Share

Bab 2

Apa yang harus aku lakukan sekarang sementara kakek sendiri tidak mempermasalahkan aku yang belum hamil. Rasanya kurang pas jika aku malah ribut sendiri.

"Terima kasih atas kemurahan hati kakek." Malah itu yang kemudian terucap dari bibirku. Bisa kupastikan sebentar lagi Mas Kevin bereaksi. Benar saja, dia yang duduk di sebelahku itu langsung menyepak kakiku. Aku menoleh sekilas pada suamiku itu yang tampak sangat kesal sebelum akhirnya menundukkan wajah.

Sekarang aku serahkan saja urusan ini sama Mas Kevin. Terserah dia mau ngomong apa sama kakek. Untung-untung tidak sama sekali.

"Kek."

Aku melirik Mas Kevin. Sepertinya dia akan berbuat nekad.

"Penyebab Pertiwi belum juga hamil sepertinya karena mandul deh, kek," lanjut Mas Kevin tanpa memikirkan perasaanku sama sekali yang telah dia fitnah mandul.

Ucapannya itu sontak membuat kakek dan Wilson mengarahkan pandang pada Mas Kevin.

"Bagaimana kamu bisa mengatakan itu padahal usia pernikahan kalian baru dua tahun," balas kakek dengan ekspresi tidak senang.

"Betul yang dikatakan kakek, Kev." Wilson, adik iparku ikut menyahut. "Belum bisa hamil belum tentu mandul. Karena pernikahan kalian baru dua tahun. Kasihan Tiwi jika harus mendapatkan tuduhan mandul dari kamu sebagai suaminya."

Aku melihat rahang Mas Kevin langsung mengencang. Sepertinya suamiku ini tidak suka dengan yang barusan diucapkan Wilson.

"Aku tidak menuduh, Wil. Kenyataannya memang seperti itu," balas suamiku dengan nada suara yang agak meninggi.

"Kalau begitu Tiwi sudah mendapatkan surat keterangan dari dokter yang menyatakan kalau dia mandul?" Wilson balik bertanya. Aku kagum dengan adik iparku ini. Dia cerdas dan menerimaku dengan baik sebagai istri kakaknya.

"Ya... belum." Mas Kevin tampak gugup. "Tapi apalagi penyebabnya kalau bukan mandul? Dua tahun bukan waktu yang singkat. Dua tahun itu lama sekali untuk sebuah penantian ingin memiliki anak."

"Berarti kamu sudah sangat menginginkan anak?"

"Iya, tentu."

"Kenapa kalian berdua tidak sama-sama cek kesuburan di rumah sakit? Karena pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak, belum tentu karena istrinya yang mandul. Bisa jadi, maaf, suaminya yang mandul."

Mas Kevin langsung berdiri dari duduknya dengan wajah yang sangat marah. "Kamu menuduhku mandul, Wil?"

Kening Wilson mengerut. "Siapa yang menuduh kamu mandul, Kev? Aku tidak sama sekali menyebut kamu mandul. Aku hanya menjelaskan bahwa pasangan suami-isteri yang belum punya anak itu bukan berarti istrinya yang mandul, bisa jadi suaminya. Karena itu, agar tidak saling menuduh dan akhirnya menyakiti satu sama lain, lebih baik tes kesuburan di rumah sakit. Nanti ketahuan siapa di antara kalian berdua yang kurang subur. Setelahnya, selesaikan secara bijak."

"Wilson benar." Kakek menyahut. "Tes kesuburan adalah cara terbaik dan ter-the best untuk mengetahui siapa yang tidak subur. Kakek tidak membela siapa-siapa di sini. Tapi masalah anak yang belum hadir pada pernikahan, sering menjadi penyebab keretakan dalam rumah tangga meskipun kakek sendiri tidak mempermasalahkan. Jadi kakek setuju sekali dengan tes kesuburan. Jadwalkanlah segera. Kakek mau ikut."

Mas Kevin membisu. Dia tampak terpojok sekarang. Jelas saja. Kalau sampai melakukan cek kesuburan, rahasia terbesar dalam rumah tangga kami bakal terkuak. Yaitu, selama dua tahun menikah, aku masih perawan. Dan kakek pasti akan marah besar pada Mas Kevin karena tidak mau menyentuhku.

***

"Berani-beraninya kamu ikut campur urusan rumah tanggaku ya!"

Aku yang hendak memberikan minuman pada Mas Kevin dan Wilson yang sedang mengobrol di dekat kolam renang, menghentikan langkah dan memilih untuk menguping pembicaraan kakak beradik itu. Ada dinding yang menyekat kami sehingga Mas Kevin ataupun Wilson tidak mengetahui keberadaanku sekarang.

"Siapa yang ikut campur urusan rumah tangga kamu, Kev?"

"Tentu saja kamu! Jangan pura-pura lupa dengan apa yang sudah kamu katakan di meja makan tadi! Dengan penuh bangganya kamu bicara seolah kamu adalah orang yang bijak!"

"Kita kan tadi sedang berdiskusi. Apa salahnya kalau kemudian aku mengeluarkan pendapat? Barangkali berguna untuk kamu dan Pertiwi. Jangan anggap ini sebagai ikut campur. Kalau kamu tidak mau orang lain berpendapat, jangan kamu ungkapkan di meja makan tadi."

"Aku menyampaikan itu kepada kakek bukan kepada kamu!"

"Di depanku?"

"Ya karena momen untuk mengungkapkannya sudah tepat tadi?"

Wilson menyipitkan pandang. "Mengungkapkan? Maksudnya mengungkapkan tuduhan kamu pada Pertiwi kalau dia mandul tanpa lembar hasil tes kesuburan? Ini tidak adil, Kev. Dia itu istri kamu. Harus kamu jaga perasaannya. Jangan asal menuduh!"

Jawaban yang membuat hatiku terenyuh. Wilson bukan suamiku tapi mengapa begitu menjaga perasaanku? Sedangkan suamiku sendiri terang-terangan menyakitiku tanpa rasa belas kasihan sama sekali.

"Kurang ajar sekali kamu! Sok bijak kamu dengan mengajariku!"

Suara gemerusuk di balik tembok membuat aku melongokkan kepala ke arah kolam renang. Aku terperanjat saat mendapati Mas Kevin mencengkram kerah kemeja Wilson dengan tangan kiri sementara tangan kanannya berada di atas kepala dalam keadaan mengepal. Itu adalah posisi seseorang hendak melayangkan tinjuan.

"Mas Kevin!" Refleks aku berseru dengan suara lantang, membuat kedua pria yang berada di tepi kolam renang menoleh kepadaku. Lalu aku buru-buru mendekat pada mereka. Setelah dekat, aku taruh nampan yang sedari tadi aku pegang dan berisi dua gelas minuman ke atas meja kecil yang ada di sana, sebelum akhirnya menarik tangan Mas Kevin yang sedang mencengkram kerah kemeja Wilson. "Tolong obrolan di meja makan tadi jangan diperpanjang. Kasihan kakek kalau tau kalian bertengkar."

Tanpa kata, Mas Kevin melepaskan cengkramannya dengan tatapan dendam pada Wilson. Lalu dia berbalik arah dan meninggalkan tempatnya. Setelah meminta maaf pada Wilson, aku buru-buru mengikuti langkahnya menuju mobil yang terparkir di halaman.

"Ini gara-gara kamu!" ucap Mas Kevin ketika aku sedang memakai seat belt. "Mengaku Mandul dan bilang kalau ingin aku menikah lagi saja susah sekali!"

Mobil perlahan bergerak.

Aku menundukkan wajah. "Aku minta maaf, mas. Jujur aku paling sulit untuk berbohong. Lain kali jangan memintaku untuk berbohong baik pada kakek atau siapa pun karena pasti akan berakhir dengan kegagalan."

"Kalau bukan kamu yang berbohong agar aku bisa menikah dengan Julia, terus siapa? Kamu sudah lihat sendiri tadi kan? Kalau aku yang bilang, jadinya malah ribet."

"Aku tidak tau harus siapa yang berbohong. Dan... sepertinya aku tidak mau tau lagi. Urusan mas dan Mbak Julia adalah urusan kalian berdua. Jadi selesaikan oleh kalian berdua."

Mobil direm tiba-tiba oleh Mas Kevin hingga membuat aku tersentak kaget. Spontan menoleh padanya. Kudapati dia menatapku dengan tajam dan penuh kemarahan.

"Apa kamu tadi bilang? Kamu tidak mau tau lagi dengan kemauanku menikahi Julia?"

Aku mengangguk ragu. "Y-ya. Memangnya aku salah?"

"Berarti kamu sudah bosan menjadi istriku?"

Aku langsung terdiam. Setiap kali Mas Kevin berbicara yang menyinggung ke perpisahan, aku tidak berkutik. Itu karena aku takut dengan perceraian Aku ingin menikah sekali seumur. hidup meskipun keberadaanku sebagai istri tidak pernah dianggap oleh Mas Kevin.

"Kalau masih ingin menjadi istriku, kamu harus mau bekerja sama denganku untuk meluluskan keinginanku menikahi Julia."

Mobil kembali bergerak maju.

Aku tidak membalas ucapannya kali ini tapi meremas tas dalam pangkuanku sebagai bentuk pelampiasan dari hati yang terluka.

"Jadi, kapan mau bilang ke kakek kalau kamu ingin aku menikah lagi demi memiliki anak?"

Aku kembali membisu. Sungguh aku tidak ingin menyampaikan itu. Istri mana sih yang siap untuk dipoligami?

Tak ada.

Begitu pun aku.

"Wi! Jawab! Kenapa kamu diam?!" Mas Kevin mendesak. Kira-kira apa yang harus aku jawab?

"Beri aku waktu, mas. Aku tidak bisa menjawabnya sekarang."

"Oke. Tapi tidak lama-lama. Aku dan Julia sudah tidak sabar ingin segera menikah."

"Iya." Hanya itu jawabku.

Tak lama kemudian, kami tiba di rumah kami yang minimalis bergaya modern. Oh, maksudku rumah Mas Kevin. Layaknya orang asing, kami masuk ke kamar masing-masing tanpa ucapan selamat malam apalagi pelukan hangat.

Dan... ini berlangsung setiap hari sepanjang dua tahun usia pernikahan.

Dari sejak malam pertama hingga malam-malam berikutnya.

Mas Kevin tak pernah menyentuhku apalagi lebih dari itu.

Miris sekali bukan?

Setelah menaruh Sling bag di atas tempat tidur, aku tidak langsung membersihkan diri di kamar mandi. Rasa haus membuatku kembali keluar kamar. Tapi langkahku terhenti di depan pintu karena mendengar suara Mas Kevin yang sepertinya sedang berbicara via telepon dengan seseorang yang aku tebak adalah Mbak Julia di dalam kamarnya yang letaknya bersebelahan dengan kamarku.

Aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakan oleh lawan bicara Mas Kevin karena tidak mengaktifkan mode pengeras suara. Tapi aku bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Mas Kevin dengan jelas.

"Maaf, gagal sayang. Sepertinya Pertiwi memang susah untuk diminta berbohong karena itu kita butuh waktu lagi."

"...?"

"Aku belum tau sampai kapan."

"...?"

"Ya kita harus bersabar."

"...?"

"Iya, nanti aku akan mencoba untuk mendesaknya."

"...?"

"Apa? Nikah siri dulu?"

"...?"

"Kalau ketahuan kakek bisa gawat lho. Aku bisa dimarah habis-habisan."

"...?"

"Sudah, kamu tenang saja. Pertiwi itu bodoh dan tidak bisa menolak perintahku. Dia pasti akan segera bilang pada kakek untuk mengizinkan aku menikah lagi."

Aku menyentuh dadaku yang tiba-tiba terasa sesak setelah mendengar ucapan Mas Kevin tadi. Ternyata bukan hanya tidak mau menyentuhku, Mas Kevin juga menganggapku bodoh.

Apa karena di matanya aku tampak bodoh sehingga dia tidak mau menyentuhku?

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status