Share

Rencana Pelarian (1)

"Aku tunggu kamu di depan sana!" Ucapnya.

"Nggak usah, jangan ditunggu! Kamu bisa pergi!" Usirku dengan nada ketus.

"Oh! Kira-kira jam berapa aku bisa jemput?"

"Aku akan langsung pulang!"

"Ok! Terserah! Tapi aku tidak mau tanggung jawab dengan ayahmu!"

Dia benar, ayah pasti marah kalau aku pulang tidak dengannya. Apalagi kondisi tubuhku yang masih agak lemah. Tapi, bukannya aku menginginkan mas Feri membawaku pergi. 

"Hey!" Panggilku pada laki-laki itu yang masih menunggu di sepeda.

"Apa?"

"Apa, kita benar-benar sudah menikah? Itu bohong kan?"

"Buku nikah ada di kamarmu. Aku sebenarnya berharap ini juga mimpi, aku terbangun dengan kesibukan yang biasa. Sayangnya tidak. Kamu mau pergi dengan pacarmu?"

Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaannya.

"Kalau aku benar-benar pergi?"

"Aku tidak melarang. Tapi pikirkan lagi. Secara agama dan negara kamu sudah istriku. Kalau kamu nikah lari dengannya kamu akan bersuami dua. Itu haram."

Penjelasannya masuk akal. Tapi aku tidak bisa hanya berdiam diri saja. 

"Pergilah. Jangan pikirkan aku."

Laki-laki itu menatapku sebentar kemudian mengemudikan motornya dan menghilang dari pandangan.

Aku menghela napas. Menetralkan segala gundah. Mas Feri terlihat sudah gusar menunggu. Dia tersenyum ketika benar-benar melihatku kemudian menghampiri dan menggandengku menuju kursi.

"Lan? Bagaimana? Kamu tidak apa-apa? Wajahmu pucat? Matamu bengkak? Kamu menangis seharian?"

Mendengar rentetan pertanyaan yang meluncur dari mulutnya aku tersenyum. Mas Feri masih mengkhawatirkanku.

"Aku tidak apa-apa, Mas."

"Kamu mau makan? Aku pesankan?"

Aku menyentuh tangannya. 

"Tidak Mas. Aku tidak lapar," ucapku mencegahnya.

"Bagaimana bisa ayahmu mengizinkan keluar? Apa kamu diantar ayah?"

"Mas, aku rindu," ucapku sambil menitihkan air mata.

Tatapan matanya sendu berkaca-kaca.

"Aku akan bawa kamu pergi dari sini. Jauh."

"Bagaimana pekerjaanmu?"

"Aku bisa mutasi, Lan. Begitupun kamu. Kita ke daerah yang jauh, yang penting kita bisa bersama."

"Apa nanti tidak ada masalah? Kita bisa dipecat."

"Tidak! Selama kamu masih menikah agama dengannya. Ini, kamu makan ya? Aku tak tega melihatmu seperti ini."

Aku menggeleng pelan.

"Makan, ya? Setelah ini kita ke terminal."

"Kemana?"

"Entahlah. Yang penting kita pergi dulu dari sini. Kamu mau?"

Aku mengangguk tersenyum. Hal inilah yang aku tunggu. Pergi jauh dengan mas Feri. Kekasihku. Menghindari dari masalah pelik ini. Aku tidak sendiri, ada dia yang siap menemani.

Hembusan angin yang menerpa tubuh membuat sedikit menggigil. Aku mengeratkan pegangan pada perutnya. Mengetahui hal ini, dia menghentikan motor dan melepas jaket, kemudian memakaikan padaku.

"Aku tidak mau kamu sakit lagi," ucapnya tersenyum.

Kami melanjutkan perjalanan menuju terminal. Di sana, mas Feri memarkirkan motornya kemudian mengajakku ke kursi tunggu sementara dia membeli tiket.

"Kita kemana?"

"Entahlah. Aku membeli dua tiket ini."

Ditunjukkannya tiket bertuliskan Bali.

"Bali?"

"Iya. Sementara. Sampai situasi aman. Aku bisa mencari pekerjaan sementara di sana, sebelum mengajukan mutasi," ucapnya.

Ada keraguan dalam perkataannya, akupun merasa begitu. Hal ini memang tidak kami rencanakan. Emosi dan hasrat mungkin yang menuntun kami melakukan ini.

Selama menunggu aku mulai bisa mencerna keadaan. Kami mungkin bisa menghindar saat ini, tapi besok atau lusa, kami tak akan tahu. Ayah tidak mungkin tinggal diam. Mas Feri dalam keadaan yang merugi. Bagaimana karirnya nanti. Bagaimana keluarganya. Dia masih menanggung beban adik-adiknya karena ayahnya yang sudah meninggal. Hal inilah yang menjadi pertimbangan kenapa tidak sedari dulu dia mengikatku.

Dia masih harus berkarya. Salah satu guru muda prestasi di kota kami. Lalu, bagaimana kalau dia ditemukan minggat denganku. Seseorang yang sudah menikah dengan laki-laki lain. Karirnya pasti hancur. Aku tidak mau.

"Mas?" 

"Ya?"

Wajahnya terlihat bingung. Aku paham dengan pikirannya. Hanya saja, dia masih dengan keraguan. Antara melakukan atau tidak. 

"Kita pulang saja."

Wajahnya nampak pucat mendengar perkataanku. Tapi juga ada mimik tidak terima di sana.

Diraihnya tanganku kemudian diletakkan di dadanya. Matanya berkaca-kaca.

"Aku tidak mau kehilanganmu, Lan?"

"Aku tahu. Aku pun sama. Tapi egois kalau aku memilih pergi denganmu."

"Kenapa?"

"Keluargamu lebih membutuhkanmu, Mas. Karirmu sedang menanjak. Kamu pasti akan menjadi guru yang sukses. Tapi kalau kamu pergi denganku, kamu akan hancur. Jadi, lepaskan aku."

"Tidak, Lan! Aku akan sukses kalau kamu bersamaku! Aku bisa mengirim uang ke keluargaku. Jangan khawatir!"

Aku menggeleng keras.

"Jangan! Sekarang dengarkan aku, ayah tidak akan tinggal diam. Dia akan mencariku kemanapun. Aku sudah menjadi istri orang, Mas. Dan itu akan menyulitkanmu. Aku tidak mau!" Ucapku tergugu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status