Apa yang harus aku lakukan sekarang sementara kakek sendiri tidak mempermasalahkan aku yang belum hamil. Rasanya kurang pas jika aku malah ribut sendiri.
"Terima kasih atas kemurahan hati kakek." Malah itu yang kemudian terucap dari bibirku. Bisa kupastikan sebentar lagi Mas Kevin bereaksi. Benar saja, dia yang duduk di sebelahku itu langsung menyepak kakiku. Aku menoleh sekilas pada suamiku itu yang tampak sangat kesal sebelum akhirnya menundukkan wajah.Sekarang aku serahkan saja urusan ini sama Mas Kevin. Terserah dia mau ngomong apa sama kakek. Untung-untung tidak sama sekali."Kek."Aku melirik Mas Kevin. Sepertinya dia akan berbuat nekad."Penyebab Pertiwi belum juga hamil sepertinya karena mandul deh, kek," lanjut Mas Kevin tanpa memikirkan perasaanku sama sekali yang telah dia fitnah mandul.Ucapannya itu sontak membuat kakek dan Wilson mengarahkan pandang pada Mas Kevin."Bagaimana kamu bisa mengatakan itu padahal usia pernikahan kalian baru dua tahun," balas kakek dengan ekspresi tidak senang."Betul yang dikatakan kakek, Kev." Wilson, adik iparku ikut menyahut. "Belum bisa hamil belum tentu mandul. Karena pernikahan kalian baru dua tahun. Kasihan Tiwi jika harus mendapatkan tuduhan mandul dari kamu sebagai suaminya."Aku melihat rahang Mas Kevin langsung mengencang. Sepertinya suamiku ini tidak suka dengan yang barusan diucapkan Wilson."Aku tidak menuduh, Wil. Kenyataannya memang seperti itu," balas suamiku dengan nada suara yang agak meninggi."Kalau begitu Tiwi sudah mendapatkan surat keterangan dari dokter yang menyatakan kalau dia mandul?" Wilson balik bertanya. Aku kagum dengan adik iparku ini. Dia cerdas dan menerimaku dengan baik sebagai istri kakaknya."Ya... belum." Mas Kevin tampak gugup. "Tapi apalagi penyebabnya kalau bukan mandul? Dua tahun bukan waktu yang singkat. Dua tahun itu lama sekali untuk sebuah penantian ingin memiliki anak.""Berarti kamu sudah sangat menginginkan anak?""Iya, tentu.""Kenapa kalian berdua tidak sama-sama cek kesuburan di rumah sakit? Karena pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak, belum tentu karena istrinya yang mandul. Bisa jadi, maaf, suaminya yang mandul."Mas Kevin langsung berdiri dari duduknya dengan wajah yang sangat marah. "Kamu menuduhku mandul, Wil?"Kening Wilson mengerut. "Siapa yang menuduh kamu mandul, Kev? Aku tidak sama sekali menyebut kamu mandul. Aku hanya menjelaskan bahwa pasangan suami-isteri yang belum punya anak itu bukan berarti istrinya yang mandul, bisa jadi suaminya. Karena itu, agar tidak saling menuduh dan akhirnya menyakiti satu sama lain, lebih baik tes kesuburan di rumah sakit. Nanti ketahuan siapa di antara kalian berdua yang kurang subur. Setelahnya, selesaikan secara bijak.""Wilson benar." Kakek menyahut. "Tes kesuburan adalah cara terbaik dan ter-the best untuk mengetahui siapa yang tidak subur. Kakek tidak membela siapa-siapa di sini. Tapi masalah anak yang belum hadir pada pernikahan, sering menjadi penyebab keretakan dalam rumah tangga meskipun kakek sendiri tidak mempermasalahkan. Jadi kakek setuju sekali dengan tes kesuburan. Jadwalkanlah segera. Kakek mau ikut."Mas Kevin membisu. Dia tampak terpojok sekarang. Jelas saja. Kalau sampai melakukan cek kesuburan, rahasia terbesar dalam rumah tangga kami bakal terkuak. Yaitu, selama dua tahun menikah, aku masih perawan. Dan kakek pasti akan marah besar pada Mas Kevin karena tidak mau menyentuhku.***"Berani-beraninya kamu ikut campur urusan rumah tanggaku ya!"Aku yang hendak memberikan minuman pada Mas Kevin dan Wilson yang sedang mengobrol di dekat kolam renang, menghentikan langkah dan memilih untuk menguping pembicaraan kakak beradik itu. Ada dinding yang menyekat kami sehingga Mas Kevin ataupun Wilson tidak mengetahui keberadaanku sekarang."Siapa yang ikut campur urusan rumah tangga kamu, Kev?""Tentu saja kamu! Jangan pura-pura lupa dengan apa yang sudah kamu katakan di meja makan tadi! Dengan penuh bangganya kamu bicara seolah kamu adalah orang yang bijak!""Kita kan tadi sedang berdiskusi. Apa salahnya kalau kemudian aku mengeluarkan pendapat? Barangkali berguna untuk kamu dan Pertiwi. Jangan anggap ini sebagai ikut campur. Kalau kamu tidak mau orang lain berpendapat, jangan kamu ungkapkan di meja makan tadi.""Aku menyampaikan itu kepada kakek bukan kepada kamu!""Di depanku?""Ya karena momen untuk mengungkapkannya sudah tepat tadi?"Wilson menyipitkan pandang. "Mengungkapkan? Maksudnya mengungkapkan tuduhan kamu pada Pertiwi kalau dia mandul tanpa lembar hasil tes kesuburan? Ini tidak adil, Kev. Dia itu istri kamu. Harus kamu jaga perasaannya. Jangan asal menuduh!"Jawaban yang membuat hatiku terenyuh. Wilson bukan suamiku tapi mengapa begitu menjaga perasaanku? Sedangkan suamiku sendiri terang-terangan menyakitiku tanpa rasa belas kasihan sama sekali."Kurang ajar sekali kamu! Sok bijak kamu dengan mengajariku!"Suara gemerusuk di balik tembok membuat aku melongokkan kepala ke arah kolam renang. Aku terperanjat saat mendapati Mas Kevin mencengkram kerah kemeja Wilson dengan tangan kiri sementara tangan kanannya berada di atas kepala dalam keadaan mengepal. Itu adalah posisi seseorang hendak melayangkan tinjuan."Mas Kevin!" Refleks aku berseru dengan suara lantang, membuat kedua pria yang berada di tepi kolam renang menoleh kepadaku. Lalu aku buru-buru mendekat pada mereka. Setelah dekat, aku taruh nampan yang sedari tadi aku pegang dan berisi dua gelas minuman ke atas meja kecil yang ada di sana, sebelum akhirnya menarik tangan Mas Kevin yang sedang mencengkram kerah kemeja Wilson. "Tolong obrolan di meja makan tadi jangan diperpanjang. Kasihan kakek kalau tau kalian bertengkar."Tanpa kata, Mas Kevin melepaskan cengkramannya dengan tatapan dendam pada Wilson. Lalu dia berbalik arah dan meninggalkan tempatnya. Setelah meminta maaf pada Wilson, aku buru-buru mengikuti langkahnya menuju mobil yang terparkir di halaman."Ini gara-gara kamu!" ucap Mas Kevin ketika aku sedang memakai seat belt. "Mengaku Mandul dan bilang kalau ingin aku menikah lagi saja susah sekali!"Mobil perlahan bergerak.Aku menundukkan wajah. "Aku minta maaf, mas. Jujur aku paling sulit untuk berbohong. Lain kali jangan memintaku untuk berbohong baik pada kakek atau siapa pun karena pasti akan berakhir dengan kegagalan.""Kalau bukan kamu yang berbohong agar aku bisa menikah dengan Julia, terus siapa? Kamu sudah lihat sendiri tadi kan? Kalau aku yang bilang, jadinya malah ribet.""Aku tidak tau harus siapa yang berbohong. Dan... sepertinya aku tidak mau tau lagi. Urusan mas dan Mbak Julia adalah urusan kalian berdua. Jadi selesaikan oleh kalian berdua."Mobil direm tiba-tiba oleh Mas Kevin hingga membuat aku tersentak kaget. Spontan menoleh padanya. Kudapati dia menatapku dengan tajam dan penuh kemarahan."Apa kamu tadi bilang? Kamu tidak mau tau lagi dengan kemauanku menikahi Julia?"Aku mengangguk ragu. "Y-ya. Memangnya aku salah?""Berarti kamu sudah bosan menjadi istriku?"Aku langsung terdiam. Setiap kali Mas Kevin berbicara yang menyinggung ke perpisahan, aku tidak berkutik. Itu karena aku takut dengan perceraian Aku ingin menikah sekali seumur. hidup meskipun keberadaanku sebagai istri tidak pernah dianggap oleh Mas Kevin."Kalau masih ingin menjadi istriku, kamu harus mau bekerja sama denganku untuk meluluskan keinginanku menikahi Julia."Mobil kembali bergerak maju.Aku tidak membalas ucapannya kali ini tapi meremas tas dalam pangkuanku sebagai bentuk pelampiasan dari hati yang terluka."Jadi, kapan mau bilang ke kakek kalau kamu ingin aku menikah lagi demi memiliki anak?"Aku kembali membisu. Sungguh aku tidak ingin menyampaikan itu. Istri mana sih yang siap untuk dipoligami?Tak ada.Begitu pun aku."Wi! Jawab! Kenapa kamu diam?!" Mas Kevin mendesak. Kira-kira apa yang harus aku jawab?"Beri aku waktu, mas. Aku tidak bisa menjawabnya sekarang.""Oke. Tapi tidak lama-lama. Aku dan Julia sudah tidak sabar ingin segera menikah.""Iya." Hanya itu jawabku.Tak lama kemudian, kami tiba di rumah kami yang minimalis bergaya modern. Oh, maksudku rumah Mas Kevin. Layaknya orang asing, kami masuk ke kamar masing-masing tanpa ucapan selamat malam apalagi pelukan hangat.Dan... ini berlangsung setiap hari sepanjang dua tahun usia pernikahan.Dari sejak malam pertama hingga malam-malam berikutnya.Mas Kevin tak pernah menyentuhku apalagi lebih dari itu.Miris sekali bukan?Setelah menaruh Sling bag di atas tempat tidur, aku tidak langsung membersihkan diri di kamar mandi. Rasa haus membuatku kembali keluar kamar. Tapi langkahku terhenti di depan pintu karena mendengar suara Mas Kevin yang sepertinya sedang berbicara via telepon dengan seseorang yang aku tebak adalah Mbak Julia di dalam kamarnya yang letaknya bersebelahan dengan kamarku.Aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakan oleh lawan bicara Mas Kevin karena tidak mengaktifkan mode pengeras suara. Tapi aku bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Mas Kevin dengan jelas."Maaf, gagal sayang. Sepertinya Pertiwi memang susah untuk diminta berbohong karena itu kita butuh waktu lagi.""...?""Aku belum tau sampai kapan.""...?""Ya kita harus bersabar.""...?""Iya, nanti aku akan mencoba untuk mendesaknya.""...?""Apa? Nikah siri dulu?""...?""Kalau ketahuan kakek bisa gawat lho. Aku bisa dimarah habis-habisan.""...?""Sudah, kamu tenang saja. Pertiwi itu bodoh dan tidak bisa menolak perintahku. Dia pasti akan segera bilang pada kakek untuk mengizinkan aku menikah lagi."Aku menyentuh dadaku yang tiba-tiba terasa sesak setelah mendengar ucapan Mas Kevin tadi. Ternyata bukan hanya tidak mau menyentuhku, Mas Kevin juga menganggapku bodoh.Apa karena di matanya aku tampak bodoh sehingga dia tidak mau menyentuhku?Bersambung.“Maaf aku bangun kesiangan,” ucapku saat hanya bisa menghidangkan segelas kopi dan roti pada Mas Kevin. Padahal dia terbiasa makan-makanan berat semacam nasi ketika sarapan. Gara-gara obrolan Mas Kevin via telpon dengan seseorang yang kutebak adalah Mbak Julia, membuatku sulit tidur semalam. Baru bisa tertidur sekitar pukul tiga dini hari yang menyebabkan aku bangun sangat terlambat.“Hum.” Hanya itu tanggapan Mas Kevin. Dia langsung memegang telinga cangkir keramik yang baru aku taruh di hadapannya.Sebenarnya aku ingin bertanya perihal ucapannya yang menyebut aku bodoh semalam. Tapi tidak cukup waktu karena sebentar lagi Mas Kevin sudah berangkat ke kantor. Mungkin aku bisa menanyainya lain waktu jika dirasa belum ‘basi’ untuk membicarakannya.Yang pasti aku penasaran kenapa dia menyebutku bodoh. Sikap aku yang mana yang membuatnya berpikir kalau aku bodoh?Mas Kevin mereguk kopinya kembali hingga tandas setelah menghabiskan satu roti tawar oles selai coklat, sebelum akhirnya dia b
Aku keluar dari ruangan Mas Kevin dengan hati yang hancur lebur. Tapi sebisa mungkin menahan airmata yang memaksa ingin keluar dari muaranya. Kenyataan yang baru aku terima tak mampu membuatku mengindahkan pesan kakek tentang ‘ikhlas’ dalam pernikahan.Namun airmata itu tidak mampu aku bendung lagi ketika berdiri di depan lift. Untung saja aku tidak harus menunggu lama karena bertepatan dengan airmata yang jatuh, pintu liftnya terbuka. Aku bersegera masuk ke dalam lift –yang untungnya- kosong. Tapi ketika pintu lift hendak menutup kembali, seseorang kukenal masuk dan melihat airmataku.“Tiwi? Kenapa kamu menangis?”Momen Wilson melihatku menangis tidak bisa aku hindari. Meskipun dengan segera basah di wajahku aku seka dengan kedua tanganku, dia terlanjur melihatnya.“Katakan padaku kenapa kamu menangis?” Kali ini dia bertanya dengan tatapan –yang baru saja kulirik- penuh menyelidik.Sekarang aku harus menjawab apa pertanyaan adik iparku ini yang kenyataannya usianya lebih tua beberapa
"Hah? Maksudnya?" Aku pura-pura bingung saja menghadapi pertanyaan Wilson. "Kamu dan Kevin tidak tidur satu kamar?" Wilson mengulangi pertanyaannya setelah langkahnya sudah berhenti di dekatku."Bagaimana kamu bisa bertanya ini?" jawabku. "Tentu saja aku dan Mas Kevin tidur di kamar yang sama." Aku berbohong entah untuk kebaikan siapa. Yang pasti saat ini aku belum siap rahasia pernikahanku dengan Mas Kevin ketahuan."Kalau kamu dan Kevin tidur di kamar yang sama, bagaimana bisa kalian menaruh barang-barang kalian di kamar yang berbeda? Tadi ketika aku di atas, aku mendapati barang-barangmu ada di kamar yang sebelah kanan dan barang-barang Kevin ada di kamar sebelah kiri."Ada yang menyentak hatiku. Ternyata Wilson berani masuk kamar kami. Mungkin karena merasa itu kamar saudara sendiri. Kebiasaanku, kalau kamar-kamar itu belum selesai dibersihkan dan dirapikan, maka pintunya akan kubiarkan terbuka. Dan akan menutupnya jika sudah bersih dan rapi. Tidak menyangka kalau bakal terjadi s
KEVIN"Licik bagaimana? Pertiwi tidak seperti itu juga kali, Jul." Aku protes. Bukan karena ingin membela Pertiwi tapi merasa tuduhan Julia berlebihan. Meskipun aku dan Pertiwi tidak pernah tidur bersama, bukankah kami satu rumah? Walaupun tidak begitu mendalam, aku mengenali sifatnya. Pertiwi tidak licik seperti yang dituduhkan Julia. Mata Julia melebar seolah tak percaya dengan perkataanku barusan. "Oh, kamu mulai membelanya?""Aku tidak membelanya. Hanya mengatakan apa adanya. Lagian kemarahan kamu sama Tiwi berlebihan. Bagaimana bisa kamu bilang seperti ingin mencekiknya. Ucapan itu kadang berasal dari niat yang tersembunyi di dalam hati. Kamu pasti tahu apa itu mencekik? Berarti kamu punya niat untuk membunuhnya.""Salah kalau aku sampai punya niat seperti itu?""Ya, salah. Membunuh itu perbuatan keji. Merusak masa depan dan hidupmu sendiri. Jangan sampai kamu punya niat seperti itu. Aku tidak mau dan tidak suka.""Ya terus aku harus bagaimana? Aku sudah capek dengan hubungan ini
TIWI"Ternyata susah ya buat kamu untuk mengatakan iya pada keinginanku?" tanya Mas Kevin setelah aku kemukakan alasanku untuk mengunjungi makam kakekku.Aku tak perlu berbohong. Kuanggukkan kepala dengan cepat. "Ya.""Jadi besar kemungkinan kamu akan menolak?""Bisa jadi.""Berarti kamu tidak takut dengan perceraian?""Kalau memang akhirnya harus seperti itu, mau bagaimana lagi? Jodoh ada di tangan Tuhan. Meskipun kakek menginginkan aku jadi jodoh mas, kalau Tuhan tidak berkehendak, aku bisa apa?"Rahang Mas Kevin tampak mengencang. Dia lalu berdiri dari duduknya. "Aku tidak selera untuk sarapan. Nanti aku sarapan di kantor saja." Mas Kevin baru akan berbalik badan ketika dia menoleh padaku kembali. "Oya, aku tidak bisa mengantarmu ke desa. Kamu pakai travel saja.""Iya. Mas Kevin jangan khawatir. Aku bisa pergi sendiri."Dengan wajah marah, Mas Kevin pun meninggalkan meja makan. Aku menghela nafas panjang melihat reaksinya. Merenungi sebentar kejadian barusan sebelum akhirnya menik
KEVINSeketika jemariku menggenggam erat kemudi. 'Sial! Pengadu juga dia! Padahal kalau mau pergi ya pergi saja! Tidak perlu melapor pada kakek apalagi bilang aku tidak ingin mengantar! Dasar mulut ember!'"Aku sibuk, kek," jawabku kemudian."Sibuk apa kamu? Kalau hanya meninggalkan kantor dua hari, tidak akan jadi masalah. Toh kamu punya sekretaris. Lagian kamu bekerja di perusahaan kakek. Kakek tidak akan memecat kamu hanya karena mengantar Pertiwi. Malah kakek senang kamu bisa menjadi suami yang baik.""Tapi kek, ada beberapa laporan yang belum aku selesaikan. Lagian, sepertinya tidak masalah kalau Pertiwi pulang sendiri ke kampungnya. Punya suami bukan berarti harus manja kan?""Gampang sekali ya kamu melepaskan istri kamu. Baiklah, jika kamu tidak mau mengantar. Maka Wilson yang akan mengantarnya!" Panggilan diputus dari seberang. Apakah aku keberatan Pertiwi diantar Wilson ke kampungnya? Tentu saja tidak. Aku justru senang bebas tugas dan merasa aman karena dengan adanya Wilson
TIWIMendapati pertanyaanku barusan mata Wilson yang mengarah ke depan, mengedip beberapa kali. "Jadi kamu tidak bahagia?""Aku kan bertanya, Wil. Kok kamu malah balik bertanya sih?""Aku beneran tanya lho ini. Kamu beneran tidak bahagia?""Kalau iya kenapa kalau tidak kenapa?" Ya Tuhan, kenapa aku bisa jadi secerewet ini sih sama dia? Padahal kalau dengan Mas Kevin aku sangat pendiam. Habisnya sikap Wilson memancingku jadi ingin banyak bicara."Kalau iya memang kamu memang tidak bahagia, berarti selama ini kamu menggantungkan kebahagiaan kamu itu pada orang lain. Makanya kamu tidak bahagia. Karena seperti yang aku katakan tadi, kebahagiaan itu kita sendiri yang ciptakan. Tapi kalau kamu sudah bahagia, selamat. Kamu sudah menjadi manusia yang sesungguhnya."Jawaban yang membuat aku tersenyum simpul. "Berarti kalau tidak bahagia aku manusia jadi-jadian?""Bisa jadi begitu.""Ngacok!" hardikku. Tapi berbicara dengan Wilson membuat pikiran yang sumpek menjadi lega. Aku mulai menyadari ba
TIWI"AW! Kenapa kamu menampar aku, Wi?" Wilson mengusap pipinya yang barusan kena tampar aku."Salah kamu sendiri nyosor-nyosor begitu!" Balasku tidak ada lembut-lembutnya. Padahal kalau dengan Mas Kevin aku tidak berani bicara sekeras ini. Heran memang."Aku kan hanya bercandya. Kenapa juga kamu anggap serius?""Tidak ada bercanda-bercandaan di situasi seperti ini. Nanti kesambet dedemit baru tau kamu!"Kulihat bibir Wilson menipis. "Iya-iya."Lalu mobil jalan kembali.Tak lama sampailah di rumah kecilku. Rumah tempat aku lahir dan dibesarkan oleh kakekku. Pas aku datang, Bibi Farida menyambutku di pintu masuk. Bibi Farida ini adalah istri dari pamanku. Jadi yang keluarga kandungku adalah pamanku ya. Dan rumah bibi berada di samping rumahku. Tetanggaan memang. Tapi berjarak karena masing-masing rumah punya halaman yang luas.Dan keberadaan Bibi di rumah ini karena aku yang telpon minta tolong dibersihkan rumah dan dimasakkan makanan karena aku bilang aku datang bersama adik Mas Kevi