru satu kesalahan, belum yang lain.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
lakor pandai cara ambil hati albi ,makanya kerja atau cari usaha istri pertama biar bisa lepas dari poligami ,punya suami nggak jamin bahagia ,karena ada wanita lain di hatinya tebar pesona karen gantheng pdhal umur 60 th model sdh nggak jelas tua peyot ,perut buncit penyakit sdh menghinggapi
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dipaksa Akrab dengan istrinya    121

    Ah, kenapa jadi begini lagi. Hmm, kalau aku diam saja, maka kisah lama akan terulang kembali. Sebenarnya secara tidak langsung Mas Albi juga menyimak percakapan kami, hanya saja ia pura pura tidak mendengar dan tidak peduli."Oh, hehe, benarkah? Uhm ... kurasa kau akan punya kehidupan lebih baik setelah ini. Kau tumbuh jadi wanita yang terbuka dan mendewasa sekarang.""Aku menyesal tidak bersikap baik seperti ini dari dulu.""Sudahlah, jangan ungkit masa lalu, karena dari sana kita membuat kesalahan dan belajar untuk tidak mengulanginya lagi. Ayo makan" ucapku sambil meraih sendok saji.Di meja kaca, terhidang aneka lauk dan sayur yang dia letakkan dalam mangkuk kaca dengan sisi keemasan, piring dan gelas terlihat mewah dan ditata cantik di meja, ada gulai ayam, tumis brokoli wortel, ikan sambal dan aneka makanan lain. Aku benar benar terkejut bahwa wanita ini akhirnya bisa mengurus rumah dan menyambut tamu dengan baik."Kelihatannya enak," gumamku sambil duduk dan mencicipi makanan i

  • Dipaksa Akrab dengan istrinya    120

    "Kalau kau ragu untuk memulai percakapan maka aku yang akan menghubungi filsa untukmu," ucapku lembut."Ya, tolong lakukan itu," jawabnya dengan binar mata penuh harap."Kuharap dia merespon baik dan kita bisa bertemu dengan damai, tanpa air mata dan luka lagi.""Semoga saja," desah Mas Albi sambil menganggukkan kepala.*Setelah Mas Albi ke kantor, tugas tugas rumah sudah beres, aku segera mengambil inisiatif untuk menghubungi mantan maduku yang kini tinggal dengan kedua orang tuanya.Kupencet nomor ponselnya dan berharap bahwa itu masih nomor yang sama namun ternyata sudah tidak aktif. Untungnya aku menyimpan nomor telepon rumah ibunya Filza jadi aku segera menghubunginya."Halo, Assalamualaikum Bu," sapaku berhati hati."Halo, walaikum salam, Nak Aini, apa kabar Nak? kok tumben baru menelpon sekarang ya?""Begini Bu, Mas Albi ingin menjumpai Gibran," jawabku."Oh tentu saja, kalian bisa mendatanginya ke rumah," jawab Ibunya Filza."Apakah itu akan baik Bu?""Tentu saja, tak ada ma

  • Dipaksa Akrab dengan istrinya    119

    "Kau yakin dengan ini? Jika kau merasa tidak baik-baik saja, Gibran boleh kau titipkan dulu pada kami?""Tidak usah, aku sudah rindu anakku dan ingin membawanya pulang.""Tapi Filza ....""Tolong kemasi barang Gibran!" Wanita itu memberi penekanan dengan perintahnya yang terdengar sangat tegas."Baiklah," gumamku lirih. "... Kami memang tidak berhak menahan anakmu tetap di sini Jadi kau tidak perlu terlalu tegang dan marah.""Aku akan berterima kasih jika kau melakukannya dengan cepat Mbak," jawabnya."Iya, baiklah." Aku beranjak ke kamar sambil memperhatikan wajah Mas Albi sementara pria itu hanya terlihat bingung dan tercenung.Kukemasi barang barang Gibran, pakaian selimut, batal, botol susu hingga buku edukasi dini yang setiap malam kubacakan untuknya. Entah kenapa, hatiku merasa sangat berat dan sedih, ada rasa sulit melepaskan dan tidak rela, juga rasa sesak yang menghimpit hati. Aku tahu Gibran bukan anakku, tapi kehadirannya membawa cahaya baru dalam hidupku. Ya Tuhan ... kena

  • Dipaksa Akrab dengan istrinya    118

    Dua Minggu berlalu setelah percakapan terakhir Mas Albi dengan fIlza, sudah berhari hari wanita itu tak pernah menghubungi lagi, tak memberi kabar atau biasanya meminta Mas Albi untuk mendatanginya.Entah dia sudah berubah pikiran atau hanya sedang sibuk dengan pengobatan, aku tak tahu. Fokusku sekarang adalah mengurus anak dan suami, malah aku beruntung sekali kalau Mas Albi tidak diganggu ganggu lagi.*"Sedang apa Um?" Tanya suamiku yang mendekat di teras belakang."Menjahit," jawabku sambil memperlihatkan kain di tangan dan jarum."Kau tampak ceria, apa ada hal yang membuatku senang.""Lebih tepatnya hal yang membuat kita senang," balas Mas Albi."Apa itu aku penasaran sekali," jawabku antuasias."Lihatlah ini," ucapnya sambil menyodorkan brosur padaku. Brosur itu adalah informasi sebuah perumahan dengan gambar hunian berlantai dua yang terlihat modern dan mewah."Apa ini?""Kupikir rumah kita terlalu kecil untuk 3 orang anak, dan anggota keluarga boleh jadi akan bertambah lagi, j

  • Dipaksa Akrab dengan istrinya    117

    Itu yang selalu aku ajarkan pada diriku dan kuyakinkan pada hatiku, bahwa suatu hari semua masalah ini akan berakhir dan kami akan hidup bahagia.Boleh jadi kisah yang berputar sekarang ini hanya tentang hidupku dan kegilaan Filza, tentang Mas Albi yang masih saja galau dan kasihan pada mantan istrinya. Tentang aku yang kadang-kadang baik dan merasa iba pada orang yang berbuat zholim, tidak bisa kupungkiri perasaan hatiku selalu ingin bersikap tulus pada orang lain. Mungkin itu sudah alami terjadi.Kubaringkan diriku di dekat suami dan Gibran yang tertidur pulas dengan posisi saling memeluk. Kurapikan rambutku agar tidak berserakan di bantal lalu menyelimuti diri. Mas Albi yang posisinya berada di antara aku dan Gibran segera membalikkan badan dan memeluk diri ini dengan erat."Sayang, aku rindu denganmu," bisiknya."Hmm." Aku hanya menggumam dalam kegalauan pikiranku yang kadang kadang berkecamuk tentang wanita yang sedang dirawat di seberang sana."Bolehkah kita melakukannya malam

  • Dipaksa Akrab dengan istrinya    116

    "Mas ...." Kupandang suami untuk beberapa saat, dia juga seperti memberi isyarat sebuah harapan akan hatiku tergerak oleh tangisan bocah itu."Kumohon, Aini ...." Mas Albi akhirnya meminta dariku. "Tolong kasihani anakku, dia mencintaimu sebagai ibunya," ucap Mas Albi dengan tatapan sendu."Ah, baiklah." Aku pun tak tega jadinya.Kuhampiri nenek Gibran, kuambil balita itu dari pelukannya lalu menggendongnya dengan erat. Air mataku menetes, pun neneknya yang tak kuasa menahan sedih."Gibran, ternyata hatimu sudah lekat dengan ummi ya?" tanya neneknya sambil mengelus punggung bocah itu. Anak Filza langsung tenang begitu aku memeluk dan menggendongnya dengan penuh kasih."Kalau begini, dia pasti akan menangis dalam pengasuhan Ibu," ucap Ibunda Filsa dengan sedih. "Dibawa bertemu Bundanya juga kondisi bundanya tidak baik, khawatir Gibran akan ditolak dan membuat anak itu sedih.""Kami akan membawanya pulang," ujar Mas Albi meyakinkan ibu."Sungguhkah?""Iya, Bu. Tidak ada alasan untuk men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status