Share

Rencana Pelarian (2)

Terdengar beberapa kali informasi kalau bis menuju ke Bali akan segera berangkat. Kami hanyut dalam pikiran masing-masing. Akankah berhenti atau melanjutkan rencana gila ini.

"Lan?"

"Kita pulang. Anggap hubungan kita selama ini hanya mimpi indah yang usai saat kita terbangun," ucapku menghiburnya.

"Aku akan selalu merindukanmu, Lan?" 

Jari jemariku diciumnya. Beberapa orang melihat kami dengan aneh, beberapa orang mengacuhkan. Aku teringat kata-kata laki-laki itu. Aku sudah sah menjadi istrinya secara agama dan negara, haram bagiku kalau bersentuhan dengan laki-laki lain selain suami. Aku menarik pelan jariku, kemudian menggenggamnya. Di depanku, laki-laki yang aku harapkan menjadi imam sekarang bukan siapa-siapaku. Wajahnya sayu, matanya merah dan mengucurkan air mata. Kami seperti sepasang sepatu yang dipaksakan berpisah. Kami limbung tapi tidak bisa apa-apa.

Aku meminta mas Feri menurunkanku di tempat pertemuan tadi. Aku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja dan sebentar lagi ayah akan menjemput di sini. Satu alasan agar dia cepat pergi. Aku tak sanggup melihatnya dalam kondisi rapuh, begitupun mas Feri yang tidak sanggup melihatku dalam kondisi hancur.

Aku memilih duduk di trotoar. Entah menunggu apa. Tidak juga memesan go*ek, hanya memandang kosong ke jalan yang penuh lalu lalang kendaraan.

"Ayo, naik!"

Sebuah motor menghampiri yang kemudian aku tahu ternyata laki-laki itu yang datang.

"Tidak bisakah kamu membiarkanku tenang sebentar saja?" Ucapku malas.

"Aku sudah membiarkanmu melepaskan segala rindu dengan pacarmu tadi. Sekarang waktunya kita pulang. Ayahmu menghubungi terus."

Aku membelalakkan mata. Jadi dia tahu tentang rencanaku dan mas Feri tadi.

"Kamu tahu?"

"Naiklah! Sudah malam. Kita pulang. Besok jadwalmu padat dengan acara. Akupun harus bekerja."

Aku baru sadar kalau jaket mas Feri masih aku pakai. Aku melepasnya cepat. Tapi dengan sigap laki-laki itu mencegahnya. Dia menyuruhku tetap memakainya karena udara sangat dingin. Kemudian mengatakan kalau tidak perlu khawatir dicurigai karena akan diakui sebagai jaketnya. Ragu aku naik di boncengan.

"Kamu tadi ke terminal?" Tanyaku di perjalanan.

"Iya. Kalian memilih Bali? Kalau aku akan memilih Jakarta."

"Kamu juga tahu itu?"

Dia mengangguk. Setelahnya tidak ada percakapan antara kami. 

Ibu dan ayah menunggu di depan rumah. Wajah mereka menunjukkan kekhawatiran. 

"Darimana saja? Ini sudah malam! Minimarketnya di luar kota?" Bentak ayah.

"Maaf, Pak. Saya yang salah. Wulan saya ajak jalan-jalan sebentar muter-muter kota," laki-laki itu menyuruhku masuk ke kamar dan beristirahat, tapi aku memilih duduk di ruang tamu. Apapun yang terjadi, aku harus berani menghadapi.

"Kamu tahu Wulan masih lemah? Kenapa nggak bisa berpikir pakai logika! Dia baru saja sakit! Masih butuh banyak istirahat! Kalau kenapa-napa bagaimana?" Hardik ibu.

"Maaf, Pak Bu? Tidak akan saya ulangi."

"Ya sudah! Lain kali jangan lakukan lagi!"

Laki-laki itu masuk dan kaget melihatku masih di sini.

"Kenapa tidak ke kamar?" Tanyanya sembari berjalan melewatiku.

"Aku sudah siap mempertanggung jawabkan perbuatanku," ucapku mengekornya.

"Sudah aman, tidak perlu."

"Kamu mau kemana?"

"Ke kamar!"

"Kamar siapa?"

"Kamarmu!"

"Nggak! Nggak!" 

Aku menghalangi dengan merentangkan kedua tangan.

"Dengar! Tidak akan terjadi apa-apa. Aku sudah sangat lelah. Kalau sampai aku tidak tidur di sana, aku capek mendengar omelan ayah dan ibumu."

"Itu masalahmu! Bukan aku!"

"Oh, ya?" Ucapnya dengan menyingkirkan tanganku kemudian masuk ke dalam kamar.

Melihat gerak geriknya memang tidak ada yang aneh. Tapi tetap saja, mengerikan tiba-tiba satu kamar dengan orang yang tidak dikenal. Dia keluar, kemudian masuk dan mengganti pakaian dengan sarung dan takwa. Laki-laki itu salat dengan khusyuk. Ponselku berdering berulang kali, tapi aku ragu untuk mengangkatnya karena mas Feri yang menghubungi.

Setelah salam dia melihat padaku dan mengambil selimut kemudian ditatanya di bawah.

"Kenapa tidak diangkat?"

Aku hanya menatapnya.

"Angkat saja, aku tidak akan mencampuri urusanmu. Aku tidur dulu. Nanti tolong matikan lampu," ucapnya dengan merebahkan badan di atas selimut yang sudah di tata. Tangannya digunakan tumpuan untuk kepala.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status