Share

Bab 4

Aku keluar dari ruangan Mas Kevin dengan hati yang hancur lebur. Tapi sebisa mungkin menahan airmata yang memaksa ingin keluar dari muaranya. Kenyataan yang baru aku terima tak mampu membuatku mengindahkan pesan kakek tentang ‘ikhlas’ dalam pernikahan.

Namun airmata itu tidak mampu aku bendung lagi ketika berdiri di depan lift. Untung saja aku tidak harus menunggu lama karena bertepatan dengan airmata yang jatuh, pintu liftnya terbuka. Aku bersegera masuk ke dalam lift –yang untungnya- kosong. Tapi ketika pintu lift hendak menutup kembali, seseorang kukenal masuk dan melihat airmataku.

“Tiwi? Kenapa kamu menangis?”

Momen Wilson melihatku menangis tidak bisa aku hindari. Meskipun dengan segera basah di wajahku aku seka dengan kedua tanganku, dia terlanjur melihatnya.

“Katakan padaku kenapa kamu menangis?” Kali ini dia bertanya dengan tatapan –yang baru saja kulirik- penuh menyelidik.

Sekarang aku harus menjawab apa pertanyaan adik iparku ini yang kenyataannya usianya lebih tua beberapa tahun dariku.

“Aku… aku….” Sialnya aku adalah orang yang sulit untuk berbohong. “Aku… aku….”

“Aku…?” Wilson mengulang ucapanku dengan ekspresi menunggu jawaban. “Aku apa? Ada masalah dengan Kevin? Kamu bertengkar dengannya?”

Aku mengangguk saja. Toh, pertengkaran dalam rumah tangga adalah hal yang biasa. Yang penting Wilson tidak tahu penyebab sebenarnya aku menangis.

Wilson menghela nafas berat. “Bertengkar…,” ucapnya lirih. “Apa pertengkaran kalian barusan ada hubungannya dengan mandul dan anak seperti yang kalian ceritakan tadi malam?”

Lagi-lagi aku mengangguk saja. Biarlah Wilson menduga apa yang dia sebutkan tadi sebagai penyebabnya daripada dia tahu penyebab sebenarnya tangisan ini.

“Kalau menurutku ya, kamu berdua harus segera tes kesuburan. Ya biar segera tahu siapa yang tidak subur daripada saling salahkan. Aku yakin Kevin menuduh kamu yang mandul sampai kamu menangis begini. Dia itu… aduh, agak egois memang.”

Aku diam saja mendengar penyampaiannya. Untungnya airmataku sudah tidak memaksa untuk keluar lagi.

“Begini saja, kalau memang Kevin tidak mau tes kesuburan bareng kamu, kamu sendiri saja yang melakukan tes itu ke rumah sakit. Aku bersedia mengantar karena aku kan sedang jadi pengangguran sekarang. Mau diminta mengantar ke ujung dunia pun pasti bisa.”

Aku menggeleng. “TIdak perlu repot-repot. Nanti saja tes-nya kalau Mas Kevin sudah bersedia,” jawabku.

Bukannya menyelesaikan masalah, tes kesuburan malah akan menyebabkan terjadinya perang dunia ketiga antara Mas Kevin dan kakeknya. Karena mungkin akan membongkar sebuah rahasia kalau aku masih perawan.

“Kalau Kevin tidak pernah mau melakukan tes itu tapi dia terus menuduhmu mandul, bagaimana?”

Aku menggigit bibir bawahku. “E… aku tidak tau. Tapi untuk saat ini biarlah begini saja.”

Wilson menggendikkan bahu tanda menyerah. “Oke. Tapi kalau Kevin masih menyalahkan kamu, beri tahu aku. Oya, tolong save nomerku ya.”

Aku mengangguk. Langsung kukeluarkan ponsel dari tas selempang untuk mencatat nomor ponsel Wilson. Pria yang perhatian sekali. Beruntung wanita yang bisa memiliki pria seperti dirinya.

“Aku antar kamu pulang saja ya? Kebetulan aku sedang mau keluar,” katanya ketika lift membuka tanda kami sudah sampai di lantai satu.

“Kalau tidak merepotkan, boleh.”

“Tentu saja tidak merepotkan. Kan sudah aku bilang kalau aku ini pengangguran.”

“Aku tersenyum.”

***

Jam sudah menunjukan pukul 12 malam, tapi Mas Kevin belum pulang ke rumah juga. Tanpa aku tanya dan memang tidak berani tanya, aku sudah tahu dimana keberadaannya saat ini. Tentu saja berada di kediaman Mbak Julia. Sejak pengakuannya tadi pagi, aku jadi tahu alasan dia sering pulang terlambat atau terlambat sekali. Bahkan tak jarang tidak pulang sama sekali.

Dulu aku kira lembur karena banyak pekerjaan di kantor tanpa aku cari tahu kebenarannya. Tapi kini aku sudah tahu penyebabnya dari mulut dia sendiri.

Aku bergegas menuju jendela saat mendengar suara khas mobil Mas Kevin yang sudah sangat aku kenal dan kusibak tirainya. Benarlah itu memang mobil Mas Kevin. Tergesa aku turun ke lantai satu untuk membukakan pintu walau pun Mas Kevin sebenarnya memegang kunci rumah sendiri.

“Kamu belum tidur?” Reaksi Mas Kevin begitu melihat aku membukakan pintu. “Aku kan sudah bilang jauhkan kunci dari pintu sehingga aku bisa masuk tanpa harus membangunkan kamu. Apa kamu lupa kalau aku punya kunci rumah sendiri?”

“Aku tidak lupa, mas. Tapi memang belum bisa tidur.”

“Kenapa harus belum bisa tidur?” tanya Mas Kevin sembari menaiki tangga menuju lantai dua dimana kamar kami, maksud aku kamar aku dan dia berada.

“Tidak tau,” jawabku sembarang. Tak mungkin kan aku bilang kalau aku tidak bisa tidur karena hatiku hancur? Perasaanku sangat tidak berharga untuknya.

Aku hendak masuk ke dalam kamar ketika Mas Kevin berkata. “Apa kamu sudah memutuskan kapan akan menemui kakek dan bilang kalau kamu ingin aku menikah lagi untuk memiliki anak?”

Aku terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab. “Sepertinya cara itu tidak ampuh lagi, mas. Bukankah mereka menghendaki kita tes kesuburan untuk mengetahui siapa yang tidak subur? Jadi mas harus memastikan aku memang mandul sebelum meminta aku bicara pada kakek seperti mau mas.”

Tak ada tanggapan. Kulirik Mas Kevin. Rahangnya tampak mengencang. Pasti dia sedang sangat bingung sekarang atau sedang marah pada seseorang. Bisa jadi aku adalah orang yang membuatnya kesal.

“Ini gara-gara Wilson. Seandainya dia tidak bicara tentang tes kesuburan, pasti kakek tidak akan ikut-ikutan minta kita melakukan tes semacam itu. Dia pulang ke sini hanya untuk menggagalkan rencana kita.”

Aku terdiam. Pendapatku sama. Wilson pulang adalah untuk menggagalkan rencana Mas Kevin tapi bukan rencanaku karena aku tidak pernah mau dimadu. Mungkin aku harus bersyukur pada Tuhan karena telah menghadirkan Wilson. Adanya dia, Mas Kevin jadi kesulitan dalam merealisasikan maunya.

“Kamu coba saja dengan cara yang lain. Kamu pikirkan baiknya.”

Ini lelucon. Mas Kevin malah menyuruhkan memikirkan maunya yang jelas menyakitiku. “Maaf mas, aku tidak mau memikirkannya. Aku sudah cukup sakit hati dengan perbuatan mas dan Mbak Julia, masak aku masih harus memikirkan maunya kalian. Kalian saja yang memikirkannya, tidak aku.”

Aku segera masuk ke dalam kamar. Lalu kututup pintunya tanpa mau melihat wajah Mas Kevin. Aku kembali menangis tanpa suara saat membayangkan Mas Kevin sedang bercinta dengan Mbak Julia. Oh, sungguh menyakitkan sekaligus menjijikan.

‘Kakek, aku tidak yakin sanggup mempertahankan rumah tangga ini. Bukan hanya karena Mas Kevin tidak mencintaiku tapi juga karena aku sudah merasa jijik akan tubuhnya. Apa aku lepaskan saja Mas Kevin untuk Mbak Julia?’ gumamku dalam hati.

***

Aku sedang beres-beres rumah ketika tiba-tiba muncul sebuah mobil yang sangat aku kenal. Segera aku mencuci tangan dan menyambutnya. Rupanya dia datang bersama Wilson.

“Kakek kok datang tidak bilang-bilang sih?” tanyaku setelah menyalaminya.

Kakeknya Mas Kevin ini menepuk pundakku. “Hanya mampir sebentar sekalian mau berangkat ke kantor. Sudah lama juga kakek tidak berkunjung ke sini. Kevin sudah berangkat ke kantor?”

“Sudah, kek. Belum lama. Sekitar setengah jam yang lalu. Ayo kek, masuk.”

“Ah, iya.”

Aku, kakek, dan Wilson masuk ke dalam rumah kami yang mungil bergaya modern. Ketika kakek duduk di sofa ruang tamu, Wilson justru memilih berkeliling rumah. Kubiarkan saja karena mungkin pria itu sedang mencari inspirasi untuk rumah masa depan bersama istrinya kelak.

“Kakek mau minum apa? Akan aku buatkan,” tawarku.

“Kakek menggeleng. “Tidak perlu. Kakek sudah minum di rumah. Kebanyakan minum bikin perut kembung saja. Kakek datang ke sini hanya untuk memastikan kamu baik-baik saja.”

Aku tahu sekarang. Alasan kakek datang pasti karena aduan Wilson yang melihatku menangis kemarin. Aku jadi bingung, Wilson itu orangnya pengadu atau karena perhatian kepadaku?

“Seperti yang kakek lihat, aku baik-baik saja kok kek,” jawabku dengan memaksakan senyum menggaris di bibirku. Andai kakek tahu bahwa aku adalah menantu tak tersentuh, kira-kira reaksinya seperti apa ya?

“Kapan kamu akan tes kesuburan? Kakek juga ingin tau hasilnya apa.”

Tuh, benar kan? Aku rasa kakek datang memang karena Wilson menceritakan perihal kemarin.

“Belum ada rencana, kek.”

“Harusnya sudah sih. Tapi ya… oke. Kakek juga tidak bisa memaksa. Tapi pesan kakek kalau ada masalah jangan memendamnya sendiri. Jika dirasa berat, berbagilah beban dengan kakek. InsyaAllah kakek akan bantu semampu kakek.”

Hati ini terasa dingin begitu mendengar ucapan kakek barusan. Salah satu hal yang aku syukuri selama menjadi istri adalah memiliki mertua sebaik Kakek. Yang aku tau, mertua yang bersikap baik sama menantu itu langka.

Aku menoleh ke arah tangga. Wilson kembali setelah… entah darimana karena di lantai atas tidak terdapat banyak ruangan. Hanya kamar tidur aku dan Mas Kevin.

“Wi, kalian tidak tidur satu kamar ya?”

Pertanyaan yang membuat aku dan kakek terhenyak.

'Bagaimana Wilson bisa tahu ini? Apa yang dilihatnya di atas tadi?'

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status