Savana duduk gelisah di sofa lobi, kaki kanannya menggoyang cepat. Matanya menatap tanpa lepas ke arah lift, bergolak dalam harapan akan segera melihat sosok Daryan yang dinanti.
Drrtt! Tiba-tiba, getar notifikasi ponsel mengusik kesunyian, sebuah panggilan masuk memecah lamunannya—Hana, nama ibunya tertera di layar. "Halo, Ma?" suara Savana lembut saat panggilan itu terhubung. "Sav, kamu masih di kantor Papa kamu?" nada suara Hana meluapkan kekhawatiran, "Udah, sini buruan pulang. Jangan sampe ganggu Papa kamu kerja, takutnya dia marah." "Tapi, Ma…" Savana menurunkan ponselnya, melirik jam digital yang menyala di layar ponselnya, "Papa belum ngirim uangnya, Ma. Udah sisa dua jam lagi sebelum tenggat pembayaran, aku ga mungkin bisa pulang tanpa uang itu." Sunyi sejenak di sisi lain telepon, Hana tampak berat untuk merespon. Akhirnya suara itu kembali mengalir, lembut namun getir, "Berapa lagi biaya pendaftarannya, Sav? Biar Mama coba cari solusi pinjaman." "Ga usah, Ma. Papa bentar lagi pasti ketemu aku. Resepsionis bilang tadi Papa lagi rapat, bentar lagi pasti keluar," ujar Savana, menggantung harapan pada kebohongan semata. "Ya udah, Ma. Aku tutup dulu teleponnya." "Sava, tunggu—!" panggilan itu terputus begitu saja, meninggalkan hening yang menyesakkan, di mana Savana hanya bisa duduk terpaku di sofa lobi, matanya menatap pintu lift, memendam kegelisahan yang mendalam. “Jam berapa sih dia keluar?” Savana terus memeriksa jam di ponselnya, waktu terus berjalan dan sudah hampir satu jam dia menunggu Daryan di sofa lobi. Beberapa karyawan berseragam lewat sambil melirik penasaran, bahkan ada yang bisik-bisik. Savana menghela napas berat, lalu berdiri dan berjalan ke meja resepsionis. “Maaf, Mbak. Bisa ga kalau sekarang saya ketemu Pak Daryan langsung?” Resepsionis tersenyum sopan, nada bicaranya terdengar ramah. “Maaf, Ibu. Pak Daryan tidak menerima tamu tanpa janji. Jadwal beliau sangat padat.” “Bentar ... aja, saya mau ketemu sebentar. Bisa?” Resepsionis itu tersenyum lagi, kali ini nada bicaranya semakin lembut. “Mohon maaf, sama sekali tidak bisa. Hari ini beliau ada rapat penting dengan para investor perusahaan lain.” Savana menghela napas frustasi. Ia berucap terima kasih pada resepsionis sebelum berbalik, hendak pergi. Namun, langkahnya terhenti ketika suara pintu lift terbuka menarik perhatian semua orang. Daryan keluar dengan langkah mantap, ditemani dua bawahannya, ada asisten dan sekretarisnya yang terus mengoceh soal rapat investor—salah satunya, Revanza. Wajahnya fokus, tak menatap sekeliling. Tanpa pikir panjang, Savana melangkah cepat, memotong jalan mereka dan berdiri tepat di hadapan Daryan membuat beberapa orang di sana melihat ke arahnya dan mengerutkan kening. Merasa bingung dengan tindakan Savana. “Pak Daryan! Kita harus bicara sekarang!” Nadanya tegas, matanya menatap lurus, meskipun hatinya gemetar. Mata Daryan menyipit, sebelum seulas senyum tipis tersungging di bibirnya. Baru saja Revanza hendak menyela karna mereka akan pergi rapat penting, Daryan lebih dulu menahannya dengan mengangkat telapak tangannya. Pria itu lantas memberi instruksi pada Savana. “Ikut saya,” katanya tegas, melewati Savana lebih dulu. Gadis cantik itu menghela napas lega sebelum mengekor di belakang Daryan. Di depan gedung perusahaan, sebuah mobil SUV hitam mengkilap sudah menunggu pemiliknya. “Masuk ke mobil,” perintahnya dingin. Daryan masuk lebih dulu, tidak memedulikan Savana yang terlihat gugup. “Silakan,” seorang supir pribadi Daryan meminta Savana untuk ikut masuk ke dalam. Savana sempat ragu, tapi akhirnya dua menurut dan buru-buru masuk kemudian duduk di sebelah Daryan. Seketika aura di dalam mobil itu menjadi mencekam, aura Daryan begitu mendominasi ruang kecil itu. Di dalam mobil yang kedap dan mewah itu, Savana mencoba bersuara. Tapi— “Apa yang ingin kamu bicarakan sama saya?” Daryan lebih dulu membuka suara, matanya melirik arloji mahal yang melingkar di pergelangan tangan kirinya seolah menegaskan dirinya tidak punya banyak waktu. Savana menarik napas panjang sebelum menghembuskannya perlahan. “Saya mau bilang, kalau saya menolak pernikahan ini, Pak,” kata Savana tegas, matanya menatap lurus Daryan yang tak sedikitpun melirik ke arahnya. Daryan hanya menyunggingkan senyum kecil, pria itu dengan santai menyandarkan punggungnya ke jok lalu melipat kedua tangannya di dada. Matanya melirik Savana, sebelah alisnya terangkat sinis. “Saya serius loh, Pak. Saya nggak setuju dengan pernikahan ini, Pak Daryan. Ini terlalu mendadak dan—“ “Tapi Papa kamu sudah setuju.” Savana terkejut, mulutnya terbuka namun tak mengeluarkan suara. Matanya membulat kaget. Daryan menatapnya datar. “Jangan pura-pura terkejut. Atau kamu mengira saya main-main, hm?” “T-tapi—“ Savana hendak protes tapi Daryan mengalihkan pandangannya dan melirik ke miror center, supir pribadinya menangkap maksud lirikan itu. Mobil berhenti mendadak di pinggir jalan. Supir Daryan langsung turun, lalu membuka pintu di sisi Savana. “Turun,” ujar Daryan datar. “Saya sibuk, ada urusan lain. Kita bertemu lagi besok di restoran. Saya kirim alamatnya, jamnya menyusul.” Savana menggigit bibirnya kuat-kuat, matanya berkaca-kaca menatap Daryan yang melihatnya datar tanpa ekspresi. Ia akhirnya turun dengan hati berkecamuk, berdiri di pinggir jalan dengan tangan mengepal. Tapi sebelum mobil melaju, jendela Daryan turun perlahan. Pria itu menatap Savana dengan tatapan tajam. Sebelum mengeluarkan sebuah ancaman yang membuat dunia Savana seolah runtuh. “Satu lagi, Savana. Kalau kamu masih ngotot menolak, jangan salahkan saya kalau Papa kamu kehilangan pekerjaannya. Atau ... keluarga kamu tiba-tiba mendapatkan masalah besar yang tidak pernah kamu duga sebelumnya.”Daryan melirik arloji mahal yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah lewat sepuluh menit sejak sang istri pamit ke toilet, tapi Savana tak juga kunjung kembali. Baru saja bangkit dari duduknya untuk menyusul ke toilet, terlihat Savana muncul dari lorong. Senyum wanita itu merekah sambil berjalan mendekati sang suami. "Mas," ia mengulurkan tangannya yang disambut oleh Daryan dengan genggaman. "Kenapa lama?" Tanya Daryan sambil melangkah pergi. Savana meliriknya sekilas, kemudian menunduk. "Tadi sempet ketemu temen, dan ngobrol sebentar. Mas pasti bosen ya nunggu kelamaan?" "Gak bosen, cuma khawatir aja. Takutnya ada apa-apa," jawab Daryan tenang, tapi matanya tak sedikit pun teralihkan dari sang istri. "Aku terlalu excited setelah dokter bilang aku masih bisa hamil. Aku berharap banget, Mas. Tapi kalau terlalu berharap, malah ...." "Sstt ...," potong Daryan dengan desisan pelan. "Jangan ngomong sembarangan, ingat ... ucapan itu adalah doa sayang. Jadi ngomong y
"Mas, tunggu di sini ya, aku mau ke toilet dulu bentar," ujar Savana pada Daryan begitu keluar dari ruangan dokter kandungan. Daryan mengangkat alis, "Aku anter aja, ya?" ucapnya pelan, tangannya langsung meraih lengan istrinya. Savana mengulas senyum kecil, "Gak usah, Mas. Aku bisa sendiri kok, Mas tunggu di sini aja," ia mengusap bahu suaminya pelan sebelum berbalik menuju toilet di ujung lorong. Daryan hanya menatap punggung istrinya yang mulai menjauh sejenak, kemudian memilih menunggu di kursi tunggu yang terletak di depan ruangan dokter kandungan. Savana berdiri di depan cermin kamar mandi, tatapannya tenggelam dalam bayang-bayang kata-kata dokter yang baru saja didengarnya. "Kamu bisa hamil lagi," gema kalimat itu berputar di benaknya, membawa perasaan lega yang hangat sekaligus air mata haru yang hampir tumpah. Perlahan, dia membasuh wajahnya dengan air dingin, merasakan dinginnya menyapu setiap ketegangan dan kecemasan yang selama ini membelit hatinya sejak kehilang
Minah sedang sibuk merapikan piring kotor dan gelas di meja ruang tengah ketika tiba-tiba bel apartemen berbunyi kencang. Jantungnya berdegup cepat, ia buru-buru melangkah ke pintu dan segera membukanya. Saat pintu terbuka, sosok Hana berdiri dengan senyum hangat seperti biasa. "Bu Hana, kirain siapa yang dateng," Minah tersenyum kecil dan membuka pintu lebih lebar agar Hana dapat masuk, "Silakan masuk, Bu." "Terima kasih," balas Hana seraya melangkah masuk sambil menenteng beberapa barang belanjaan untuk putrinya. "Savana ada di kamarnya, Minah?" tanyanya cepat, matanya menyapu ruangan seperti mencari sesuatu yang hilang. Minah menutup pintu terlebih dahulu sebelum menyusul Hana, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membuka cerita. "Tadi pagi, Tuan Daryan ada di sini, Bu. Saya kaget banget, tiba-tiba mereka udah sarapan bareng di dapur," ucapnya sambil menatap Hana, mencoba menangkap reaksi wanita itu. Wajah Hana berubah sedikit tegang, tapi ia tetap berusaha t
"Arfan," suara Daryan begitu dingin dan menusuk, mengeras seperti palu godam yang menghantam dada Arfan, "Kamu merasa berhak menghubungi istriku setelah semua yang terjadi? Padahal aku sudah bilang ke Revanza, kalau kamu sudah tidak punya urusan lagi dengan keluarga Ardhanata termasuk istriku. Atau ... cek yang pernah Revanza berikan ke kamu nilainya kurang?" Arfan, yang sebelumnya sudah siap dengan pembelaan, terdiam sesaat. Suara di seberang telepon itu begitu tegas, dingin, penuh arogansi dan intimidasi, memaksa setiap kata keluar dengan kekuatan yang tak bisa diabaikan. "Seharusnya aku yang kamu hubungi setelah melihat video itu, bukan istriku. Aku yang bakar jumper itu, dengan sengaja," lanjut Daryan, suaranya semakin tajam, setiap kata seperti pisau yang mengiris. Ia menarik napas dalam, sebelum menghembuskannya perlahan, "Kamu pikir kamu bisa mengisi ruang yang aku tinggalkan? Kamu pikir bisa jadi pahlawan bagi istri orang lain hanya dengan satu atau dua pertemuan di luar
"Sayang," panggil Daryan pelan, suaranya memecah keheningan ruang kamar yang luas dan mewah itu. Ia berdiri di depan lemari yang terbuka, hanya mengenakan handuk putih yang terikat rapat di pinggang lebarnya, matanya terpaku pada jumper bayi berwarna biru langit yang dipegangnya dengan hati-hati. Nama 'Arkana' yang tersulam rapi di dada jumper itu seolah membakar hatinya. Savana menoleh perlahan dari depan cermin, bola matanya menatap balik penuh waspada, lalu alisnya terangkat tipis. "Kenapa, Mas?" Daryan menahan napas, mencoba menahan gemuruh di dadanya yang menggelora. Ia meraih jumper bayi itu dan memperlihatkannya pada sang istri, "Ini ... kamu yang beli sendiri?" suaranya terdengar tegas. Savana tanpa sepatah kata mematikan pengering rambut dan meletakannya ke atas meja rias dengan hati-hati, suaranya lirih saat menjawab pertanyaan sang suami, "Itu hadiah, Mas." "Dari siapa?" Sebelah alis Daryan terangkat sinis, nada suaranya menuntut jawaban, tajam seperti duri yang m
Pagi itu, matahari baru saja menyelinap masuk lewat jendela apartemen minimalis milik Savana. Di dapur, wanita itu sedang menuang susu ke dalam gelas, sementara Daryan membuka lemari es mencari roti. Tiba-tiba, dari pintu apartemen—terdengar pintu dibuka disusul dengan kedatangan Minah seperti biasa pada pagi pukul enam. Langkah Minah sontak terhenti begitu melihat Daryan dan Savana di dapur. Daryan menatap Minah sebentar, lalu tersenyum kecil, "Minah, terima kasih ya. Kamu selalu tepat waktu." Minah hanya mengangguk sambil tersenyum kecil, lalu dengan cepat meletakan tasnya di atas meja dan menuju ke dapur untuk melakukan tugasnya. "Mau sarapan apa hari ini Tuan, Non?" Tanya Minah sembari memakai celemek. Savana menatapnya sekilas, "Apa aja, Bi, terserah," jawabnya sambil menyerahkan segelas susu pada sang suami yang sudah duduk di ujung meja. "Baik, Non, saya buat roti panggang, ya?" Savana hanya mengangguk pelan, "Ngomong-ngomong, kamu mau pulang ke penthouse dulu ya