“Pak Daryan, maafkan anak saya Pak. Dia tidak bermaksud ....“
“Jadi perempuan ini anak Pak Ameer?” potong Daryan, mengalihkan tatapannya dari Savana pada Ameer. Ameer menunduk dalam-dalam, “I-iya, Pak. Maaf atas ketidaksopanan anak saya,” katanya sebelum menarik lengan Savana membuat gadis itu akhirnya berdiri di sisi kanannya. Savana bukannya merasa malu atau takut, ia justru menatap Daryan tanpa berkedip. Bukan menantang, melainkan karna kaget sekaligus takjub dengan visual pria matang di hadapannya itu. Sementara di sisi Daryan ada Revanza, asisten sekaligus sahabat karibnya yang menjadi bawahan dan orang kepercayaan Daryan di perusahaan—tak hanya itu, dia juga yang mengurus urusan pribadi Daryan. “Siapa mereka, Pa?” tanya Savana, berbisik di telinga Ayahnya. Belum sempat Ameer menjawab pertanyaan putrinya, Daryan lebih dulu mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Savana membuat Ameer membelalak. Atasannya mengulurkan tangan pada putrinya? “Perkenalkan, nama saya Daryan. Pemilik perusahaan ini, yang berarti atasan Papa kamu,” ucap Daryan dengan nada tegas, berwibawa dan penuh otoritas. Savana membasahi bibirnya dan menelan ludah susah payah, ia menatap tangan besar pria di hadapannya itu sebelum melirik ke ayahnya. Ameer dengan lirikan matanya yang tajam memerintahkan dirinya untuk membalas uluran tangan itu. Sementara Revanza, ia menaikan sebelah alisnya ke atas, menatap tangan temannya yang masih terulur. Pikirnya, seorang Daryan mengulurkan tangan pada anak bawahannya? Wanita lagi! Sesuatu yang hampir tak pernah terjadi. “Savana Melati,” balas Savana, menjabat tangan Daryan. “Jadi gimana, serius kamu mau nikah sama saya?” tanya Daryan membuat Ameer membelalak, begitu juga dengan Savana yang sebenarnya hanya bercanda. “Maaf, Pak. Jangan anggap serius ucapan anak saya, dia cuma ....“ “Saya tanya anak Anda, Pak Ameer!” potong Daryan dengan nada dingin, lirikan matanya tajam. “Ma-maaf ....” sahut Ameer seraya menundukan kepalanya. “Jadi bagaimana, Savana? Kamu serius mau menikahi atasan Papa kamu yang perutnya buncit ini,” kata Daryan sedikit menyindir. Savana langsung membelalak dan menatap perut Daryan yang rata. Pria itu menyeringai licik melihat ekspresinya. “Kumisnya tebal,” lanjut Daryan membuat pandangan Savana beralih pada atas bibirnya, “Tua, ubanan, dan bau tanah. Apa kamu mencium itu dari saya, hm?” Gleg. Savana menelan ludahnya susah payah, ia merasa malu dan ingin sekali pergi dari tempat ini. Dia dengan kesadaran penuh sangat merasa kalau Daryan sedang menyindirnya habis-habisan. “Maaf, Pak Daryan. Sa-saya ... saya gak bermaksud menghina Bapak, saya cuma bercanda kok!” Savana langsung menunduk. “Saya tanya, kamu serius mau menikah dengan saya? Jawab yang itu dulu!” tukas Daryan. Savana menggigit bibirnya kuat, tak ingin sampai ayahnya kehilangan pekerjaan karna kedatangannya. “Sekali lagi maaf, Pak. Saya cuma bercanda, mulai dari menggoda atasan Papa saya dan juga minta dinikahi. Saya juga gak tau kalau ternyata atasan Papa saya ternyata masih bugar, gak ubanan, gak ada kumisnya dan ... harum parfum Dior.” Revanza langsung melipat bibirnya menahan tawa, jika saja situasinya tidak dalam keadaan serius dia pasti sudah menyemburkan tawa bahaknya. “Tapi saya serius,” kata Daryan tiba-tiba membuat semua mata memandang ke arahnya. “Ma-maksud Bapak?” tanya Ameer penasaran, kepalanya terangkat menatap atasannya dengan serius. “Kalau kamu serius mau nikah sama saya, maka saya akan siapkan semuanya.” Lanjut Daryan, tak ada nada bercanda dalam ucapannya. “Dar!” tegur Revanza, menatapnya tak percaya. Daryan hanya meliriknya sekilas seolah mengatakan pada temannya itu untuk diam, lalu tatapannya beralih pada Savana yang sangat terkejut dengan ucapan pria itu. “Gimana, Savana?” Savana buru-buru menggeleng dengan tegas, “Saya ga mau, saya bener-bener ga seri—aw!” pekik Savana ketika Ameer mencubit lengannya. “Papa?” matanya memicing, menatap ayahnya sinis. “Anda serius Pak mau menikahi anak saya?” tanya Ameer yang kini maju selangkah lebih dekat dengan Daryan, sementara Savana dia tutup dengan tubuh tingginya. Daryan mengalihkan pandangannya dari Savana pada Ameer. “Kenapa tidak? Kalau anak Anda serius, maka saya akan lebih serius.” “Baik Pak, saya akan bicarakan ini dengan Mamanya Savana juga,” balas Ameer meyakinkan. “Papa?!” Savana menarik kemeja sang ayah. Namun, Ameer sama sekali tidak menghiraukan. “Kalau begitu ...,” Daryan menatap Savana dan tersenyum miring. “Sampai bertemu lagi,” lanjutnya, sebelum meninggalkan halaman gedung perusahaan diikuti oleh Revanza di belakangnya. “Pa, aku ga mau nikah muda,” tukas Savana dengan tegas, menatap sang ayah dengan tatapan memohon. “Aku cuma bercanda tadi, kenapa Papa malah bawa serius?” “Sstt ...,” Ameer memotong ucapan putrinya. “Ini urusan Papa, kamu cuma ikuti aja apa yang Papa bilang. Dengar Savana ...,” ia meraih kedua bahu putrinya agar menatap padanya, tatapan keduanya beradu. “Kamu harus nikah dengan Pak Daryan!” “AKU. GAK. MAU!” tekan Savana seraya menepis kedua tangan Ameer. “Aku masih mau kuliah, aku punya masa depan. Aku mau jadi dokter, aku mau nikah di umur 27 tahun. Bukan 18 tahun, Pa.” “Tck!” Ameer berdecak pelan. “Kamu masih bisa kuliah Savana, banyak orang menikah sambil kuliah. Justru kalau kamu menikah dengan Pak Daryan, hidup kamu enak. Ada yang bayar kuliah kamu, dan kamu mau apapun pasti akan dibelikan oleh suami kamu.” Savana tersenyum miring. “Jadi Papa mau jual aku, iya? Mau lari dari tanggung jawab sebagai orangtua yang wajib membiayai anaknya?” “SAVANA!” geram Ameer, ia berdecak keras. “Tidak ada tapi-tapian, kamu harus menikah dengan Pak Daryan. Papa akan usahakan biaya pendafataran kuliah kamu sebelum jam lima sore, asalkan kamu nikah sama Pak Daryan. Oke?” ia melirik jam tangannya. “Tiga jam lagi batas pembayarannya, sebaiknya kamu pulang biar sisanya Papa yang urus.” “Pa ....” rengek Savana, namun belum sempat menyelesaikan ujarannya—Ameer sudah berbalik badan dan meninggalkan putrinya, langkahnya cepat menuju gedung perusahaan. Savana menatap ayahnya dari kejauhan dengan tatapan miris. Terlihat jelas di mata Ameer, bahwa ada sebuah tujuan yang ingin dicapai sehingga Ameer langsung bersemangat dan mengiyakan ucapan Daryan. Gadis cantik dengan rambut panjang sebatas pinggang itu menatap gedung perusahaan di hadapannya dengan perasaan campur aduk, ia menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan amarah sekaligus rasa frustasi. “Aku harus bahas ini sama Pak Daryan, aku ga bisa pasrah kayak gini di jual sama Papa,” gumamnya lirih. Ia menghela nafas panjang, sebelum mengayunkan kedua kakinya masuk ke dalam gedung perusahaan. Savana mendekat ke resepsionis di lobi. “Mbak, nanti kalau Pak Daryan keluar. Tolong kabarin saya ya?” Savana harus bertemu dengan Daryan hari ini, bagaimana pun caranya.Savana langsung mendorong pelan tubuh Daryan menjauh darinya, rona wajahnya berubah gugup seketika saat melihat ibunya berdiri di ambang pintu. “M-ma … i-ini … bukan seperti yang mama pikir ....” Namun sebelum Savana sempat menyelesaikan kalimatnya, Daryan menyela dengan santai, bahkan terlalu santai. “Maaf, Ma. Saya yang tidak tahu tempat.” Savana membelalak, menoleh kaget ke arahnya. “Mas….” desisnya pelan. Tapi Daryan hanya tersenyum sekilas. “Mama ke sini sendiri?” Hana mengangguk pendek, ekspresinya masih menyimpan keterkejutan sejak melihat pemandangan privasi sepasang suami-istri barusan. Daryan melirik jam di tangan kirinya. “Sepertinya saya harus berangkat ke kantor sekarang. Kalau begitu, saya pamit dulu.” Daryan melangkah pergi tanpa tergesa, pembawaannya tenang dan penuh wibawa. Ia meninggalkan keduanya di depan pintu penthouse, seakan tahu ini urusan ibu dan anak yang tak boleh ia ganggu lebih jauh. Begitu pintu tertutup, Savana menghela napas panjang dan menatap
Pagi itu, Savana keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk putih pendek yang dililit di tubuhnya. Rambutnya masih basah, dan beberapa tetes air menuruni bahunya. Saat membuka pintu, ia langsung terkejut. “Ngapain mas berdiri di situ?” tanyanya kaget, satu tangannya memegangi dadanya. Daryan bersandar santai di sisi dinding, menyambutnya dengan senyum tenang. “Saya nungguin kamu. Tadi saya yang antar kamu ke kamar mandi, jadi sekarang saya jemput lagi.” Savana mendengus pelan kemudian tersenyum kecil, memalingkan wajahnya mencoba menutupi rona merah di pipi. “Gak usah, mas.” Tolaknya sambil berjalan melewati sang suami. “Bukannya kamu masih sakit?” balas Daryan, matanya menelisik langkah Savana yang tampak berbeda, menahan perih di area tertentu. “Udah gak, kok,” jawabnya cepat, berjalan ke arah meja rias dengan sedikit kaku. Daryan tak tinggal diam, ia mengikuti langkah istrinya dan berdiri tepat di belakangnya, menatapnya lewat pantulan cermin. Senyum kecil terus menggan
Savana duduk di depan meja rias. Pantulan wajahnya di cermin tampak berbeda malam ini. Rambutnya digerai lembut, makeup tipis hanya menonjolkan bibir dan matanya. Piyama satin berwarna lembut melapisi tubuhnya, tapi di baliknya berupa lingerie tipis yang mencetak tubuh seksinya. Jantungnya berdetak cepat. Tangannya menekan dada, mencoba menenangkan degup yang tak mau kompromi. Aku bisa. Aku udah siap. Tapi, kenapa sesulit ini? Diam-diam dia mengulas senyum manis. Mengingat pengakuan cintanya pagi tadi, dan pengakuan cinta suaminya yang ternyata selama ini menyimpan perasaan yang sama. Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Savana menoleh, lalu buru-buru memalingkan wajah ketika melihat sosok Daryan muncul dari kamar mandi hanya mengenakan handuk putih yang dililit di pinggangnya. Tubuh bagian atasnya basah dan masih menetes, otot-ototnya terlihat tegas di bawah cahaya temaram kamar. Daryan berjalan pelan ke arah lemari, namun langkahnya terhenti saat melihat Savana yang kini diam membeku
Daryan menatap istrinya dalam-dalam. Bibirnya bergerak seakan hendak bicara, tapi akhirnya hanya keluarkan satu kalimat, lirih. “Kenapa kamu tetap ingin pergi, Savana?” Savana menunduk sambil menggigit bibirnya kuat, jari-jarinya menggenggam erat ujung selimut. Setelah beberapa saat, dia akhirnya berkata lirih, “Karena dari awal ini hanya perjanjian, mas. Dan saya gak mau terlalu berharap lebih.” Daryan tersenyum kecil, tapi ada getir di sana. “Jadi kamu menahan diri untuk gak berharap ... karena takut jatuh cinta?” Savana langsung menoleh menatapnya, kaget dengan tebakan itu. “Saya bukan penebak, tapi saya tahu seperti apa wajah orang yang berusaha menyembunyikan perasaannya,” lanjut Daryan dengan nada lebih tenang, tatapannya sedikit melembut. “Kamu juga begitu, mas.” Savana akhirnya bersuara, meski pelan. “Mas juga kelihatan gak jujur sama perasaan sendiri.” Daryan tak membantah. Ia memutar wajah, menyembunyikan ekspresinya dengan menatap ke luar jendela. “Mungkin. Karena s
“Mas ….” “Hm?” Daryan menyahut pelan, suaranya lembut dan nyaris berbisik. Savana yang berbaring di sampingnya menatap langit-langit kamar, tangannya menggenggam erat pakaian yang kini membalut tubuhnya. Tangan kanannya masih berada dalam genggaman Daryan yang hangat. Ia ragu sejenak, tapi pertanyaan itu tak bisa ditahan lebih lama. “Mas yang ganti pakaian saya?” Daryan tak langsung menjawab. Napasnya terdengar pelan, seperti sedang memilih kata. “Iya,” ucapnya akhirnya. Tubuh Savana langsung menegang. Matanya membelalak, wajahnya memerah bukan hanya karena demam melainkan malu. “Berarti ... mas udah lihat semuanya?” Daryan memejamkan mata sejenak, berusaha menahan gelombang emosi yang datang dari raut Savana. “Savana .…” “Mas!” potong Savana cepat, wajahnya kini semakin memerah karena malu dan canggung. “Kenapa mas gak manggil perawat atau siapapun?” “Karena saya panik!” Daryan akhirnya menaikkan sedikit suaranya. Tapi bukan marah, lebih ke frustasi. “Kamu pingsan di kamar ma
Daryan berdiri di balkon dengan wajah tegang. Di tangan kirinya, iPad menyala menampilkan rekaman dari CCTV mansion. Jarinya menyapu layar, mempercepat waktu, sampai akhirnya terhenti di satu rekaman di ruang kerjanya. Matanya menyipit tajam. Rekaman itu memperlihatkan Ajeng datang membawa secangkir kopi lalu dengan tanpa ragu, menuangkannya ke buku tugas Savana. Sang ibu membentak, dan puncaknya ... menampar Savana keras hingga sang istri terhuyung. Rahang Daryan langsung mengeras. Tangannya mengepal kuat, hampir membuat iPad itu retak di genggamannya. Hatinya berdesir dengan rasa bersalah yang dalam. Jadi itu alasannya... Savana bukan lari dari tanggung jawab. Bukan semata karena kekanak-kanakan seperti yang dia pikirkan. Tapi karena dia benar-benar disakiti. Dan yang paling menyakitkan saat semua itu terjadi, Daryan tidak ada di sisinya. Ia segera melangkah masuk ke kamar. “Savana,” panggilnya, tapi Savana tidak ada di sana. Daryan baru teringat kalau istrinya tadi pergi