Share

Situasi Kaku (2)

Ayah meninggalkan kami di ruangan ini. Ibu masih saja mengusap-usap tanganku.

Pandanganku tak fokus. Pikiranku tak menentu. Aku bangun dan berjalan limbung. 

"Wulan! Biar ibu bantu!"

"Nggak usah, Bu! Wulan bisa."

Tapi dua langkah saja, tubuhku sudah hampir ambruk. Laki-laki itu dengan sigap menggendongku ke kamar. Aku meronta, tapi aku kalah tenaga. Dia meletakkankanku di tempat tidur, kemudian aku menghindar sejauh mungkin darinya.

"Maaf, Ibu. Bisa saya bicara berdua dengan istri saya?"

Mendengar kata istri sungguh aku jijik. Cih!

"Tolong jangan memaksakan apapun nak Wahyu, kalau ada apa-apa segera kasih tahu ibu?"

Laki-laki itu mengangguk. Pintu kamar kemudian ditutupnya.

"Jangan ditutup! Jangan!"

Dia mendekat. Aku takut. Barang-barang yang ada di dekat, aku lempar ke arahnya. Bantal, guling, sisir bahkan selimut tebal aku lemparkan begitu saja, berharap dia menghentikan gerakannya.

"Bisakah kamu diam dan mendengarkan? Aku juga berada dalam posisi sulit sepertimu! Bahkan lebih sulit!"

"G*la! Kamu pandai sekali bersandiwara. Selama ini kamu mengikutiku kemudian membuat drama kotor itu untuk mendekatiku! Bahkan menikahiku!"

"Aku tidak segila itu! Ayahmu tadi benar. Kita berada di tempat dan waktu yang salah saat itu. Aku hanya berniat menolongmu yang kedinginan, tapi ketika akan menyelimutkan jaket dan pakaianku, pemilik warung datang dan menuduh kita berbuat zinah!"

"Seharusnya kamu tidak menolongku! Aku tidak butuh!"

"Ya! Seharusnya aku biarkan saja waktu itu. Kehidupanku tidak akan seperti ini!"

Laki-laki itu memegang kepalanya. Seharusnya aku yang pusing di sini. Kenapa jadi dia.

"Kita bercerai saja!"

"Tidak semudah itu! Ingat! Ayahmu siapa? Kamu siapa? Salah satu orang yang mengarak kita, membuat video waktu itu. Video itu bisa saja disebar kalau aku tidak menikahimu! Lagipula, pernikahan ini bukan hal untuk main-main. Aku tidak bisa!"

"Oh, jadi kami harus berterima kasih padamu karena sudah menolong? Sok pahlawan! Dasar sint*ng!"

"Aku tidak bisa terus-terusan di sini! Aku harus bekerja untuk membiayai kuliahku. Kurang setengah semester ini lulus. Jadi, aku tidak ada waktu mengurusimu."

"Aku juga tidak butuh diurus!"

"Besok setelah acara sukuran di sini. Kita harus pulang ke tempat kosku. Baru kita akan susun rencana selanjutnya!"

"Aku tidak mau! Aku di sini saja!"

"Kalau kamu tidak mau terserah, tapi sikapmu yang seperti ini justru hanya akan merugikanmu. Bukan aku."

Laki-laki itu keluar kamar setelah mengucap kata-kata terakhir bernada mengancam. Bisa-bisanya aku menikah dengan orang seperti itu. 

Ponsel aku cek kembali. Satu balasan dari mas Feri. Dia meminta bertemu di tempat biasa. Aku tersenyum lega. Tapi, apa yang harus aku jelaskan kalau situasi ini sudah menjadi runyam.

"Ayah? Aku keluar sebentar!"

Ayah dan laki-laki itu berbincang di teras depan rumah. Heran kenapa ayah cepat sekali akrab dengannya. Pasti ada jampi-jampinya. Aku tidak percaya dia berbuat ini dengan polos.

"Mau kemana?"

"Ke minimarket depan sebentar."

"Tidak usah. Nanti saja ayah yang antar," jawabnya tegas.

"Biar saya yang antar, Pak," tawar pemuda itu.

Ayah mengangguk lega.

Duh, matilah aku. Apa jadinya kalau dia tahu aku akan ketemuan dengan mas Feri, pasti akan mengadu pada ayah.

"Ayo!" Ucapnya di atas sepeda.

Mau tidak mau aku menurut, nanti aku akan meminta turun di halte bus saja.

"Aku tahu kamu akan menemui pacarmu, kan? Kemana? Akan aku antar!" ucapnya setengah berbisik dan tersenyum.

Aku naik sepeda dengan canggung. Tapi juga senang karena akan bertemu dengan mas Feri. Semoga dia mau mengajakku pergi jauh nanti. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status