Langkah kaki tak bersuara itu memasuki kamar. Dilihatnya sang putri sedang asyik mengetik sesuatu di microsoft word dengan begitu serius, seakan-akan yang putrinya ketik adalah pemikiran yang menguras seluruh idenya hingga menghasilkan peluh, meskipun kamar tersebut diliputi pendingin ruangan yang berasal dari air conditioner.
Si ibu tersenyum. Merasa bangga dan sedikit haru dengan sang putri yang tidak terus terpuruk usai bercerai dengan sang mantan suami setengah tahun silam. Melisa merasa senang, karena putrinya memiliki kesibukan baru sekarang. "Kalista," sapa Melisa lembut seraya meletakkan segelas susu hangat dan sepiring pisang goreng bertabur parutan keju dan coklat di samping laptop. Kalista reflek mengganti lembar kerjanya di laptop yang menampilkan laporan hasil belajar siswa dan tersenyum sangat lebar akibat rasa gugup yang tiba-tiba menyergap. "Ibu!" Melisa mengernyit dan balas tersenyum, memandang putrinya sedikit curiga. "Sibuk, Sayang?" "Hmm, ya. Seperti biasa. Aku mengetik." Kalista terkekeh canggung, berharap Melisa tidak melihat apa yang ia ketik. Melisa menarik kursi bulat dan mendekat ke Kalista. "Nak, ibu boleh bertanya?" "Boleh, Bu. Langsung tanya saja." "Perasaanmu sekarang bagaimana?" Kalista tahu maksud dari pertanyaan itu. Tentu perasaannya sekarang sedang tidak baik-baik saja. Menata hati pasca perceraiannya dengan Nevan bukanlah hal yang mudah. Namun, Kalista tidak ingin dipandang sebagai perempuan nelangsa. "Perasaanku baik. Aku harus baik-baik saja. Dan aku memang sangat-sangat baik, Bu. Ibu jangan khawatir." Melisa percaya sepenuhnya pada Kalista. Lantas wanita paruh baya itu berdiri dan meninggalkan Kalista kembali sendirian. Kalista lekas bangkit dan mengunci pintu kamar. Bahaya sekali kalau dirinya sudah sangat berkonsentrasi menulis novel online. Sampai ada orang disamping saja tidak sadar. Ibunya dan orang-orang disekitarnya hanya tahu jika Kalista adalah seorang guru Sekolah Dasar. Tidak ada yang tahu jika Kalista adalah seorang penulis novel online bertema dewasa dengan rate dua puluh satu plus-plus. Kalista yang memiliki nama pena purplelloide di dunia tulis-menulis, memiliki basis penggemar yang tak main-main. Genre romansa dewasa yang Kalista usung, rupanya menyeret pembaca berbondong-bondong untuk menikmati semua karyanya. "Oke. Bab seratus tujuh selesai. Kita posting sekarang. Wait, wait! Apa kira-kira sub judulnya?" Kalista berpikir sejenak sebelum senyum miringnya terkembang begitu saja. "Gairah Harsa," ejanya sambil mengetikkan satu per satu huruf. Kalista mengklik tombol publikasi dan senyumnya tiba-tiba berganti decihan kesal, ketika ada salah satu komentar yang terkesan meremehkannya. ("Jadi ini author adult romance yang katanya doyan menganiaya tokoh utamanya sendiri? Baru saja membaca bab satunya, sudah tidak tertarik. Cerita rumah tangga pasaran. Paling-paling penulisnya belum menikah, tapi sok-sokan menulis cerita bertema rumah tangga.") "A-pa?!" Kalista mengelus dada dan menarik napas. Bisa-bisanya ada orang sok tahu yang mengatakan dirinya tak pernah berumah tangga? Kalista pun kembali membaca komentar salah satu pembaca tersebut yang sudah dipenuhi ratusan komentar. Kalista jadi penasaran dan membaca usernamenya. "Vallent?! M-maksudnya Vallent, si author juara best seller?!" Kalista mengecek username itu berulang kali untuk memastikan ditambah komentar-komentar bejibun yang menimpali komentar Vallent tadi yang menyebutkan kalau dirinya dinotice oleh author kelas atas. Kalista mengacak rambutnya yang masih basah, karena tadi ia mandi keramas. "Astaga! Vallent yang itu? Vallent penulis buku Perempuan di Tepi Jalan, Seni Bercinta, Slut, dan banyak lagi?!" Kalista langsung menutup wajahnya. Perasaan malu bercampur insecure menyergap begitu saja. Soalnya Vallent adalah rajanya penulis online. Bila Kalista banyak memiliki pembaca, maka Vallent jauh lebih banyak lagi. Bahkan semua pembaca karya Kalista adalah pembacanya karya Vallent juga. Namun setelah Kalista pikir-pikir, harusnya Vallent tidak memberi kritik di kolom komentarnya. Padahal ada fitur pesan yang bisa Vallent gunakan untuk mengajaknya diskusi sesama penulis. Sebenarnya Kalista menerima secara terbuka untuk kritik, saran, bahkan komentar kebencian dari pembaca. Masalahnya, dikritik oleh author lain apalagi sekelas Vallent malah membuat Kalista merasa terancam. Kalista khawatir bila pembaca yang sudah ia kumpulkan susah payah malah berbalik menghina karyanya. Maka Kalista pun tak akan membiarkan Vallent bebas berkicau di lapak bukunya. Ia memutuskan untuk mengirimkan pesan pribadi untuk Vallent lewat fitur yang memang sudah disediakan oleh aplikasi menulis novel online tersebut. ("Maaf sebelumnya. Saya author purplelloide ingin berterima kasih dan sangat terkesan, karena Bang Vallent bersedia mampir untuk membaca karya saya. Terima kasih juga sudah memberikan kritik. Namun saya merasa keberatan bila dikritik sesama author lewat kolom komentar. Mohon lewat fitur pesan ini saja. Terima kasih.") Kalista menghela napas. Lantas membuka lemari untuk berpakaian. Setelah mengambil baju tidur berwarna kuning gading, Kalista pun kembali ke depan laptopnya memastikan apakah ada balasan dari Vallent. Kalista tersenyum sinis. Rupanya Vallent merespon pesan dari Kalista. ("Maaf, kalau aku bertindak kurang sopan di kolom komentar karyamu. Aku membaca bukumu, karena sempat masuk rekomendasi author beberapa kali. Aku sedang gabut dan iseng membacanya. Dan itulah yang ku rasakan sehabis membaca karyamu.") Kalista mengetikkan protes yang sedikit nge-gas untuk Vallent. ("Apa maksudmu kalau penulisnya tahu sok-sokan? Dan tentang aku sudah menikah atau bukan, tidak seharusnya dibahas? Itu privasi. Lagipula pemikiranmu itu tak berdasar. Hanya menggiring opini pembaca lain sebagai hasutan.") Namun Vallent yang seorang penulis kondang di platform, jelas terpancar kesombongannya. ("Sorry, kau terkesan amatir untuk menulis novel rumah tangga.") Kalista menghentakkan kedua kakinya. la total marah. Memangnya sebagus apa karyanya Vallent ini jadi sampai hati mengkritik karya orang lain? Kalista pun mengetikkan nama Vallent di kolom pencarian buku. Tidak sulit untuk membuat jejeran bukunya terpampang di layar laptop. Ada total belasan buku yang semuanya rata-rata ramai pembaca. Kalista mengklik salah satu judul buku karya Vallent dan mulai membaca babnya. Awalnya, Kalista membacanya biasa saja. Namun semakin ke belakang, Kalista seperti terhanyut. Jantungnya berdebar tidak karuan seiring keringat yang membasahi kulitnya. Suasana mendadak lebih gelisah dan sesuatu yang basah di matanya, membuat Kalista tidak nyaman. Dan ketika Kalista selesai membaca bab tersebut, Kalista pun mengakui bila narasinya Vallent jauh lebih bagus. Rincian awal adegan yang langsung puncak konflik yang ia jabarkan begitu merasuk ke dalam emosi. Kalista semakin merasa insecure. Namun, rasa gengsinya seakan enggan mengakui kalau karyanya itu tidak layak dikritik oleh Vallent. ("Bang, jangan sok tahu dengan mengatakan aku amatir atau tidak. Toh, pembacaku suka-suka saja saat membacanya. Apa pedulimu?") Kalista menekan keyboard sampai ketukannya terdengar lebih berisik dari ketika ia mengetik novel. ("Mbak, aku cuma memberitahu jujur. Bahkan aku pernah membaca karya author lain yang pembacanya tidak seramai karyamu, tapi penggambaran adegannya lebih bagus. Tidak cuma dialog marah-marah tidak penting saja untuk menambah jumlah kata. Mbak harus mengerti kalau esensi konflik novel itu tidak hanya sekadar marah-marah dan bikin tegang. Segala sesuatunya ada seninya. Jangan ditulis asal. Mending mbak menulis romance biasa saja. Narasi mbaknya lebih bagus untuk penjabaran perasaan. Ya, begini resikonya kalau belum pernah berumah tangga, tapi nekat menulis konflik rumah tangga. Lepas jadinya.") Kalista nyaris menonjok laptopnya. Namun ia tidak mungkin melakukannya, karena laptop tersebut adalah salah satu penunjang nafkahnya usai bercerai. Jadi ia hanya meninju bantal di kasurnya untuk pelampiasan amarah. Lagi, ia mengencangkan protes kepada Vallent. ("Kau sok tahu. Mending kau melanjutkan karyamu saja sana! Novelmu juga tidak bagus-bagus amat. Jadi jangan sok mengkritik karya author lain!") Kalista langsung menekan icon X setelah selesai mengirim pesannya ke Vallent. Kalista marah besar. Sepertinya Vallent akan menjadi ancaman untuk dirinya. "Nak!" Ibunya memanggil dari balik pintu kamar. Kalista terkesiap saat mendengar suara ketukan. "Nak, ada Jihan di depan!" "Iya, Bu. Tunggu!" Kalista jauh lebih bersemangat sekarang. Sahabatnya, Jihan yang baik hati datang mengunjunginya.Semua orang berkumpul di tempat itu. Berbagai hidangan lezat tersaji dan semuanya tinggal pilih. Para pelayan berkeliling menawarkan minuman kepada tamu undangan. Ruangan yang biasanya berisi perabotan rumah sekarang disulap menjadi tempat pesta mewah ulang tahun peringatan pernikahan yang ke dua puluh. Sang raja dan ratu pesta sedang bergandengan mesra menyapa para tamu. Keduanya tersenyum lebar, berbicara ramah kepada semua orang yang menyapa. Dari aura keduanya, terpancar bahagia yang membuat semua orang iri. Mereka dinilai pasangan paling bahagia sekarang. Meski banyak diterpa cobaan, akhirnya mereka berhasil melewati cobaan itu bersama. Ketika keduanya sama-sama ikhlas, akhirnya mereka menemukan kelegaan dan bisa bersama sampai detik ini. "Bian, Jihan! Selamat, ya!" Kalista langsung menghambur ke pelukan Jihan. Liam dan Bian pun sudah memiliki obrolannya sendiri. Sedangkan Jihan dan Kalista malah bernostalgia ke masa lalu. "Kal,
"Drew, kata tante Kalista, kau mendaftar les di ruang teacher, ya?" tanya Namira yang saat itu sedang menikmati salad buah di kantin sekolah. Drew menutup bukunya dan kini melipat tangannya sebelum mengangguk, menjawab pertanyaan gadis berambut panjang di hadapannya. "Kalau begitu, aku nanti mendaftar les di sana juga, ah! Pasti ayah mengizinkan kalau ada kaunya." Namira mendorong salad buahnya untuk lebih menghadap Drew. Drew menggeleng karena ia tidak begitu suka salad buah. Chicken teriyaki pesanannya belum tiba sama sekali. "Mengapa ayahmu sangat percaya aku? Kalau aku tiba-tiba berbuat jahat padamu, bagaimana?" Drew mengatakannya dengan begitu ketus. Namun, Namira tidak terlihat sakit hati karena Namira setiap hari meladeni sikap Drew yang demikian. "Maka Kak Vano akan menghantuimu dan membalaskan dendamku," jawab Namira sambil mengendikkan bahu. "Kau pikir Kak Vano mati penasaran? Gentanyangan? Jangan bercanda," tegur
"Tante Kalista, Drew tadi di sekolah merokok dengan Angkasa!" "Heh?! Dasar tukang adu!" Gadis yang masih mengenakan seragam SMA-nya tersebut menjulurkan lidahnya pada Drew yang baru saja melepaskan sepatunya sehabis pulang sekolah. Gadis tersebut langsung berlari pergi ke rumahnya sendiri. Kalista yang tadinya menyambut kedatangan putranya dengan berdiri beberapa meter darinya, seketika berkacak pinggang dan menatap tajam pada Drew. "Bunda, jangan percaya Namira!" Drew tidak akan sanggup lagi kalau harus dihukum oleh bundanya. Kakinya masih pegal sampai sekarang, setelah kemarin, Kalista memukul kakinya dengan sapu lidi. Ya. Bundanya memang tidak menerapkan parenting modern. Berbeda dengan Papa Liam dan Mama Jihannya yang selalu memilih jalan diskusi sebagai penyelesaian masalah. Bahkan ketika Drew meminta tolong pada sang ayah, beliau cenderung berpikir agar menurut saja dengan bundanya dengan alasan agar hidup aman sentosa.
"Val!""Sayang!""Vallent!"Kalista berdecak kesal karena suaminya dipanggil-panggil tidak ada sahutan. "Liam Benedicta! Kau dimana?!" Kalista menggerutu. Liam tidak ada kelihatan batang hidungnya sama sekali. Maka, Kalista pun dengan tertatih turun dari tempat tidur. Ketika tungkainya menginjak permukaan lantai dan ia mencoba berdiri, Kalista nyaris terseok. Untung saja ia memegangi header ranjang untuk menstabilkan kedua kakinya terlebih dahulu. Setelah ia tegak berdiri, barulah Kalista mencoba berjalan, meski harus meringis kesakitan akibat ibadah sucinya dengan Liam. "Sayang, kau mau kemana?" tanya Liam yang baru muncul dengan badan penuh keringat. Sepertinya Liam baru pulang dari lari pagi di sekitar pantai. Liam juga hanya mengenakan kaos tanpa lengan agak ketat dan celana pendek longgarnya. Liam langsung menghampiri Kalista dan memapahnya yang terlihat kesulitan berjalan. "Sakit sekali ya, Sayang?" tanya Liam yang malah membuat Kalista ingin mencubit hidung sang suami. "
Jihan sadar jika yang ia lakukan sekarang bukan mimpi.Napasnya dan Bian terengah. Jihan malu bukan main karena bisa-bisanya berpikir kalau ia hanya di dalam mimpi. Tanpa menunggu lagi, Jihan pun dengan cepat turun dari tempat tidur tanpa menoleh ke arah Bian yang langsung kaget dengan perubahan sikap Jihan. Namun, karena terlalu terburu-buru, kaki Jihan tersandung sesuatu dan membuatnya mengaduh kesakitan. "Jihan, mana yang sakit?!" tanya Bian yang sudah sigap duduk bersimpuh di depan kaki Jihan. Bian meraih kaki yang diusap-usap oleh Jihan, kemudian sekali lagi bertanya, bagian mana yang sakit sambil mendongak ke atas untuk melihat ke wajah Jihan. Jihan langsung berjalan mundur dengan gugup sambil berusaha menutupi rasa malunya.Bian yang sadar kalau Jihan sekarang kembali takut, akhirnya lebih dulu mengucap maaf. "Maaf." Bian pun berdiri dan berbalik menjauhi Jihan. Bian berusaha membuka pintu kamarnya
Bian duduk menghadapi pekerjaannya kembali. Namun, pekerjaannya hanya teronggok begitu saja. Bian sedang mengatasi gejolak yang tiba-tiba membara di dalam dirinya. Bian malu kalau harus ketahuan Jihan bahwa ia sedang ingin sekarang. Tidak hanya rasa malu yang mencoba ditutupi Bian. Namun, juga ia tidak ingin kalau Jihan sampai salah paham terhadap dirinya. Apalagi Bian merasa kalau Jihan masih tidak terlalu nyaman berada di dekatnya. "Drew sudah tidur lagi, Mas," ucap Jihan yang membuat Bian sedikit gelagapan. Bian tersenyum kikuk dan mengangguk singkat. Hening kembali menerpa keduanya. Hanya terdengar suara hujan yang berisik di luar sana. Jihan pun memilih untuk duduk di tepi tempat tidur Bian yang menghadap box bayi Drew. Jihan memilih memandangi Drew sambil tersenyum hangat. Meski Drew bukan anak kandungnya, Jihan tetap merasa sangat bahagia ketika merawatnya. Jihan tidak menuntut apa-apa sama sekali selama membantu Kalista mengu
"Drewnya ketiduran sejak tadi. Maaf baru memberitahumu sekarang karena aku tidak tega menghentikan ceritamu."Jihan yang tadinya hanya ingin menghela napas sejenak, langsung urung melanjutkan dongeng yang dikarangnya secara ototidak. Syukurlah, Drew sudah tidur pikirnya. Baiklah. Sekarang saatnya kembali ke rumah Bian. Jihan pun berbalik arah dan diikuti Bian. Sepanjang perjalanan ketika menuju rumah utama adalah siksaan yang menyesakkan untuk mereka berdua. Karena Jihan yang tidak menyahut, makanya Bian juga jadi ragu untuk kembali membuka obrolan. Hingga mereka tiba di rumah utama, Jihan menyerahkan stroller kepada Bian karena Jihan ingin pamit. "Memangnya kau mau kemana?" "Pulang," jawab Jihan singkat. "Mengapa jadi pulang? Nanti kalau Drew rewel lagi bagaimana?" Bian terdengar seperti merengek. Antara memang khawatir kalau Drew menangis seperti tadi dan juga ia ingin sekalian modus. Ehem. "Kau ayahnya, bukan? Jadi kau harus bisa mengurusnya sendiri."Bian ingin protes. Namu
Sesuai persetujuan, Drew dibawa Bian ke kediamannya selama Liam dan Kalista berbulan madu. Bian yang sudah merasa menjadi ayah, tentu sangat yakin apabila ia bisa mengasuh Drew dengan baik. Ketika Drew dibawa ke rumah yang pasca perceraian Bian dan Jihan, jarang disinggahi sang tuan, kontan saja, kehadiran tuan besar dan tuan kecil disambut sangat antusias oleh para pekerja di rumah Bian. Bian juga sudah menyiapkan berbagai macam perlengkapan yang menunjang dirinya untuk mengasuh bayi berusia tiga bulan tersebut. Bian tersenyum-senyum sendiri melihat kamarnya yang semenjak menjadi duda, suasananya sepi. Sekarang dipenuhi perabotan lucu, seperti box tidur untuk Drew, gelantungan bintang bulan berkelap kelip yang diletakkan di atas box bayi Drew. Bahkan Bian juga membeli banyak mainan meski itu belum cukup usia untuk dimainkan oleh Drew. "Oke, Kal. Oke. Aku sudah mengerti caranya, bahkan bila Jihan tidak membantu pun, aku bisa. Apa kau ingat kalau aku rut
Selain Kalista yang berbahagia hari itu, Jihan pun demikian. Apalagi ketika ia diberi izin untuk menggendong Drew, nama yang sudah diberikan oleh Bian hari itu. Melisa sempat protes meski hanya berbisik pada Kalista apabila nama sang cucu susah disebut. Melisa padahal ingin menamai sang cucu dengan nama lokal saja. Namun, Melisa baru ingat jika pada cucunya mengalir darah seorang Bian Qais Liandra, yang tentunya kita semua tahu bahwa ia bukanlah pria sembarangan. Apalagi bila Melisa melihat Nicholas dan Margareth, dirinya saja seketika minder mendadak. Melisa juga mengingat kalau Kalista pernah menceritakan tentang seseorang yang disebut-sebut sebagai Kakek Aiden, yang katanya sebagai sosok yang membuat Bian bisa seperti sekarang. Jadi terima saja lah. Seorang Melisa bisa apa? Yang penting cucunya sehat, anaknya sehat, dan berharap tidak ada masalah lagi yang menimpa keluarga mereka. "Wajahnya tidak mirip Bian sama sekali," celetuk Margareth y