Alkisah pada zaman dahalu hiduplah dua orang sahabat. Demi menikah dengan seorang pangeran pujaan hati, seorang gadis yang takut memiliki saingan pun membohongi sahabatnya dengan membawanya ke sebuah hutan.
"Sahabatku aku melihat ada seorang pria tampan di dalam gua. Sungguh sangat tampan. Maukah kau melihatnya? Aku sudah melihatnya pagi ini," ucap sang gadis berbohong dengan cara membangun rasa penasaran dalam diri sahabatnya itu.Sang sahabat yang percaya dengan pernyataan tersebut tanpa ragu memutuskan untuk masuk ke dalam gua ditemani sebuah obor yang menyala memasuki gua yang dalamnya begitu gelap tanpa celah di dinding batu.Sang sahabat itu merasa begitu penasaran, memutar atensinya ke segara arah mencari pria tampan yang diberitahukan sabahatnya itu. Ia mulai merasakan sedikit keanehan. Hingga tiba-tiba telinganya dengan jelas mendengar suara seperti ranting patah entah dari mana asalnya.Gadis yang berada di gua itu merasakan sesuatuLamat-lamat Malvin memperhatikan paras cantik wanita di hadapannya. Ekspresi yang tampak menggemaskan dengan kedua mata membola serta mulut yang sedikit terbuka, mencoba menerka. Pria itu tersenyum kecil, otaknya tengah memikirkan sebuah rencana kecil yang terlintas di pikitannya, dan entah mengapa sepertinya akan menyenangkan jika rencana tersebut dijalankan bersama wanita lucu di hadapannya."Tuan, pekerjaan apa yang Anda tawarkan?" tanya Moza akhirnya. "Saya ingin menawarkan sebuah kerja sama dengan Nona. Karena perjodohan terakhir dengan Nona Thara gagal. Kakek saya pasti akan mengatur kembali perjodohan. Saya tidak ingin lagi menghadiri kencan buta yang membuat waktu saya terbuang sia-sia. Untuk itu saya ingin Nona berakting meyakinkan Kakek dan Nenek saya sebagai KEKASIH. Jadi saya tak perlu lagi pergi ke kencan buta karena sudah memilih CALON ISTRI saya sendiri," terang Malvin kemudian meraih secangkir kopi miliknya. Pelan tapi pasti bibir sensual pria itu beralih menyeruput
"Saya ingin menepati janji saya kepada Nona Lisa. Jika saya akan sering menghubungi Nona," ucap Malvin terdengar begitu polos. Namun, tidak dengan tindakannya. "Ini masih jam dua dini hari loh, Tuan!" tandas Moza kesal karena kenikmatan tidurnya diganggu. "Kita, kan akan menikah. Anggap saja ini morning call menyapa calon istri," jawab Malvin setelah mendengar celotehan wanita lewat earbuds yang ia kenakan di kedua telinga. 'Morning Call seperti hubungan sungguhan saja!' Desah Moza seraya memanyunkan bibir saat mendengar penuturan Malvin. "Jika bicara tolong yang benar. Bukan akan menikah tapi akan pura-pura menikah. Dan untuk Morning Call jelas Tuan sudah salah waktu," omel Moza tidak terima dirinya diperlakukan seenaknya. "Jadi apakah saya mengganggu tidur Nona?" tanya Malvin mengalihkan pembicaraan.'Heh! Segala ditanya!' Moza tambah kesal dibuatnya. "Iya, saya sedang tidur tadi," ketus Moza menjawab jujur.
'Angkat nggak? Angkat jangan?!' Ting!Pintu lift akhirnya terbuka di lantai satu. Malvin dan Savian mengalihkan atensinya dari Moza dan akhirnya melangkah keluar bersama. Moza menyusul setelahnya, tetapi ia langsung bergegas menjauh. Mencoba bersembunyi di balik pot besar di samping lift. Panggilan dari Malvin masih tersambung. Setelah dirasa aman, Moza akhirnya mengangkat panggilan telepon tersebut. "Halo," ucap Moza mengawali panggilan. "Halo, Nona saya kira Nona tidak bisa dihubungi karena telepon saya tidak kunjung diterima," balas Malvin yang kini sudah berada di dalam mobil. "Maaf, saya sibuk tadi. Ada apa ya Tuan menelepon?" tanya Moza to the point langsung ke inti. "Saya ingin mengajak Nona latihan mulai malam ini. Jadi jangan sampai terlambat," jawab Malvin memberitahu. "Apa malam ini?" Moza lumayan terkejut. Karena tumpukan pekerjaan masih banyak yang belum dikerjakan. Padahal malam ini ia berni
Dua orang pria paruh baya tampak berjalan mendekati Ibu Marni dan Ibu Neni. "Udah, Mah jangan ganggu mereka," cetus seorang pria yang merupakan suami Ibu Neni. "Eh, Papah," ucap Ibu Neni refleks menoleh ke suaminya. "Ini Mamah juga, kan Papah udah larang tadi," sahut suami Ibu Marni protes. "Ih, apaan sih, Pah. Orang kita cuma ngajak mereka bareng rombongan kita masuk ke Le Bridge kok," jelas Ibu Marni memberitahu sang suami yang sudah tahu bagaimana sikap istrinya itu. "Mereka mana mau bareng rombongan kita, Mah. Mereka kan masih muda-muda begitu. Sedangkan kita udah aki-aki, nini-nini," timpal suami Ibu Marni meraih pundak sang istri memberi masukan.Moza yang merasa tak enak hati akhirnya mengambil sikap. "Kami mau kok Pak, Bu. Tidak apa, justru semakin ramai akan semakin asyik," aku Moza yang jelas tak semuanya benar, sebenarnya ia masih sedikit kesal. Namun, ia tak ingin bersikap berlebihan lagi. Lalu kenapa pula ia mendadak kesal ya? Ah, Moza harus ingat jika hubungan ini h
Doeng!Moza mematung di tempat, makanannya ternyata sudah tidak ada di meja. Wanita itu kemudian mengembuskan napas pelan, sepertinya pelayan di restoran mengira jika ia sudah selesai makan. Padahal makanannya belum ia habiskan seluruhnya. Ah, sayang sekali. Moza duduk di bangku resto sendirian, memperhatikan Malvin yang sepertinya tengah berbincang serius. Entahlah membicarakan apa yang pasti Moza merasa kesal karena dirinya tidak dianggap di sana. Apa ia memang kurang meyakinkan dan tidak pantas bersanding dengan seorang pria tampan seperti Malvin?Setelah kepergian Moza, Ibu Marni dan Ibu Neni semakin gencar memperkenalkan anak perempuannya. Hingga akhirnya Malvin mengambil sikap dengan tegas. "Awalnya saya tidak mengira ini akan serius. Tapi semakin ke sini justru makin menjadi. Hingga membuat wanita saya merasa kesal. Perlu saya tekankan saat ini. Jika saya telah memiliki calon istri. Wanita yang duduk di sana adalah calon istri saya. Jadi saya akan menolak wanita selain dia. P
Karena jarak rumah dengan perusahaan dirasa cukup terlalu jauh. Satu minggu lalu Savian memutuskan untuk menyewa salah satu unit apartemen yang bisa memangkas waktu perjalanan ke Batara Group. Hari ini adalah hari pindahannya. Berkat menyewa jasa pindahan, pria itu jadi tidak kerepotan memikirkan barang pindahannya dan bisa pulang kerja tepat waktu.Savian dengan tas kerja di tangan memasuki area apartemen barunya. Ditekannya tombol lift di angka dua puluh. Ia akan langsung beristirahat hari ini, untuk merapikan apartemen mungkin bisa ia lakukan akhir pekan nanti. Setidaknya apartemen sudah terisi oleh perabotan seperti ranjang kamar, sofa dan beberapa peralatan masak. Lift yang bergerak naik akhirnya tiba di lantai dua puluh. Savian menjejakan kakinya berjalan dengan tegap mencari letak unit apartemennya yang belum ia hafal betul karena desain pintu depan setiap unit apartemen sama, yang membedakan hanya nomor unitnya. Unit apartemen Savian adalah nomor 202, pria itu tampak sesekal
Thara mematung sejenak menatap tumpukan kardus di dalam ruang depan sebuah apartemen yang sudah ditinggali mulai hari ini. Ia duduk diam di sebuah sofa sembari sesekali menatap sekitar dengan boneka beruang besar miliknya yang sengaja ia dekap sejak tadi. Kondisi apartemen masih tampak polos, hanya furniture penting saja yang baru mengisi ruang apartemen. Thara menebak jika tumpukan kardus itu pasti barang-barang milik Savian yang belum sempat dibuka. Sembari menunggu pria itu yang masih mandi, Thara menghidupkan layar televisi guna mencairkan rasa gugup yang ia tengah rasakan. Bagaimana pun setelah dipikirkan kembali, Thara sungguh bersikap di luar nalar hari ini. Bisa-bisanya ia meminta untuk tidur bersama di apartemen milik Savian hanya karena apartemennya menjadi sarang banyak kecoak. Ia malu dengan tindakannya, tetapi ia juga merasa bersyukur akan hal tersebut. Thara sungguh tak menyangka jika malam ini ia akan tidur di apartemen seorang pria. Pria
"Apa yang terjadi sebenarnya? Apa lo udah ninuninu sama sekretarisnya bos gue?" desak Moza meminta penjelasan. "Em, tentang itu ...." Thara kembali menjeda kalimatnya. Ia memutuskan untuk pindah ke kamar mandi. "Gue berharapnya sih iya. Tapi ternyata Savian orangnya manly banget, Za. Dia jagain gue banget pas di apartemen. Gue inget banget karena nunguin dia nelepon gue ketiduran di sofa. Pas bangun gue udah ada di ranjang kamar. Awalnya gue kecewa karena gak bisa tidur bareng dia. Tapi pas pagi tadi gue keluar lihat dia tidur di sofa sambil meringkuk dan itu berhasil bikin hati gue terenyuh." Moza dengan seksama mendengarkan penuturan Thara lewat sambungan telepon. "Jarang banget ada cowok yang gak kebawa nafsunya sendiri, Za. Dia rela tidur di sofa demi jaga gue agar bisa tidur di ranjang kamarnya dengan nyaman. Padahal malam itu gue udah pasrah kalo dia menginginkan gue sama kaya gue mengginginkan dia. Tapi dia pria yang berbeda, Za. Dia pria terhorm