“Maaf aku bangun kesiangan,” ucapku saat hanya bisa menghidangkan segelas kopi dan roti pada Mas Kevin. Padahal dia terbiasa makan-makanan berat semacam nasi ketika sarapan. Gara-gara obrolan Mas Kevin via telpon dengan seseorang yang kutebak adalah Mbak Julia, membuatku sulit tidur semalam. Baru bisa tertidur sekitar pukul tiga dini hari yang menyebabkan aku bangun sangat terlambat.
“Hum.” Hanya itu tanggapan Mas Kevin. Dia langsung memegang telinga cangkir keramik yang baru aku taruh di hadapannya.Sebenarnya aku ingin bertanya perihal ucapannya yang menyebut aku bodoh semalam. Tapi tidak cukup waktu karena sebentar lagi Mas Kevin sudah berangkat ke kantor. Mungkin aku bisa menanyainya lain waktu jika dirasa belum ‘basi’ untuk membicarakannya.Yang pasti aku penasaran kenapa dia menyebutku bodoh. Sikap aku yang mana yang membuatnya berpikir kalau aku bodoh?Mas Kevin mereguk kopinya kembali hingga tandas setelah menghabiskan satu roti tawar oles selai coklat, sebelum akhirnya dia berdiri dari duduknya. “Aku pergi sekarang.”Aku ikut berdiri. “Apa perlu aku mengantarkan makanan ke kantor? Kalau iya, aku akan masak sekarang dan segera aku antarkan ke kantor. Aku tak yakin mas cukup tenaga untuk bekerja sebelum makan nasi.”“Terserah kamu saja,” katanya sembari mengambil tas dan kemudian melangkah pergi.Mendengar jawabannya, aku bergegas memasak. Kubuatkan dia menu spesial, yaitu ayam rica-rica pedas manis. Aku sering memasakkannya menu ini dan dia menyukainya.Andai Mas Kevin tahu bahwa memasakkannya adalah hal yang menyenangkan bagiku. Begitu pun ketika aku mencuci dan menyetrika baju-bajunya. Sayang semua pengorbananku tak membuatnya berpaling dari Mbak Julia.Sedih sekali jika aku menyadari hal ini. Namun, selama mereka belum menikah dan Mas Kevin belum menceraikan aku, maka aku boleh saja berharap dia akan menjadi mencintaiku layaknya seorang suami pada istrinya.Apakah aku sangat mencintainya hingga mau berkorban sedalam ini?Jawabannya aku tidak tahu. Sebab aku dan dia menikah karena perjodohan yang dibuat oleh kakeknya dan almarhum kakekku dua tahun lalu. Sebelum meninggal kakek berpesan agar aku memiliki sikap sabar dan ikhlas dalam menjalani pernikahan. Sekuat mungkin mempertahankan keutuhan rumah tangga agar perceraian tidak terjadi.Terkecuali terjadi kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT.Dan Mas Kevin tidak pernah melakukan kekerasan secara fisik padaku. Tapi aku akui kalau hati, iya.Tapi kembali aku mengingat pesan kakek untuk sabar dan ikhlas. Karena kata kakek cobaan itu akan ada akhirnya.Inilah yang membuat aku tetap bertahan menjadi istri Mas Kevin meskipun tanpa sentuhan darinya. Namun aku akui setelah selama dua tahun tinggal satu atap, rasa cinta itu mulai tumbuh walaupun rasa cinta itu belum begitu kuat terasa.Lebih dari dua jam kemudian, aku berangkat menuju kantor Mas Kevin yang merupakan perusahaan milik kakeknya. Sekitar 20 menitan, aku sudah sampai. Security dan resepsionis sudah mengenal aku sebagai istri Mas Kevin sehingga aku bisa masuk dengan mudah tanpa harus ditanyai oleh mereka.Saat sedang menunggu lift, tiba-tiba aku bertemu Wilson. Adik iparku itu langsung memberikan senyum. Yang jadi perhatiannya pertama kali adalah wadah bekal susun yang aku tenteng.“Makanan untuk Kevin ya?” Meskipun usia Kevin lebih tua satu tahun dari Wilson, tapi pria ini langsung memanggil nama tanpa embel-embel ‘kakak’ di depannya. Entah kenapa. Mungkin agar terkesan akrab walaupun aku perhatikan mereka tidak pernah akrab. Seolah ada dinding pemisah antara keduanya yang entah apa.Soal wajah, mereka juga tidak mirip sama sekali. Wajah Mas Kevin lebih mirip mamanya karena foto wanita itu terpajang di ruang tamu rumah kami. Sedangkan Wilson seperti cerminan kakek. Wajah dan sikap mereka pun nyaris sama. Oya, yang anak kakek Mas Kevin dan Wilson adalah papanya Mas Kevin.Aku membalas senyum Wilson yang kharismatik. “Iya.”“Wah, beruntung sekali ya Kevin dapat istri seperti kamu. Sudah baik, perhatian, lembut, dan cantik lagi. Mudah-mudahan suatu hati nanti aku bisa punya istri seperti kamu.”Bukannya mengembang mendapat pujian itu, senyumku justru meredup begitu mendengar ucapan Wilson. Kenapa di mata Wilson aku adalah istri yang baik, perhatian, lembut, dan cantik, sementara di mata suamiku sendiri aku adalah istri yang bodoh?Hatiku menjadi sedih seketika. Aku inginnya pujian barusan berasal dari Mas Kevin, bukan dari pria lain.“Ah, kamu berlebihan,” balasku dengan wajah datar. Sedikit pun aku tidak tersanjung dengan pujian pria lain meskipun itu adik iparku sendiri.“Berlebihan? Tentu saja tidak. Kakek juga mengatakan hal yang sama padaku. Alasan kenapa kakek menjadikan kamu menantu keluarga kami ya… karena memiliki poin-poin seperti yang aku sebutkan di atas.Kalau tidak percaya, coba deh kamu Tanya kakek. Ah, jangan jauh-jauh. Tanya saja pada Kevin. Dia pasti setuju dengan ucapanku.”Aku tersenyum getir. Wilson salah. Aku tahu Mas Kevin tidak setuju dengan ucapannya. Di mata Mas Kevin aku adalah istri yang bodoh dan tidak layak untuk disentuh.Pintu lift tiba-tiba terbuka. Kami berdua pun masuk ke dalamnya. Hanya kami berdua.“Kamu tidak kembali lagi ke ibukota? Sudah mulai kerja di kantor ini ya?” tanyaku penasaran. Soalnya selama dua tahun menjadi istri Kevin, ini kali ketiga aku bertemu dengannya. Yang pertama saat menikah, yang kedua tadi malam, dan yang ketiga sekarang. Wilson sepertinya sangat betah bekerja di ibukota. Hal yang aku herankan sih. Kenapa dia harus bekerja pada orang sementara kakeknya sendiri memiliki perusahaan.Wilson memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Belum sih kalau kerja di kantor ini. Masih mau free dulu. Soal kembali ke ibukota, aku tidak bisa memastikan. Tapi untuk saat ini sih belum. Aku masih ingin menikmati hari-hari bersama kakek.”“O….” Aku angguk-angguk.“Oya, ada yang mau aku tanyakan secara pribadi sama kamu. Ini soal ucapan kalian berdua tadi malam. Itu lho soal man_” Wilson menghentikan ucapannya karena tiba-tiba pintu lift terbuka. Kami sudah tiba di lantai tujuan.“Tidak jadi deh. Lain kali saja aku bertanyanya,” ralatnya. Dia lalu menggerakkan tangan ke arah luar lift. Tanda mempersilahkan aku keluar dari lift terlebih dahulu. Sungguh sopan sekali pria satu ini.Aku pun melangkah keluar dari lift yang kemudian diikuti oleh dirinya.“Aku langsung menuju ruangan Mas Kevin ya, Wil?” ucapku pada Wilson.Wilson mengangguk dan tersenyum. “Oke.”Lalu kami berpisah karena kami melangkah ke arah yang berbeda.Beberapa menit kemudian, posisiku sudah berada di depan pintu ruangan Mas Kevin yang merupakan direktur di perusahaan ini. Aku rapikan dulu rambut dan dress yang membalut tubuhku sebelum akhirnya membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu. Apa yang aku lihat saat ini hampir membuatku menangis. Mas Kevin sedang beradu bibir dengan Mbak Julia yang merupakan sekretarisnya sendiri.Dari awal menikah, aku sudah mengetahui hubungan mereka yang tidak direstui oleh kakek. Tapi baru kali ini aku melihat dengan mata kepala sendiri Mas Kevin dan Mbak Julia berciuman. Sakit sekali rasanya hatiku ini.Menyadari kehadiranku, mereka langsung bergerak menjauh.“Ti-Tiwi? Kenapa kamu masuk tanpa mengetuk pintu dulu?” tanya Mas Kevin agak panik.“Aku pikir ini adalah ruangan suamiku sehingga tidak perlulah aku mengetuknya,” jawabku sembari menyeka air mata yang jatuh tanpa bisa aku bending.“Siapa pun aku atau siapa pun kamu, biasakan mengetuk pintu dulu ketika mau masuk ruangan orang. Bisa jadi di dalam ruangan itu sedang ada e maksudku sedang kedatangan tamu bisnis yang penting.”“Aku minta maaf. Lain kali aku akan mengetuk dulu.”“Oh, ya sudah. Masuklah.” Mas Kevin menoleh pada Julia. “Kamu boleh pergi.”Julia mengangguk. Dia lalu melangkah keluar ruangan bersamaan dengan aku yang masuk ke dalam ruangan. Julia sempat melirikku tapi aku tidak meliriknya ketika kami berpapasan.“Kamu datang untuk mengantarkan makanan?” tebak Mas Kevin melihat dari wadah bekal yang aku bawa.Aku mengangguk tanpa kata. Kutaruh wadah bekal susun itu di atas meja. “Makanlah selagi belum terlalu dingin. Aku akan langsung pulang sekarang.”Aku berbalik hendak pergi saat Kevin berkata. “Apa yang kamu lihat tadi itu… ya, aku dan Julia sudah sering melakukannya. Satu hal lagi yang harus kamu tahu bahwa, hubungan kami sudah sangat jauh. Kebutuhan biologisku telah dipenuhi olehnya."Seluruh tubuhku gemetar mendengar itu. Ini adalah pengakuan yang membuat hatiku yang sakit kini hancur berkeping-keping. Ternyata selama ini aku begitu polos karena mengira hubungan mereka hanya sebatas pacaran biasa. Nyatanya, mereka sudah campur. Entah kapan dan dimana mereka melakukan itu, aku tidak sanggup membayangkan.“Karena itu, Julia sudah sangat ngebet ingin dinikahi olehku. Agar statusnya jelas. Selain itu kami memang saling mencintai satu sama lain. Cinta kami sangat kuat.”“O….” Hanya itu balasanku. Sungguh saat ini yang aku butuhkan adalah pelukan yang menenangkan hati yang sedang sangat terluka ini.“Oleh sebab itu, aku meminta tolong kepadamu untuk membukakan jalan agar cinta kami bisa bersatu,” lanjut Mas Kevin.“Dengan mengorbankan harga diriku?” sahutku tanpa direncana. “Kalian ingin menyatukan cinta kalian dengan menjadikan aku tumbal. Kalian bahagia tapi aku dicap wanita mandul sehingga semua orang akan memaklumi pernikahan kalian?”Mas Kevin terdiam. Sepertinya dia syok dengan jawabanku barusan.Bersambung.KevinHari ini adalah hari ulang tahun kakek. Aku sudah mempersiapkan sebuah hadiah jam tangan untuk kakek. Mudah-mudahan kakek menyukainya. Aku berangkat menuju rumah kakek seorang diri. Ya seorang diri tanpa Julia. Sebab sejak lebih satu tahun yang lalu hubungan kami sudah mendingin. Julia sendiri sudah memilih kembali tinggal di apartemennya dulu. Alasan kami pisah rumah adalah karena jika kami tinggal di rumah yang sama, selalu terjadi pertengkaran. Sehari bisa sampai beberapa kali. Kami sudah sama-sama capek dan ingin mendinginkan hati dengan tinggal berjauhan. Tapi aku tidak pernah mengusirnya dari rumah. Kepergiannya adalah keputusannya sendiri.Ketika kakiku menginjak lantai rumah kakek, Si Cantik Amira yang pertama kali menyambutku. Balita ini sudah berumur satu tahun lebih dan sudah bisa berjalan. Bahkan sudah bisa main kejar-kejaran dengan baby sitternya. Dia cantik dan lucu sekali. Membuat siapa pun yang melihat gemes dan ingin menciumnya. Tak terkecuali aku yang kem
KEVIN"Apa? Melihat bayi Pertiwi? Tidak ah. Lagian aku juga belum pulang jam segitu," jawab Julia ketika aku menelponnya untuk mengajaknya melihat bayi Pertiwi dan Wilson di rumah sakit bersalin. Kalau menuruti kata hati, aku pun tak sudi karena jika aku ke sana kemungkinan akan melukai diri sendiri. Tapi jika tidak pergi maka kakek semakin tidak menyukai aku. Karena itu, apapun yang terjadi di sana nanti, aku harus datang."Kita akan datang setelah kamu pulang kerja." Aku setengah memaksa."Ya ampun. Apa tidak bisa pergi sendiri, Kev? Jangan ajak-ajak aku kenapa sih?""Apa yang ada dalam pikiranmu sampai memintaku pergi sendiri hah? Memangnya kamu tidak malu sama kakek?"Terdengar helaan nafas. "Tapi aku tuh malas mau ke sana.""Hanya sebentar saja. Tidak akan lama kok.""Ya sudah. Iya." Tapi dengan nada tidak ikhlas. Maka, setelah makan malam, kami berangkat menuju rumah sakit bersalin tempat Pertiwi melahirkan. Kedatangan kami disambut dengan baik oleh Wilson dan Pertiwi. Terlihat
PERTIWISetelah hari pernikahan itu, aku menjalani kehidupan yang bahagia dan penuh cinta. Tak kurang kasih sayang dari Wilson dan kakek.Kegiatanku setiap hari juga selalu seru dan menyenangkan. Bangun pagi membantu Bibi masak di dapur, menyiapkan pakaian kerja suami, dan terakhir baru pergi ke De Tiwil. Lalu aku akan pulang sebelum Wilson pulang karena aku selalu memastikan diri menyambut kepulangan suami dengan mencium tangannya.Yang pasti sebagai istri aku sadar kalau melayani suami adalah kewajiban utama. De Tiwil adalah tempat hiburan saja. Yaitu tempatku untuk mengembangkan kemampuan diri dan bersosial. Pendapatan De Tiwil juga seluruhnya masuk ke rekeningku dan jarang aku pakai. Karena semua kebutuhanku sudah dipenuhi oleh suamiku, Wilson.Wilson sebagai suami bersikap sangat baik dan berusaha membahagiakan aku dengan caranya. Pria itu selalu menciumku sebelum berangkat kerja, menanyakan apakah aku sudah makan apa belum, memberikan kejutan berupa hadiah atau sejenisnya, dan l
PertiwiAku yang baru keluar dari kamar mandi memperhatikan Wilson yang meminum sebuah minuman botol hingga tandas. Karena motif botol minuman tersebut sangat asing bagiku, aku pun penasaran sehingga mendekati Wilson. "Yang kamu minum tadi barusan apa?" tanyaku sembari mengambil duduk di depan Wilson. Mataku lekat menatapnya dengan hati bertanya-tanya. "Oh, ini." Wilson menunjukkan botol yang ada di tangannya. "Ini suplemen laki-laki. Kandungannya bisa membuat stamina selama melakukan hubungan suami istri menjadi bagus. Jadi kita bisa melakukan hubungan suami istri itu sebanyak beberapa kali malam ini.""O... begitu," balasku dengan perasaan menyesal. Harusnya aku tidak bertanya dan cuek saja. Kalau begini kan dikira mau tahu banyak tentang laki-laki sebelum melakukan malam pertamanya."Kamu suka kan kalau aku kuat malam ini?"Kurasakan wajahku menghangat setelah mendengar pertanyaan Wilson. Blak-blakan sekali dia mengatakan itu seolah aku ini adalah wanita berpengalaman dalam melak
PertiwiHari-hariku dengan Wilson disibukkan dengan mengurus pernikahan kami. Hati kamu diliputi kebahagiaan yang tak terperi. Kami berniat menjadikan pernikahan ini sebagai pernikahan yang berkesan tak hanya bagi kami tapi bagi siapa pun meskipun tidak digelar begitu mewah. Pernah kakek bertanya kenapa tidak digelar sangat mewah karena banyak pihak yang akan membantu. Wilson menjawab dengan: "Yang penting ijab sah, kek. Dan halal halal."Kakek hanya tertawa mendengar itu dengan tatapan kagum. Ya, kakek sepertinya mulai mengagumi Wilson sebagai mana aku mengagumi calon suamiku itu. Jika di awal-awal ada rasa ragu dan khawatir, sekarang tidak ada lagi. Aku sangat yakin pernikahanku kali ini diliputi kebahagiaan dan rasa cinta yang banyak."Apa ada dari luar kota yang mau kamu undang, Wi?" tanya Wilson suatu ketika.Aku mengangguk tegas. "Ya. Tentu saja paman, bibi, dan keponakanku.""Kalau begitu kita akan siapkan kamar di hotel tempat acara kita digelar untuk mereka."Aku tersenyum
KEVIN"BANGSAT!" Kupukul kemudiku dengan kemarahan yang rasanya ingin aku ledakan. Bagaimana tidak, Pertiwi malah membalikkan omonganku. Sombong sekali dia! Aku doakan pernikahannya nanti tidak akan berjalan bahagia!Dengan kemarahan ini, aku tidak ada tenaga untuk berangkat ke kantor. Moodku sudah jelek. Aku pun memilih pulang. Begitu kakiku menginjak lantai ruang tengah, kudapati Julia duduk memegang ponsel sembari makan cemilan. Kakinya naik ke atas meja. Rambutnya dikuncir tidak sempurna. Dan dia masih mengenakan pakaian tidur yang pertanda belum mandi. Oh God! Inilah yang aku benci dari dirinya sekarang. Di rumah kerjanya hanya main hp, nonton televisi, dan tidur. Kalau keluar langsung menghabiskan uang. Tak ada sedikit pun sikap yang berusaha untuk membahagiakan aku sebagai seorang suami. Minimal menyiapkan aku baju sebelum kerja atau membuatkanmu minuman. Bahkan untuk mengambil air putih saja dia harus menyuruh pembantu. Kelewatan kan?"Lho, kok kamu pulang lagi, Kev?" tanya J