PERTIWISetelah hari pernikahan itu, aku menjalani kehidupan yang bahagia dan penuh cinta. Tak kurang kasih sayang dari Wilson dan kakek.Kegiatanku setiap hari juga selalu seru dan menyenangkan. Bangun pagi membantu Bibi masak di dapur, menyiapkan pakaian kerja suami, dan terakhir baru pergi ke De Tiwil. Lalu aku akan pulang sebelum Wilson pulang karena aku selalu memastikan diri menyambut kepulangan suami dengan mencium tangannya.Yang pasti sebagai istri aku sadar kalau melayani suami adalah kewajiban utama. De Tiwil adalah tempat hiburan saja. Yaitu tempatku untuk mengembangkan kemampuan diri dan bersosial. Pendapatan De Tiwil juga seluruhnya masuk ke rekeningku dan jarang aku pakai. Karena semua kebutuhanku sudah dipenuhi oleh suamiku, Wilson.Wilson sebagai suami bersikap sangat baik dan berusaha membahagiakan aku dengan caranya. Pria itu selalu menciumku sebelum berangkat kerja, menanyakan apakah aku sudah makan apa belum, memberikan kejutan berupa hadiah atau sejenisnya, dan l
KEVIN"Apa? Melihat bayi Pertiwi? Tidak ah. Lagian aku juga belum pulang jam segitu," jawab Julia ketika aku menelponnya untuk mengajaknya melihat bayi Pertiwi dan Wilson di rumah sakit bersalin. Kalau menuruti kata hati, aku pun tak sudi karena jika aku ke sana kemungkinan akan melukai diri sendiri. Tapi jika tidak pergi maka kakek semakin tidak menyukai aku. Karena itu, apapun yang terjadi di sana nanti, aku harus datang."Kita akan datang setelah kamu pulang kerja." Aku setengah memaksa."Ya ampun. Apa tidak bisa pergi sendiri, Kev? Jangan ajak-ajak aku kenapa sih?""Apa yang ada dalam pikiranmu sampai memintaku pergi sendiri hah? Memangnya kamu tidak malu sama kakek?"Terdengar helaan nafas. "Tapi aku tuh malas mau ke sana.""Hanya sebentar saja. Tidak akan lama kok.""Ya sudah. Iya." Tapi dengan nada tidak ikhlas. Maka, setelah makan malam, kami berangkat menuju rumah sakit bersalin tempat Pertiwi melahirkan. Kedatangan kami disambut dengan baik oleh Wilson dan Pertiwi. Terlihat
KevinHari ini adalah hari ulang tahun kakek. Aku sudah mempersiapkan sebuah hadiah jam tangan untuk kakek. Mudah-mudahan kakek menyukainya. Aku berangkat menuju rumah kakek seorang diri. Ya seorang diri tanpa Julia. Sebab sejak lebih satu tahun yang lalu hubungan kami sudah mendingin. Julia sendiri sudah memilih kembali tinggal di apartemennya dulu. Alasan kami pisah rumah adalah karena jika kami tinggal di rumah yang sama, selalu terjadi pertengkaran. Sehari bisa sampai beberapa kali. Kami sudah sama-sama capek dan ingin mendinginkan hati dengan tinggal berjauhan. Tapi aku tidak pernah mengusirnya dari rumah. Kepergiannya adalah keputusannya sendiri.Ketika kakiku menginjak lantai rumah kakek, Si Cantik Amira yang pertama kali menyambutku. Balita ini sudah berumur satu tahun lebih dan sudah bisa berjalan. Bahkan sudah bisa main kejar-kejaran dengan baby sitternya. Dia cantik dan lucu sekali. Membuat siapa pun yang melihat gemes dan ingin menciumnya. Tak terkecuali aku yang kem
"Jadi kapan kamu mau bilang ke kakek kalau kamu itu mandul dan bersedia dimadu oleh Kevin?"Aku menatap wanita cantik di depanku. Julia Mariska, yang merupakan kekasih suamiku. Ingin sekali menjawab jujur kalau aku tidak ingin mengaku mandul pada kakek karena... karena aku yakin tidak mandul. Tapi aku tidak mempunyai keberanian untuk terang-terangan menolak sebab akibatnya Mas Kevin akan menceraikan aku."Aku belum dapat momen yang tepat untuk mengatakannya, mbak. Harap mbak bersabar," jawabku. Berharap kekasih suamiku itu bisa mengerti."Sabar! Sabar! Mau berapa lama lagi aku harus bersabar? Waktu dua tahun itu bukan waktu yang singkat untuk menguji kesabaran. Aku sudah sangat sabar, Wi. Sekarang aku sudah di ujung batas kesabaran. Pokoknya malam ini kamu harus bilang ke kakek kalau kamu itu mandul dan merestui Kevin untuk menikahi aku!"Aku hanya mengangguk seperti orang bodoh. "Baik, mbak. Akan aku usahakan." Atau... mungkin aku memang bodoh.Julia menatapku lekat untuk beberapa sa
Apa yang harus aku lakukan sekarang sementara kakek sendiri tidak mempermasalahkan aku yang belum hamil. Rasanya kurang pas jika aku malah ribut sendiri."Terima kasih atas kemurahan hati kakek." Malah itu yang kemudian terucap dari bibirku. Bisa kupastikan sebentar lagi Mas Kevin bereaksi. Benar saja, dia yang duduk di sebelahku itu langsung menyepak kakiku. Aku menoleh sekilas pada suamiku itu yang tampak sangat kesal sebelum akhirnya menundukkan wajah.Sekarang aku serahkan saja urusan ini sama Mas Kevin. Terserah dia mau ngomong apa sama kakek. Untung-untung tidak sama sekali. "Kek."Aku melirik Mas Kevin. Sepertinya dia akan berbuat nekad. "Penyebab Pertiwi belum juga hamil sepertinya karena mandul deh, kek," lanjut Mas Kevin tanpa memikirkan perasaanku sama sekali yang telah dia fitnah mandul. Ucapannya itu sontak membuat kakek dan Wilson mengarahkan pandang pada Mas Kevin. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu padahal usia pernikahan kalian baru dua tahun," balas kakek dengan
“Maaf aku bangun kesiangan,” ucapku saat hanya bisa menghidangkan segelas kopi dan roti pada Mas Kevin. Padahal dia terbiasa makan-makanan berat semacam nasi ketika sarapan. Gara-gara obrolan Mas Kevin via telpon dengan seseorang yang kutebak adalah Mbak Julia, membuatku sulit tidur semalam. Baru bisa tertidur sekitar pukul tiga dini hari yang menyebabkan aku bangun sangat terlambat.“Hum.” Hanya itu tanggapan Mas Kevin. Dia langsung memegang telinga cangkir keramik yang baru aku taruh di hadapannya.Sebenarnya aku ingin bertanya perihal ucapannya yang menyebut aku bodoh semalam. Tapi tidak cukup waktu karena sebentar lagi Mas Kevin sudah berangkat ke kantor. Mungkin aku bisa menanyainya lain waktu jika dirasa belum ‘basi’ untuk membicarakannya.Yang pasti aku penasaran kenapa dia menyebutku bodoh. Sikap aku yang mana yang membuatnya berpikir kalau aku bodoh?Mas Kevin mereguk kopinya kembali hingga tandas setelah menghabiskan satu roti tawar oles selai coklat, sebelum akhirnya dia b
Aku keluar dari ruangan Mas Kevin dengan hati yang hancur lebur. Tapi sebisa mungkin menahan airmata yang memaksa ingin keluar dari muaranya. Kenyataan yang baru aku terima tak mampu membuatku mengindahkan pesan kakek tentang ‘ikhlas’ dalam pernikahan.Namun airmata itu tidak mampu aku bendung lagi ketika berdiri di depan lift. Untung saja aku tidak harus menunggu lama karena bertepatan dengan airmata yang jatuh, pintu liftnya terbuka. Aku bersegera masuk ke dalam lift –yang untungnya- kosong. Tapi ketika pintu lift hendak menutup kembali, seseorang kukenal masuk dan melihat airmataku.“Tiwi? Kenapa kamu menangis?”Momen Wilson melihatku menangis tidak bisa aku hindari. Meskipun dengan segera basah di wajahku aku seka dengan kedua tanganku, dia terlanjur melihatnya.“Katakan padaku kenapa kamu menangis?” Kali ini dia bertanya dengan tatapan –yang baru saja kulirik- penuh menyelidik.Sekarang aku harus menjawab apa pertanyaan adik iparku ini yang kenyataannya usianya lebih tua beberapa
"Hah? Maksudnya?" Aku pura-pura bingung saja menghadapi pertanyaan Wilson. "Kamu dan Kevin tidak tidur satu kamar?" Wilson mengulangi pertanyaannya setelah langkahnya sudah berhenti di dekatku."Bagaimana kamu bisa bertanya ini?" jawabku. "Tentu saja aku dan Mas Kevin tidur di kamar yang sama." Aku berbohong entah untuk kebaikan siapa. Yang pasti saat ini aku belum siap rahasia pernikahanku dengan Mas Kevin ketahuan."Kalau kamu dan Kevin tidur di kamar yang sama, bagaimana bisa kalian menaruh barang-barang kalian di kamar yang berbeda? Tadi ketika aku di atas, aku mendapati barang-barangmu ada di kamar yang sebelah kanan dan barang-barang Kevin ada di kamar sebelah kiri."Ada yang menyentak hatiku. Ternyata Wilson berani masuk kamar kami. Mungkin karena merasa itu kamar saudara sendiri. Kebiasaanku, kalau kamar-kamar itu belum selesai dibersihkan dan dirapikan, maka pintunya akan kubiarkan terbuka. Dan akan menutupnya jika sudah bersih dan rapi. Tidak menyangka kalau bakal terjadi s