Share

Bab 6 Tampan itu Keharusan Tapi Cinta yang Utama

"Nona Thara masih di sana?" tanya Malvin berhasil menyadarkan Moza yang tengah kemelut dengan pikirannya.

"Ah, iya. Saya tahu! Kenapa saya tidak mau menikah dengan Tuan!" sahut Moza kembali tersadar. Ia harus mendeklarasikan penolakannya. Jika tidak bisa-bisa ia habis oleh Thara nanti.

"Kenapa, Nona?" Malvin mengkonfirmasi alasan dirinya ditolak.

"Karena Tuan bukan tipe saya!" tandas Moza memberitahu.

"Tipe seperti apa yang Nona Thara sukai?" Malvin balik bertanya, dengan tenang menanggapi.

"Yang jelas yang tidak mengajak menikah lewat telepon," sahut Moza asal.

"Baik, jadi kapan kita bisa bertemu?"

"Apa! Tidak! Saya tidak mau bertemu Tuan lagi. Kencan buta kemarin adalah pertemuan terakhir kita," tandas Moza mencak-mencak.

Tut!

Moza mematikan panggilan, merasa frustasi.

"Aduh! Kenapa setelah kencan buta hidupku jadi banyak kejutan gini. Kuharap kejutan ini sudah berakhir. Kasihan jantungku." Moza menarik napas kemudian mengembuskannya perlahan seraya mengusap dada. Tanpa sadar ia telah turun ke lantai satu.

Moza memutuskan untuk kembali ke lantai delapan, tempatnya bekerja. Saat pintu lift akan bertutup, seseorang masuk disusul satu orang di belakangnya. Moza sontak terbelalak.

'Pak CEO!' batin Moza berseru.

Di perusahaan yang seluas ini kenapa justru ia harus selift dengan pria tampan itu. Moza langsung menunduk, menutupi wajah dengan rambut yang langsung tergerai ke depan wajah. Dari sela rambut Moza dapat melihat jika Pak CEO berdua bersama seorang pria yang lebih dikenal sebagai sekretarisnya itu.

'Ya Tuhan tolonglah hambamu. Buat dua pria yang selift denganku ini, khususnya yang paling ganteng yang berdiri di hadapanku tak menyadari siapa aku sekarang. Hamba tidak mau dipecat ya Tuhan!' rapal Moza bersandar di pojokan. Mencoba bersikap layaknya patung.

Namun, sebuah panggilan justru langsung terlayangkan.

"Permisi, Nona," ucap Savian mengalihkan atensi ke arah Moza.

'Mati aku! Apakah aku ketahuan?'

Moza hanya merespon dengan anggukan.

"Nona akan ikut kami ke lantai lima belas?" tanya Savian membuat Moza cengo. Maksudnya apa? Apakah ia akan diadili di sana.

"Ah, maksud saya, ini sudah sampai di lantai delapan." Savian memberitahu, menunjuk papan lift.

Membuat Moza akhirnya tersadar. Setelah mengangguk memberi hormat, wanita itu bergegas pergi dengan rambut yang masih menutupi wajahnya. Untung-untung dia tak terjatuh.

"Aneh sekali model rambut zaman sekarang," ketus Malvin tak sengaja memperhatikan karyawan wanita yang terburu-buru keluar lift. Entah kenapa ia masih kesal dengan penolakan yang ia terima beberapa menit lalu.

Savian tersenyum. "Perkembangan mode memang selalu di luar nalar. Mungkin itu gaya rambut terbaru," balas Savian positif menanggapi.

***

Tepat pukul 17.00 WIB Moza merapikan meja kerja. Waktunya untuk pulang telah tiba, setelah selesai wanita itu melangkah seraya melambai ke teman kerjanya yang lain izin pulang duluan. Akhirnya setelah seharian bekerja ia bisa pulang, walaupun hari ini cukup berat baginya.

Moza berharap hidupnya akan tenang sekarang. Ia hanya ingin cepat pulang kemudian beristirahat. Namun, saat baru tiba di lobi perusahaan sebuah panggilan masuk membuat teleponnya berdering.

"Halo," sapa Moza menerima panggilan.

"Apa kau gila!" maki Thara di seberang sana berhasil membuat telinga Moza berdenging.

"Kau yang gila!" balas Moza kesal bisa-bisa ia kehilangan pendengaran karena rutukan sahabatnya itu. Sejenak Moza menjadi pusat perhatian karyawan lain yang sama-sama hendak pulang. Namun, dengan cepat pula orang-orang tak mempedulikan hal tersebut dan lebih memilih melanjutkan langkah.

"Ada apa?" ketus Moza kemudian, telah melangkah keluar lobi dengan gawai menempel di telinga.

"Kata lu kencan buta kemarin berjalan lancar terus kenapa pihak pria meminta menetapkan tanggal pernikahan? Gue gak mau nikah sama pria yang gak gue cintai!" jelas Thara mencak-mencak penuh emosi.

"Apa!" Moza terkejut mendengarnya.

"Lu, harus jelasin ke gue apa yang terjadi dengan kencan buta kemarin. Temui gue di kedai seblak pinggir jalan!" tuntut Thara kemudian menutup panggilan.

"Ah, sial! Gue pingin istirahat. Kenapa jadi runyam gini sih." Moza mendesah tak bersemangat. Ia benar-benar lelah hari ini.

Sekitar tiga puluh menit naik bus Moza akhirnya sampai di kedai seblak langganan Moza dan Thara sejak masa SMA. Terlihat dari kejauhan Thara tengah menyeruput mie di atas mangkok.

"Bu Yul, seblak buatan Ibu memang paling the best sejak dulu," puji Thara kepada pemilik kedai seblak langganan yang langsung ditanggapi dengan senyum cerah Bu Yuli yang tengah sibuk memasak seblak pesanan pelanggan lain.

"Udah lama nunggu?" tanya Moza seraya menarik kursi plastik di depan Thara.

"Lumayan, cepetan cerita! Gue udah pesenin seblak buat lo," desak Thara, sekesal-kesalnya ia masih memikirkan Moza.

Moza tampak mendesah, ia bingung harus cerita dari mana.

"Jadi gue kan gantiin lo di kencan buta kemarin. Nah, gue jadi cewek nakal sesuai saran lo. Gue udah coba segala cara biar terlihat meyakinkan," jelas Moza membuat Thara menyipitkan mata.

"Cara apa yang lo pake?" sela Thara mengajukan pertanyaan.

"Gue ngaku sebagai maniak seks," jawab Moza ragu-ragu.

"Apa! Ngaku jadi maniak seks?" seru Moza membuat pelanggan yang lain langsung menoleh. Namun, wanita itu tak mempedulikannya.

"Iya, gue ngaku biasa satu lawan satu, satu lawan dua, satu lawan tiga. Main dengan pecut, rantai. Gue ngaku suka banget gituan," terang Moza seraya menunduk malu.

"Apa! Lo gila! Gue satu kali pun belum pernah ngerasain. Mana bisa gue jadi maniak seks!" sungut Thara tak terima. Reputasinya telah dirusak dalam sekejap oleh Moza yang mengaku sebagai dirinya di kencan buta kemarin.

"Kata lo gue harus jadi wanita nakal," balas Moza membela diri. Walaupun sebenarnya ia merasa tak enak hati kepada Thara karena kegilaannya di kencan buta kemarin.

"Terus kenapa pihak sana justru malah nerima?" sentak Thara tak habis pikir.

'Ya itu karena pria yang dijodohin sama lo itu pasien sakit jiwa mana mesum lagi,' batin Moza ingin mengucapkan kalimat itu, tetapi ia sudah tidak ingin berurusan lagi dengan perjodohan yang telah membuat hidupnya tidak tenang.

"Mungkin karena memang dari pihak sana ingin menjalin hubungan kerja sama yang lebih jauh dengan perusahaan ayahmu," jawab Moza terdengar masuk akal.

"Tapi gue gak mau nikah sama pria yang gak gue cinta. Hiks!" rengek Thara begitu sedih.

"Calon suamimu cukup tampan kok. Jadi gak perlu sedih gitu," celetuk Moza memberitahu seraya meraih gelas es teh milik Thara karena pesanannya tak kunjung dibuatkan oleh Ibu Yuli yang terlihat sibuk memasak pesanan.

"Tampan memang harus tapi cinta yang utama. Apalagi dia tak mempermasalahkan jika calon istrinya adalah seorang maniak seks. Fiks, pasti dia yang bermasalah," cerocos Thara tepat sasaran. Membuat Moza menelan air liurnya. Feeling sahabatnya memang tak pernah salah.

"Em, intinya gue udah ngelakuin tugas gue buat dateng ke kencan buta. Jadi mana bayaran gue," tagih Moza teringat jika tiga hari lagi adalah tegat waktu ia membayar pinjaman kantor.

"Gue tambahin bonus kalo lo mau temuin pria itu lagi," tawar Thara mengeluarkan amplop berisi uang.

"Gak! Gue gak mau ngorbanin pekerjaan gue," tolak Moza meraih amplop yang akan diberikan Thara dengan ragu-ragu.

Thara menahan amplop tersebut. "Ngorbanin pekerjaan? Maksud lo?" Thara menyipitkan mata seraya memanyunkan bibir.

"Pria yang dijodohkan sama lo itu CEO di perusahaan gue," ungkap Moza sama sinisnya.

"Apa!" Thara yang terkejut refleks melepaskan amplop yang ia pegang.

Moza mengecek isi amplop. "Iya, ini gara-gara lo gak ngasi tahu gue siapa pria yang dateng ke kencan buta. Untung gue jago akting, jadi gue bisa selamat walaupun di kantor tiap hari berasa spot jantung," kesal Moza memberitahu.

Thara menjadi berkaca-kaca. "Karena lo jago akting jadi tolong temuin CEO lo ya. Bilangin gue gak mau menikah sama dia. Nanti gue kasih bonus gede," harap Thara dengan ekspresi memohon.

"Lo gila ya!" amuk Moza menggebrak meja. Membuat pelanggan di sekitar terkejut. Bu Yuli yang sudah selesai membuat seblak mengalihkan atensi pengunjung untuk bisa memaklumi. Moza yang menyadari dirinya telah menjadi pusat perhatian meminta maaf kepada Bu Yuli serta pelanggan lain.

"Za, lo gak kasihan apa ke gue? Hidup temen lo dipertaruhkan. Ini juga, kan karena lo. Jadi lo harus ikut tanggung jawab. Nanti beneran gue kasih bonus gede," bujuk Thara terdengar seperti tipu muslihat.

Moza hanya mendecih, ia tak langsung menjawab karena merasa tak enak hati kepada Bu Yuli yang mengampiri meja mereka mengantarkan seblak pesanan Moza. Haruskah ia pergi menemui Malvin lagi?

***

Tepat pukul 19.00 WIB Moza mengajak Malvin untuk bertemu di sebuah restoran di kawasan jakarta pusat. Restoran yang mengusung konsep elegan, mewah. Namun, tetap cozy ini begitu digemari oleh kalangan anak muda berkelas. Tak salah Moza memilih restauran ini untuk pertemuan dengan seorang pimpinan Batara Group karena di restauran ini terdapat tempat privat untuk pengunjungnya.

"Hah, susah memang menolak uang. Tapi aku juga merasa bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Bagaimana pun aku harus menjelaskan kepada Pak CEO bahwa pernikahan ini tidak boleh terjadi. Yeah, aku harus menolak ajakan nikah Pak CEO nanti saat ia datang." Tekad Moza terlihat begitu seksi dengan gaun merah yang ia kenakan.

Saat Moza mengalihkan atensi ke jam di pergelangan tangan sebuah suara berat memanggil. Moza mendongak, dilihatnya pria tampan dengan tubuh atletis itu menyapa. Kancing kemejanya tampak terbuka, rambutnya yang biasa rapi kini terlihat berantakan dengan keringat yang mengalir di sisi wajah tampan kemudian jatuh ke leher seksinya. Moza menelan air liur dengan susah payah.

'Kenapa Pak CEO terlihat berantakan seperti ini dan sialnya kenapa justru hatiku ikut tak karuan. Aduh, gak dilihat sayang. Dilihat terus takutnya jadi mabuk kepayang. Bagaimana ini?!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status