“Pak, tadi bapak sama mama saya ngomongin apaan?” tanya Savana yang kini duduk di sebelah Daryan di mobil, di mana mereka tengah menuju tempat tinggal Daryan.
Savana melirik Daryan yang tak merespons ucapannya. Pria itu menyandarkan punggung tegapnya ke jok mobil, matanya terpejam dan kedua tangannya terlipat di dada. Savana mendengus kecil, ternyata Daryan terlelap—mungkin karena kelelahan seharian ini menyambut tamu undangan yang ribuan. Ia akhirnya menatap ke luar jendela. Sementara Daryan pelan-pelan membuka matanya dan melirik Savana, sejatinya dia tidak tertidur akan tetapi dia tak ingin menjawab pertanyaan itu mengingat permintaan terakhir Hana. ‘Tapi kalau boleh saya minta, saya pengen lihat anak kalian lahir ke dunia walaupun sebentar.’ Permintaan yang sulit bagi Daryan, tapi dia juga tak tega dengan Hana yang ternyata memiliki penyakit jantung dan berharap melihat cucunya sebelum tutup usia—sialnya lagi Savana anak satu-satunya. “Wah ...,” seruan Savana memecah lamunan Daryan. Ia memerhatikan Savana yang tengah menatap takjub pada gedung tinggi di hadapannya, “Kita sudah sampai ya, pak?” tanya Savana nya pada supir pribadi Daryan. Supir itu melirik Savana dari kaca tengah dan mengangguk kecil. “Iya, non. Sudah sampai.” Mobil SUV hitam itu berhenti di depan pintu masuk gedung, supir lebih dulu turun dari mobil untuk membukakan pintu majikannya. Sementara Savana menoleh pada Daryan untuk membangunkan pria itu. “Pak Dar—“ ucapannya menggantung di udara bersama tangannya yang hendak menyentuh paha Daryan. “Eh, udah bangun?” ia terkejut ketika menoleh pada pria itu, Daryan sudah membuka mata. Daryan tak menjawab, pria itu lebih dulu turun karena pintu mobil sudah dibuka. Langkahnya tegap memasuki gedung diikuti oleh Savana yang kesulitan dengan ekor kebayanya yang panjang. “Pak Daryan, tunggu ....” rengek Savana sambil menenteng ekor kebayanya, langkahnya tertatih karena high heels yang dia gunakan. Tiba-tiba— Bugh. “Aw ....” gadis itu memekik sambil mengusap keningnya yang membentur punggung Daryan, pria itu berhenti tiba-tiba membuat Savana menabrak tubuh tingginya. “Pak Daryan!” matanya mendelik sinis. Daryan berbalik dan melipat tangan di dada, sepasang mata elangnya menatap lurus Savana. “Kita sudah menikah dan kamu masih memanggil saya bapak? Saya suami kamu bukan atasan kamu, berhenti panggil saya Bapak.” Bibir Savana mengerucut sebal. “Memangnya mau dipanggil siapa? Mas, Aa’, Papa, Hubby atau ... Sayang?” Daryan tampak berfikir, kira-kira panggilan apa yang pantas untuk suami istri kontrak ini? Pria itu akhirnya menghela nafas pendek. “Panggil saja, mas.” Setelah mengatakan itu dia berbalik lagi dan menuju lift. Savana mendengus kecil karena sikap dingin pria itu, ia buru-buru menyusul lagi karena takut ditinggal. Langkahnya cepat nyaris berlari seperti anak kecil yang mengejar sang ayah yang sudah jauh. Ting. Lift berdenting ketika keduanya tiba di lantai sepuluh di mana tempat tinggal Daryan berada. Sebuah penthouse mewah dengan interior mahal di setiap sudut ruangan. Warna catnya putih gading yang memberi kesan elegan dan glamor. “Wah ... ternyata di dalam ga kalah bagus, dilihat dari luar aja udah mewah,” gumam Savana berdiri di tengah-tengah ruangan sambil berputar menatap ke sekeliling penthousephentouse. “Ada dapur, balkon luas, ada bar mini juga. Eh, ada ruang gym mini,” Savana terus mondar mandir dan heboh sendiri karna ketakjubannya, “Mas Daryan tinggal disini sendirian, ya?” tanyanya pada sang suami. Daryan yang berdiri di belakangnya dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana lantas mengangguk singkat, matanya tak lepas dari Savana yang sejak tadi terus memuja penthousephentouse-nya. “Savana ...,” panggil Daryan pada gadis yang sudah sah menjadi istrinya itu, Savana yang sibuk sendiri memandangi setiap benda mati seharga puluhan juta itu lantas menoleh. “Kamar kamu sebelah sana,” lanjut Daryan menunjuk sudut ruangan. “Kamar aku?” Savana menunjuk dirinya sendiri bingung sebelum dia teringat akan isi kontrak pernikahan mereka. “Oh, iya.” Ia buru-buru mengangguk dan tersenyum kecil. “Maaf, aku hampir lupa mas kalau kita cuma nikah kontrak.” Daryan hanya tersenyum miring, “Hari ini saya maklumi, tapi ke depannya kamu harus ingat siapa kamu dan siapa saya. Ada batasan yang tidak boleh kamu langgar, intropeksi diri itu harus.” Savana menelan ludah mendengar ucapan sarkas Daryan, yang bisa dia lakukan hanyalah mengangguk. “Kalau begitu, selamat malam,” Daryan lantas berbalik badan hendak meninggalkan Savana dan masuk ke dalam kamarnya. Namun, baru saja dua langkah suara Savana menghentikan langkah kakinya. “Mas, malam pertamanya di kamar mas atau di kamar aku?” godanya seraya tersenyum kecil.Daryan masih berdiri mematung di depan lift yang baru saja tertutup, seolah jiwanya ikut terkunci di balik pintu logam itu. Napasnya berat, bahunya turun naik. Sementara itu, Hana perlahan menghampiri, diikuti Ameer yang menatap menantunya dengan rasa bersalah. “Daryan,” panggil Hana pelan, menyentuh lengannya dengan hati-hati. Pria itu menunduk, tak mampu menatap siapa pun. “Savana ... bahkan gak mau lihat saya, Ma. Dia bener-bener marah sama saya.” Hana menggenggam lengan Daryan lebih erat, lalu memaksanya menatapnya. “Dengar, Nak. Savana bukan marah sama kamu. Dia cuma ... belum selesai berduka.” “Tapi saya suaminya. Saya yang seharusnya jadi tempat dia bersandar. Kenapa malah saya yang dia benci?” suara Daryan bergetar, mengandung luka yang dalam. Hana menatap Daryan dengan mata yang basah, tapi tetap tegar. “Karena kamu tempat paling aman buat dia, Daryan. Justru karena kamu yang paling dia percaya, makanya dia berani menunjukkan luka terdalamnya di depan kamu. Itu buka
Mobil Arfan melaju tenang di bawah langit malam yang mulai menghitam. Di dalam kabin, suasana cukup hening, hanya suara mesin mobil dan kendaraan lain. Savana duduk di kursi penumpang samping kemudi, memandang keluar jendela pada gedung-gedung tinggi dengan sorot mata kosong. Arfan meliriknya sejenak sebelum membuka percakapan dengan hati-hati. “Nyonya,” panggilnya pelan, matanya tetap fokus pada jalan raya di hadapannya. Savana menoleh, tapi sebelum Arfan membuka suara—ia lebih dulu memotongnya. “Jangan panggil saya Nyonya, dok. Panggil aja langsung nama saya, Savana.” Arfan tersenyum kecil. “Tapi itu tidak sopan bagi saya, karena Anda kan—“ “Jika saya minta seperti itu, tolong dilakukan ya, dok? Saya gak memberi perintah, saya cuma minta aja.” Ucap Savana tegas. Arfan hanya mengangguk singkat, “Baiklah, Savana. Saya cuma mau tanya, kalau boleh tahu ... bagaimana kondisi Anda sekarang? Maksud saya, secara emosi ... keseharian? Sejak Anda meninggalkan rumah sakit kemarin
Sore itu sebuah taksi berhenti di depan pemakaman elit di pusat kota. Seorang wanita bertubuh mungil turun dengan pelan, mengenakan setelan hitam sederhana dan kacamata hitam yang menutupi matanya yang sembab. Di tangannya, sebuket bunga lili putih tergenggam erat. Savana melangkah perlahan menyusuri jalan setapak yang basah oleh embun sore. Angin berembus lembut, seakan menyambutnya dalam keheningan yang menyayat. Sesampainya di makam yang masih tampak baru, Savana berjongkok perlahan. Matanya menatap nama kecil yang terukir di nisan itu—nama yang bahkan belum sempat dipanggil dengan suara keras, belum sempat dirayakan dengan pelukan hangat. “Maaf, Nak. Mama baru bisa dateng sekarang,” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Tangannya gemetar saat meletakkan bunga di atas tanah makam. Air mata yang sejak tadi ditahan, akhirnya jatuh perlahan dari sudut mata. Bahunya mulai terguncang, isaknya pecah, seakan semua luka yang ia tahan selama ini tumpah bersama tanah yang diam. “Ka
Jam di dinding kamar bernuansa putih gading milik Savana menunjukkan pukul dua dini hari. Savana masih terjaga. Duduk di ranjang dengan bantal di pangkuannya. Kamarnya gelap, hanya diterangi lampu temaram dari nakas. Tirai jendela berkibar pelan, diterpa angin malam dari celah kecil yang sengaja dibuka. Matanya kosong. Wajahnya pucat. Bibirnya kering. Tangannya perlahan menekan perutnya yang kini datar. Tak ada lagi jejak kehidupan di sana. Tiba-tiba… Tangis bayi menggema di telinganya. Samar, lalu makin jelas. Tangisan itu menusuk. Membelah udara malam yang sepi. Dan seperti biasa—itu hanya ada di kepalanya. Savana membekap mulutnya. Dadanya naik-turun. Tubuhnya bergetar hebat. “Anakku,” bisiknya, lirih sekali. “Maafin Mama. Maafin Mama, Nak.” Air matanya jatuh, membasahi bantal yang dipeluknya erat-erat. Ia memejamkan mata kuat-kuat, mencoba mengusir suara itu. Tapi tidak bisa. Tangis itu masih ada—bergaung dalam hatinya yang hancur. Ia bersandar ke dinding. Mena
“Aku gak akan pernah pulang ke sana, Mas. Gak akan,” suara Savana bergetar, menahan emosi. “Rumah itu ... cuma jadi pengingat kalau aku kehilangan segalanya.” Matanya berkaca-kaca. Daryan melangkah setengah maju, memohon lewat tatapannya. “Terus kamu mau tinggal di mana? Sendirian? Dalam keadaan kamu masih sakit kayak gini?” “Di mana pun,” jawab Savana tegas. “Yang penting, jauh dari kamu. Jauh dari semuanya.” “Kamu pikir aku bakal biarin kamu pergi gitu aja?” suara Daryan tajam, tapi bukan marah. Lebih ke panik. “Kamu masih istri aku, Savana. Aku bertanggung jawab atas kamu.” “Aku gak butuh tanggung jawab kamu,” bisik Savana, suaranya tajam. Daryan mengusap wajahnya dengan kasar. “Kalau kamu gak mau ke penthouse, oke. Kalau kamu gak mau ke rumah Mama, fine. Tapi aku gak akan biarin kamu tinggal di tempat yang bahkan gak jelas keamanannya.” Savana memalingkan wajah dari sang suami, menahan napas yang terasa sesak di dadanya. “Aku akan cari rumah baru buat kamu. Tempat ya
Lampu ruang rawat inap Savana malam itu diredupkan. Hanya cahaya dari dinding pojok yang masih menyala temaram, menampakkan siluet tubuh Savana yang terbaring membelakangi pintu. Jantungnya berdetak pelan tapi berat, seperti menahan banyak beban yang belum bisa dibicarakan, apalagi dilepaskan. Ia mendengar suara pintu terbuka. Pelan. Tak terburu-buru. Langkah kaki yang sudah begitu dikenalnya masuk ke dalam. Hati Savana mencelos. Tapi ia tetap memejamkan mata rapat-rapat, memilih diam dan membiarkan napasnya tetap berirama seolah sedang tertidur. Daryan mendekat. Suara kursi digeser perlahan. Lalu deru napas lelaki itu terdengar begitu dekat di sisi tempat tidur. Cukup lama ia hanya duduk tanpa suara. Hingga akhirnya, terdengar gumaman lirih. “Aku tahu kamu belum bisa maafin aku. Dan kamu berhak untuk itu,” suaranya pelan, penuh sesal. Savana tetap diam, menggigit bibirnya kuat agar tak bersuara. Tapi ia tetap memilih pura-pura terlelap. “Aku salah, aku terlalu percaya s