Share

X

“Duduk? Kurasa kau sudah tak menyayangi nyawanmu lagi! Benar-benar kurang ajar, hanya karena ku nikahi kau jadi besar kepala dan berani memerintahkanku untuk duduk! Kau kira aku binatang apa! Eh... .” Tiba-tiba Rion menyadari sesuatu, terlebih saat Amanda kembali berteriak hal yang sama, tapi kali ini tangan putih itu menunjuk pada kucing hitam yang sekarang sedang duduk manis sambil menjilat-jilat kaki depannya.

“Nama kucing itu-,“ Rion menghentikan kalimat tanyanya.

Amanda yang berlinang air mata menatap pria itu dengan ketakutan. “Ma-maaf sa-saya benar-benar minta maaf, Tuan. Tapi saya memberi nama kucing itu jauh sebelum saya mengenal Tuan. Saya benar-benar minta maaf....” Amanda masih mengucapkan beribu kali kata ‘maaf’ sambil bersujud dengan tubuh gemetar, sedangkan di sampingnya si kucing dengan polosnya masih menjilat-jilat tubuh berbulu hitamnya.

Rion tercenung menyadari apa yang terjadi, ia nyaris saja mengakhiri pernikahannya kali ini dengan pembunuhan gara-gara seekor kucing. Pria itu kemudian tertawa dan Amanda tertegun seakan takjub melihat tawa renyah itu. Itu bukanlah tawa meremehkan yang penuh rasa benci, seperti yang Pangeran Hitam perlihatkan di awal pertemuan mereka, tawa kali ini berbeda, seperti seorang anak kecil yang mendapatkan permen kesukaannya.

Melihat Amanda yang memandangi dirinya, tawa Illarion langsung lenyap. Ia kembali ke mode default-nya, tatapan dingin dan wajah tanpa ekspresi.

“Kau berbohong lagi, kau pasti sengaja menamainya seperti itu!” protes Pangeran Hitam. 

Entah kenapa ketakutan Amanda seakan berkurang setengahnya setelah melihat tawa pria dengan netra hitam di hadapnya. Gadis itu menggeleng kencang. “Tidak! Tuan bisa menanyai-“ tangan Amanda menunjuk kucing di sampingnya, “nya!”

Alis mata Rion naik sebelah yang membuatnya semakin tampan. “Hei! kau kira aku bodoh! Mana mungkin aku bisa menanyai kucing! Lagipula orang lancang mana yang menamai binatang peliharaannya Illa-“

“Meong!” seru kucing itu sembari menatap ke arah Rion sebentar, kemudian kembali sibuk menjilati telapak kakinya yang berwarna pink pucat.

“Rion-”

“Meong!”

“Illarion”

“Meong!” kali ini atensi penuh diberikan kucing itu pada Rion. Mata biru kucing itu tanpa takut membalas tatapan manik kelam miliki Pangeran Hitam.

“Hei diam kau!” perintah Rion frustasi karena setiap katanya dijeda oleh kucing hitam gemuk itu. Mereka –kucing dan Rion- saling bertatapan.

Rion menghembuskan napasnya kasar, “Jadi namanya betul-betul Illa-“

“Meong!”

“DIAM! Aku tahu namamu Illarion!” Detik selanjutnya setelah Rion meneriakkan namanya sendiri, kucing itu langsung melingkarkan tubuhnya di kaki Pangeran Hitam. Membuat pria yang bernama sama dengan kucing itu ingin mengelus mahluk berbulu hitam lebat itu dengan gemas.

“Illarion kesini...,” perintah Amanda lirih. Takut kucing peliharannya dipenggal begitu saja dengan belati yang masih tergenggam erat di tangan Rion.

Rion ingin mencegah saat kucing itu berjalan pelan ke arah Amanda. Ia benar-benar tergelitik untuk mengelus dan menggendong kucing gendut itu. Setelah menggesekan tubuhnya pada lengan Amanda, kucing itu berlari masuk ke dalam semak-semak di belakang Amanda dan menghilang di kegelapan malam. Sekarang hanya suara jangkrik dan burung hantu di kejauhan yang mengisi ruang sunyi di antara Rion dan Amanda.

“Tu-tuan tidak apa-apa?” tanya Amanda sambil berdiri dari tempat jatuhnya tadi.

Rion yang sedang memasukan kembali belatinya pada kantong di pergelangan tangannya, balas menatap gadis itu dengan tatapan tak mengerti.

Amanda menjelaskan dengan bahasa tubuh sambil menunjuk hidungnya sendiri dengan maksud menanyakan keadaan hidung Rion yang tadi dicakar oleh kucingnya.

“Ah!” Rion mengerti sembari menyentuh hidungnya. Hanya goresan tipis namun terdapat luka darah di sana. Ia bahkan sama sekali tak merasakannya, tentu saja luka-luka di medan perang jauh lebih parah dari ini.

 “Jika Tuan tak keberatan biar saya obati...,” tawar Amanda dengan raut muka khawatir campur rasa bersalah, bagaimana pun kucingnya lah penyebab pria itu terluka.  

Dan entah bagaimana ekspresi gadis itu menggelitik hati Rion. “Memang sudah tugasmu mengobatiku,” cetus Rion dingin kemudian berbalik menuju bangunan utama. Baru beberapa langkah ia berjalan, Amanda memanggil pria tampan itu dengan takut-takut.

“Tu-tuan, arahnya ke sini...,” jelas Amanda sambil menunjuk ke arah puri tua yang tertutup semak-semak mawar. Rion mengerutkan keningnya melihat puri itu, jika bangunan utama kediaman keluarga Broke sudah seperti kastil berhantu, maka puri tempat Amanda tinggal sudah bisa dipastikan tempat ‘raja’ hantunya tinggal. Bangunan itu benar-benar mengerikan.

Rion berjalan pelan mengikuti Amanda, mereka menuju puri itu tanpa bicara. Sesampai di depan puri, gadis itu membuka kunci dan mendorong pintu kayu besar yang menjadi jalan masuk utama puri itu.

KRIETTT!!!

Suara decit karat yang menyakitkan telinga tercipta dari engsel pintu puri yang tak pernah diminyaki. Dengan sigap Amanda menyalakan lampu-lampu minyak yang tertempel di dinding puri. Cahaya api yang bergoyang-goyang membuat bayangan mereka yang menyusuri lorong seolah berdansa.

“Kenapa gadis ini tinggal di puri ini bukan bangunan utama rumah keluarganya?” sebuah pertanyaan melintas di benak Pangeran Hitam.

“Mana para pelayan?” tanya Rion sambil melirik memperhatikan interior bangunan yang terlihat suram itu.

Amanda menoleh ke arah Rion, tapi pandangan matanya hanya tertuju pada lantai di bawah pria itu. “Mereka sedang beristirahat,,” jawab Amanda yang masih menundukkan kepalanya.

Rion tersenyum sinis. “Apa mereka tak bisa mendidik para pelayan dengan baik? Bagaimana mungkin para pelayan meletakan kepala mereka duluan di bantal sebelum majikannya tidur?” Berbagai pertanyaan bermunculan di benak Illarion Black.

Amanda mempersilahkan Rion duduk di kursi besar menghadap perapian. Gadis berkulit pucat itu juga menyalakan lampu minyak serta perapian di ruangan itu. Mengusir kegelapan yang mengisi ruangan itu yang ternyata di isi oleh furnitur kuno dan tak seragam. Seperti sofa yang berwarna hijau zamrud sedangkan kursi lainnya berwarna merah dan coklat tua. Di samping kiri-kanan perapian terdapat jendela besar yang tertutup gorden penuh tambalan, namun entah bagimana terlihat cantik dan klasik.

Cahaya bulan purnama yang melewati di sela-sela jeruji jendela besar, membuat suasana tenang menentramkan. Suasana yang jarang sekali Illarion Black dapatkan beberapa tahun terakhir ini.

Saat Amanda ijin pergi mengambil sesuatu, Rion menelisik ke sekitar ruangan. Netra hitamnya menangkap bingkai lukisan kecil di atas perapian. Lukisan sepasang suami istri dengan seorang anak berambut putih tersenyum lebar di pangkuan sang istri. Rion menyadari pria di foto itu adalah kepala keluarga Broke tapi wanita di sampingnya bukanlah nyonya rumah yang ia temui ketika pernikahannya. “Keluarga yang bahagia, sepertinya ia selalu beruntung dalam hidup ini,” gumam Pangeran Hitam. “Kecuali saat ia harus menikahiku...,” lanjutnya dalam hati dengan raut muka sedih.

Trak. Amanda meletakan teh hangat dan ramuan obat di meja, menyadarkan Rion kalau ia tak sendirian lagi di ruangan itu.

“Keluargamu?” tanya Rion sambil menaruh bingkai foto itu kembali ke tempatnya.

“Iya...,” Amanda mengangguk pelan.

Rion kembali duduk di kursi besar kecoklatan, sambil menyilangkan kakinya. Pandangannya tertuju pada cangkir teh dan cawan yang berisi cairan obat.

“Bolehkah saya membersihkan lukanya dulu, Tuan?” tanya Amanda.

Rion mengangguk dan dengan perlahan gadis bersurai perak itu menyeka luka cakaran di hidung Pangeran Hitam. Netra ungu Amanda menangkap bekas luka-luka lain yang ada di wajah Rion. Seperti luka torehan benda tajam di pipi kirinya, jidat, dan rahang kanannya, tidak terlalu terlihat karena bekas luka itu hanya meninggalkan jejak tipis di wajah pria tampan itu. Kecuali bekas luka di atas mata kanannya terdapat sayatan dalam yang membelah alis tebal pria itu.

Rion mengamati arah netra ungu Amanda. “Itu luka lama, saat pertama kali aku terjun ke medan perang. Terlalu dalam hingga susah di sembuhkan,” jelas Rion.

“Ah ...,” gumam Amanda gugup saat sadar Pangeran Hitam mengetahui kalau dirinya sedang mempelajari wajah pria tampan itu. Amanda kemudian membenamkan kain steril ke dalam cawan yang berisi cairan berwarna merah di atas meja. Dan saat ia akan mengoleskan kain yang berwarna kemerahan ke ujung, tangannya ditahan oleh pria besar itu.

“Apa itu?” tanya Rion dingin.

“O-obat,” jawab Amanda gagap.

Rion menyipitkan matanya melihat kain steril yang hanya berjarak sejengkal dari ujung hidungnya. “Tunjukan padaku kalau itu bukan racun.”

Komen (24)
goodnovel comment avatar
Asiyan Sompo
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Polorida Hutahaean
koin...mana koin
goodnovel comment avatar
Ana Andina
koin nya tinggi bngt...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status