Tak menghiraukan gelagat keberatan dari suami sahnya, Amanda berbalik dan melempar sebuah batu, hingga mengenai salah satu lentera yang tergantung di sisi tembok istana terjatuh. Api kecil menyala saat sisa minyak yang tak terlalu banyak dari pecahan lentera itu menggenangi tanah.
Illarion menatap frustasi pada gadis yang ia jadikan sebagai tumpuan tubuhnya itu. ‘Ia gila? Apa yang bisa dilakukan api yang bahkan hanya sebesar lilin ulang tahun itu.’
“Ay … o,” paksa Illarion tapi lebih mirip sebuah pinta lemah. ‘Sial, langkah mereka semakin dekat, dan wanita gila ini malah diam dan bermain-main api!’
“Mereka datang?” tanya Amanda berbisik, sambil memperlihatkan beberapa butir buah pinus merah, warna yang berbeda dari buah pinus lainnya yang tergeletak di tanah.
Illario
Dukung penulis dengan VOTE dan bintang 5 ya ⭐⭐⭐⭐⭐ Bab selanjutnya adalah masih flashback dari masa kecil Illarion Black. Hanya bab 45-46.
Anarka, lima belas tahun lalu. “Illarion, bangun… Illarion…,” bisik seorang wanita pada putranya yang masih tertidur lelap itu. Bocah kecil berusia sekitar sepuluh tahun itu menggeliat dalam tidurnya, alisnya bertaut karena gangguan bertubi-tubi yang mengusik lelapnya. Akhirnya maniknya yang serupa gelap malam terbuka dengan berat. “Ibu…? Ada apa?” Illarion mengucek matanya, mengalihkan pandangan dari wanita berparas sangat cantik berambut hitam legam seperti dirinya, ke jendela besar di ujung kamar. “Masih malam, aku bahkan masih bisa melihat bintang.” “Kita harus pergi dari sini,” bisik wanita itu tergesa-gesa menyiapkan sebuah buntelan berisi pakaian dan beberapa perhiasan. Masih setengah sadar, bocah kecil itu belum
Seorang pelayan memandang sedih pada Illarion, “Ibu Selir akan dibakar pagi ini di alun-alun. Dan Anda akan dikirim ke medan perang sebagai penebus dosa atas apa yang dilakukan oleh ibunda Anda, Tuan.” Sebuah kabar yang disampaikan oleh pelayannya barusan bagai awal mimpi buruk kehidupan pangeran kecil itu selanjutnya. Dengan perasaan berkecamuk, Illarion berlari kencang di selasar istana, mencari seseorang yang bisa menangguhkan hukuman yang akan ibunya terima. Kamar Baginda Raja tertutup rapat dengan penjagaan yang berlapis. Bocah kecil itu menjerit sejadi-jadinya di luar saat tak diizinkan masuk. Raungan pilunya sampai terdengar ke kamar Pangeran Alexander, pemuda berumur lima belas tahun itu tergeletak bersimbah darah tak berdaya, karena pukulan bertubi-tubi dari ibunya akibat menentang perkataan sang Ratu. Kakak tiri Illarion itu tak menyangk
Napas Illarion memburu tak teratur, punggungnya menggigil kedinginan tapi malah tubuhnya mengeluarkan keringat seolah pria itu kepanasan, dan tangannya gemetar tak terkendali. “Kau tak apa-apa?” tanya Amanda khawatir. Wajah pucatnya tertimpa cahaya lilin di atas nakas. Menciptakan siluet cantik di atas tembok lusuh berlumut. Mata Illarion nanar menatap wajah syahdu menyejukkan itu, dan dengan sekali rengkuh, Amanda terbenam dalam pelukan pria berdada bidang itu. “Tuan?” Amanda menggeliat dalam pelukan pria itu, meminta celah untuknya bernapas. Tapi tangan Illarion yang gemetar di balik punggung Amanda serta napasnya yang memburu di ceruk leher gadis itu seolah mengatakan 'aku ketakutan.' Amanda menyisir rambut di atas tengkuk Illarion menggunakan jari-jar
Masih mengacuhkan Illarion, nenek itu kembali berbicara pada Amanda. “Masih banyak pria bangsawan yang akan menyukaimu Nona, walau penampilanmu aneh. Aku yakin masih banyak pria bangsawan di luaran sana, dengan tubuh mulus walau mungkin tak setampan pengawalmu ini.” “Galelaku! Kemarilah sayang, aku sudah membuatkan sarapan untukmu dan tamu kita,” Teriak seorang pria tua dari luar kamar. Wanita tua itu -Galela- menggeram. “Lihat? Itulah akibat kalau kau menikahi seorang pria karena ketampanannya. Aku seorang putri bangsawan yang kawin lari dengan tukang kebun, ia begitu tak punya sopan santun dan selalu berteriak-teriak memanggilku,” curhat Galela seraya memamerkan mulutnya yang tanpa gigi itu. “Galela! Sayang! Istriku!” Kembali teriakan keras terdengar dari luar.
Amanda meletakan mangkuk kosong di atas meja kecil, kemudian menggenggam tangan keriput Galela. “Nyonya salah, akulah yang berasal dari kelas bangsawan lebih rendah dibanding Tuan,” jelas Amanda seraya tersenyum. Bibir keriput Galela membentuk huruf ‘O’. “Bukankah tubuh para bangsawan biasanya begitu mulus? Orang tua mereka tak mungkin mengizinkan putra-putri mereka bekerja hingga tubuh-.” “Galela, sudah kukatakan kau selalu salah menilai orang,” potong pria tua sambil mengusap pundak istrinya. Balton kemudian duduk di sebelah Galela, “ia seorang kesatria. Hanya prajurit perang yang memiliki luka seperti itu di tubuhnya.” “Kukira pria tampan itu mendapatkan luka itu saat dihukum cambuk oleh majikannya karena merebut hati putri kesayangannya. Walau putrinya sangat aneh sih, aku yakin gadis itu tak mempunyai orang
“Aku berhutang nyawa padamu,” ucap Illarion kemudian. Balton tersenyum, sisa-sisa ketampanan yang membuat Galela jatuh cinta masih tersisa nyata bahkan di usianya yang jauh lebih tua dari sang istri. “Tidak justru akulah yang telah melunaskan hutangku.” Amanda dan Illarion menatap bingung ke arah bapak tua itu. Balton terkekeh sebelum menjawab pertanyaan yang terpancar di muka pasangan itu. “Kudamu, bukankah ia yang menuntun kalian kesini? Sepertinya hewan itu ingin agar aku melunasi hutangku. Tadi pagi aku baru menyadarinya, saat melihat tanda di punggung kuda itu.” Illarion masih tak paham maksud pria tua itu. “Aku adalah pria dua puluh bronze,” tutur Balton. “Mungkin Anda lupa, ketika itu kau masih berumur belasan tahun. Seorang anak kecil yang memimpi
“Apa yang kau kerjakan?” tanya Illarion begitu masuk dapur. Pria itu kemudian meletakan dagunya di atas meja, di hadapan setumpuk apel yang menghalangi wajah Amanda. Gadis yang sedari tadi mengupas apel itu tersenyum. “Anda sudah sehat Tuan?” tanyanya. Amanda tampak lebih relaks di luar istana. “Dia buta? Tak lihatkah kau sedang mengupas apel?” sela Galela. “Aku bosan di kamar,” jawab Illarion sambil mengambil sebuah apel dan menggigitnya. Mencoba tak menghiraukan Galela. “Lihat itu, ia tak membantu dan kerjanya hanya makan,” sindir Galela lagi. “Cobalah,” tawar Amanda sambil menyodorkan sepiring kue. “Tuan- maksudku kakek yang memetik apel di hutan dan aku yang membuat pie apelnya.” Amanda meralat panggilann
“Galela!” panggil Balton kemudian menggeleng. Istrinya terkadang tak tahu hal mana yang seharusnya tak ia bahas. “Maaf,” gumam Galela, kemudian melanjutkan mengunyah kue seolah tak terjadi apa-apa. ‘Kalau pun ia bisa mengangkat seorang anak, tentu ia sudah tak bersamaku.’ batin Illarion. ‘Namun, dengan siapa kau kelak akan mengasuh anak?’ sejurus tanya kembali muncul membuat dada Illarion seakan sesak. ‘Apa kau akan bahagia setelahnya?’ Pria berahang siku-siku itu kemudian menghela napas, sembari melemparkan pandangannya ke arah Balton. “Apa pekerjaan Anda?” “Aku berjualan hasil hutan, sekali sepekan kami berniaga ke kota,” jelas Balton sambil menarik piring Galela, wanita tua itu langsung cemberut. “Tapi sekarang persaingan di pasar semakin berat, barang-baran