Share

Bab 5

"Hah? Maksudnya?" Aku pura-pura bingung saja menghadapi pertanyaan Wilson.

"Kamu dan Kevin tidak tidur satu kamar?" Wilson mengulangi pertanyaannya setelah langkahnya sudah berhenti di dekatku.

"Bagaimana kamu bisa bertanya ini?" jawabku. "Tentu saja aku dan Mas Kevin tidur di kamar yang sama." Aku berbohong entah untuk kebaikan siapa. Yang pasti saat ini aku belum siap rahasia pernikahanku dengan Mas Kevin ketahuan.

"Kalau kamu dan Kevin tidur di kamar yang sama, bagaimana bisa kalian menaruh barang-barang kalian di kamar yang berbeda? Tadi ketika aku di atas, aku mendapati barang-barangmu ada di kamar yang sebelah kanan dan barang-barang Kevin ada di kamar sebelah kiri."

Ada yang menyentak hatiku. Ternyata Wilson berani masuk kamar kami. Mungkin karena merasa itu kamar saudara sendiri. Kebiasaanku, kalau kamar-kamar itu belum selesai dibersihkan dan dirapikan, maka pintunya akan kubiarkan terbuka. Dan akan menutupnya jika sudah bersih dan rapi. Tidak menyangka kalau bakal terjadi seperti ini.

"Setahu aku nih, dan kakek juga pasti akan berpikir sama. Suami istri pasti akan menaruh barang-barang mereka di kamar yang sama, yaitu di kamar yang mereka berdua tempati. Bukan begitu kek?"

Kakek mengangguk. "Iya, itu benar. Kakek belum pernah mendapati suami istri meletakkan barang-barang mereka di kamar yang berbeda. Kakek juga jadi ingin tau alasan barang-barang kalian berada di kamar yang berbeda."

Aku mengigit bibir bawahku. Bagaimana aku harus menjawab?

"E... aku dan Mas Kevin memang berbeda dengan pasangan suami istri lainnya, kek. Barang Mas Kevin itu banyak. Kalau aku menaruh barangku juga di kamar utama, membuat Mas Kevin kesulitan mencari barangnya sendiri nanti. E ... kata lainnya barang-barangku akan mengganggu. Karena itu akhirnya aku memutuskan untuk menyimpan barang-barangku di kamar sebelah."

"Tapi aku melihat barang-barang Kevin di kamar utama tidak begitu banyak, Wi. Standar saja. Seperti barang-barangku. Aku rasa tak masalah kalau barang-barangmu masuk kamar utama."

Aku menelan saliva. Apa sebenarnya niat Wilson mengatakan ini di depan kakek? Seolah tengah memaksaku secara tidak langsung untuk membongkar rahasia pernikahan kami pada kakek. Apa mungkin Wilson sudah tahu hal yang sebenarnya dan memang ingin membongkarnya pada kakek."

"Seperti yang aku katakan tadi, Wil, kek. Aku dan Mas Kevin berbeda dengan pasangan suami istri lainnya. Kami lebih suka kalau meletakan barang-barang kami secara terpisah di tempat yang berbeda. Maaf, tak sama dengan kebiasaan orang lain itu apakah dilarang? Tidak kan?"

Hh, sepertinya aku mulai pandai berbohong.

Wilson menggendikkan bahu. "Ya tidak sih. Setiap orang bebas dengan rumahnya sendiri. Tapi kamu juga harus paham kalau aku merasa ini tuh aneh karena baru kali ini aku menemukan yang seperti ini."

***

POV Kevin

Aku mengalihkan sejenak pandanganku dari layar laptopku ke pintu yang sekarang sedang diketuk oleh seseorang.

"Masuk!" jawabku sembari mengembalikan pandang pada layar laptop kembali.

Terdengar suara pintu terbuka lalu terdengar suara pintu tertutup kembali.

"Kamu sangat sibuk, Kev?" Suara Julia membuat menoleh kepadanya. Kudapati dia berjalan ke arahku dan menaruh berkas ke atas meja.

"Aku sudah bilang kepadamu 'kan untuk tidak memanggil namaku tanpa embel-embel 'pak' ketika baru masuk atau pintu belum tertutup sempurna, Nanti ada yang mendengar. Itu sangat berbahaya untuk hubungan kita," ucapku dengan rasa khawatir. Keras kepala sekali kekasihku ini. Sudah berkali aku bilang untuk jangan 'sembrono' dalam bersikap. Tapi sering sekali mengulangi lagi perbuatan yang sama.

Bola mata Julia berputar ke atas sebelum akhirnya menatapku tajam. "Sampai kapan kita akan berhubungan seperti ini terus, Kev? Aku ini sudah capek. Sekali lagi ca-pek."

Aku mengambil berkas yang ditaruh ke atas meja tadi, lalu mengambil pena. "Kita kan sedang proses dalam mendapatkan restu kakek."

Julia mengambil duduk di sofa. "Selalu itu yang kamu katakan. Nyatanya sudah bertahun-tahun tapi tidak juga ada perubahan."

Bibirku langsung mengatup. Itu memang benar. Tak ada lagi perubahan. Dari waktu masih berpacaran hingga aku sudah menikah, tetap saja terhalang restu kakek.

Entah sejak kapan kakek mempersiapkan Pertiwi sebagai calon istriku, yang pasti aku diharuskan menikahi gadis itu jika menginginkan jadi pewaris perusahaan.

Sebenarnya kakek tidak memaksaku untuk menikahi Pertiwi, hanya saja jika aku menolak menikahi gadis itu maka kepemimpinan perusahaan akan jatuh ke tangan adikku, Wilson.

Tentu saja aku tidak bisa membiarkan itu karena yang paling berhak atas kepemimpinan perusahaan adalah aku.

Makanya akhirnya aku menikahi Pertiwi meskipun masih berhubungan dengan Julia. Namun, rasa cinta tetap pada Julia karena kekasihku ini memiliki semua yang tidak Pertiwi milikki. Julia seksi, menarik, cantik, dan berpendidikan

Sementara Pertiwi terlalu sederhana untuk menjadi istri seorang Kevin. Selain itu, sangat memiliki jiwa pembantu. Sukanya masak, beres-beres rumah, dan melayani. Sebagian laki-laki mungkin suka dengan wanita seperti ini, tapi tidak dengan aku.

Aku membubuhkan satu tangan tangan di atas kertas. "Jalan setiap hubungan itu berbeda, Jul. Ada yang mudah, ada yang agak sulit, dan ada yang sangat rumit seperti hubungan kita. Aku rasa banyak yang mengalami posisi kita. Tapi mereka tetap bertahan kan? Walaupun beberapa kandas juga. Sebenarnya sih kita bisa bersama secepatnya. Tapi kan kamu tau resikonya, perusahaan akan dipegang oleh Wilson. Lihat saja, dia sudah pulang dari perantauannya."

Kali ini Julia yang terdiam. Kekasihku itu memang sudah tahu semua cerita tentang keadaan keluargaku. Jadi dia tidak kaget lagi dengan ancaman itu. Hanya saja, bingung dan khawatir.

"Jadi kita harus bagaimana sekarang? Istrimu yang menyebalkan itu hingga sekarang tidak mau membantu kita."

"Untuk saat ini, dia juga bingung bagaimana cara membantu kita. Karena kemarin waktu dia berusaha untuk mengatakan kalau dirinya mandul, kakek malah meminta kami untuk melakukan cek kesuburan di rumah sakit. Kalau ini sampai dilakukan, maka kita dalam bahaya. Kakek akan tau kalau menantu kesayangannya itu ternyata masih perawan."

"Bagaimana kalau kamu bayar saja rumah sakit untuk membuat keterangan palsu?"

Usul yang bagus dari Julia dan aku juga sempat berpikir sama. Tapi masalahnya....

"Kakek akan ikut dalam cek kesuburan itu. Kita tidak bisa melakukannya dengan mudah. Kalau apes, akan ketahuan kakek. Dan itu malah akan membuatnya murka. Kamu kan tau kalau kakek bukan laki-laki tua yang bodoh."

Julia menghempaskan punggung ke sandaran sofa. Terlihat frustasi. "Ya, aku tau itu. Jadi intinya kita belum bisa berbuat apa-apa sekarang."

"Ya. Terkecuali kalau Pertiwi mau membujuk kakek agar aku diperbolehkan menikah lagi meskipun tanpa alasan mandul."

Tubuh Julia tegak lagi. "Kalau begitu kenapa kamu tidak menyuruhnya melakukan itu?"

"Karena membujuknya tidak mudah. Memangnya ada wanita yang mau dimadu? Aku yakin tidak ada. Kalau pun ada, itu karena sesuatu hal yang lebih dekat dengan keterpaksaan. Sebenarnya, Pertiwi juga juga tidak mau diduakan, Jul. Apalagi selama ini aku belum pernah memberikan apa-apa kepadanya selain uang bulanan untuk kebutuhan rumah."

"Tapi kan uang belanjamu lebih dari cukup. Dia bisa membeli sesuatu yang lain dari yang belanja itu."

"Nyatanya dia tetap sederhana kan? Semua yang dikenakannya tidak ada yang baru terkecuali aku atau kakek yang membelikan. Dia seperti tidak pernah memakai uangku."

"Berarti istrimu itu cerdik. Mungkin dengan bersikap seperti itu dia berharap bisa menguasai kakek dan kamu. Licik sekali." Julia mengibaskan rambutnya. "Aku melihat kelicikannya itu waktu bertemu dan berbicara dengannya secara langsung. Sikap lembut namun liciknya itu membuatku seperti ingin mencekiknya."

Kedua alisku bergerak ke atas merespon ucapan Julia. Salah satu yang tidak aku suka dari Julia adalah kasar ketika marah.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status