LOGIN“Istri kamu cantik banget, Dar.” Revanza berbisik ke telinga Daryan ketika dia menghampiri temannya itu.
Daryan tak menoleh, namun dia menjawab dingin. “Karna make-up.” “Ga juga, aku sempat lihat dia sebelum make-up emang udah cantik. Bahkan lebih cantik sebelum make-up, terlihat lebih natural. Coba lihat, kamu dari tadi ga ada ngelirik istri kamu,” suruhnya pelan. Daryan menghela nafas ringan, perlahan kepalanya berputar melirik Savana yang duduk seorang diri di kursi pelaminan sambil menyambut para tamu yang hadir bersama Ajeng. Gadis cantik dengan balutan kebaya putih itu terlihat murung, matanya menatap lurus ke satu sosok wanita paruh baya yang duduk bersama tamu lain—wanita itu Hana, ibunya. “Kenapa dia?” gumam Daryan dalam hati, ia lalu melirik Revanza. “Aku ke sana dulu.” Ia menunjuk ke arah Savana. Revanza langsung tersenyum mengejek. “Kan, apa aku bilang. Istri kamu cantik banget. Kamu baru sadar, kan?” Daryan tak merespon, pria itu terus melangkah menghampiri Savana yang menjadi perintilan sang ibu untuk diperkenalkan pada tamu-tamu penting keluarganya. “Senyum,” bisik Daryan di telinga Savana membuat gadis itu menoleh kaget. “P-pak Daryan?” serunya pelan. “Jangan mempermalukan saya, Savana. Lakukan tugasmu dengan benar, senyum jangan cemberut. Raut wajah kamu memperlihatkan seolah pernikahan ini pernikahan paksa, dan saya seperti pedofil yang menikahi anak di bawah umur dan dijual ayahnya untuk bayar hutang.” Savana semakin memanyunkan bibirnya karna kesal dengan ucapan Daryan. Ia hendak merespon tapi sebelum sempat membuka suara, Ajeng lebih dulu berbicara pada putranya. “Daryan, setelah acara ini kamu pulang ke rumah atau—“ “Tempat tinggal aku,” potong Daryan cepat. “Kenapa?” Ajeng menghela nafas pendek. “Tidak apa-apa,” ia mengulas senyum terbaiknya meski merasa kesal dengan sikap putranya yang tak ubah sejak dulu—dingin dan irit bicara. “Ingat, setelah menikah jangan sampai kamu ga jenguk-jenguk Mama,” tatapannya melirik Savana sinis. Savana langsung mengalihkan tatapannya ke arah lain, kembali menatap Hana yang sejak terakhir kali tersenyum padanya sebelum ijab qabul dan setelahnya tidak lagi melirik padanya apalagi tersenyum. “Kamu dengar kan, Nak?” tanya Ajeng, tatapannya tajam pada putranya yang menatap Savana sejak tadi. “Daryan ....” panggilnya lagi. “Hm,” sahut Daryan singkat. Ajeng menggeleng kecil melihat putranya yang bahkan tak melirik padanya sedikit pun, matanya tak lepas dari Savana sejak tadi tanpa berkedip. Ternyata fakta Daryan mencintai Savana benar adanya, pikir Ajeng. “Ya sudah, kalau begitu Mama ke sana dulu,” Ajeng bersuara lagi sebelum meninggalkan keduanya. “Savana ...,” Daryan kembali bersuara membuat gadis itu menoleh. “Senyum,” perintahnya dingin. Savana langsung mengulas senyum terbaiknya dengan malas, tapi sialnya Daryan malah terpaku pada lesung pipi gadis itu saat tersenyum. Kecantikan Savana bertambah berkali-kali lipat ketika tersenyum. Daryan berdehem pelan dan segera mengalihkan pandangan ke arah lain, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Kenapa sejak tadi kamu melihat Mama kamu?” tanyanya. Senyum Savana langsung sirna ketika Daryan bertanya soal ibunya. “Itu ...,” matanya langsung menangkap sosok Hana yang masih sibuk bicara dengan para tamu. “Aku ngerasa bersalah sama Mama, karna ga—“ “Jangan bilang Mama kamu tidak tahu apa-apa soal pernikahan ini?” potong Daryan dingin. Savana mengangguk pelan, raut wajahnya yang murung menjelaskan semuanya. “Papa kamu tidak memberitahunya?” Gadis itu mengangguk, matanya menatap pada sosok sang ibu, raut wajahnya menjelaskan semuanya. Rahang Daryan langsung mengeras, sebelum akhirnya dia bergerak menghampiri Hana. “Pak Daryan, mau ke mana?” suaranya terdengar mendesak ketika Daryan tiba-tiba meninggalkannya tanpa sepatah kata pun. Langkah kaki Daryan yang tegas dan pasti, mengantarnya menuju tempat Hana yang tengah bercengkerama dengan tamu lain. Daryan memberikan senyuman singkat kepada beberapa tamu, sebelum matanya bertemu dengan mata Hana yang lembut. “Ma,” suara Daryan memecah keheningan membuat Hana segera bangkit dari duduknya. “Mama sakit?” Hana, dengan cepat menggeleng. Senyum tipisnya berusaha menutupi kegundahan. “Tidak, saya baik-baik saja kok. Ada apa, Nak Daryan mendekat ke sini?” “Sebelumnya saya tidak sempat berkenalan dengan Mama, jadi saya pikir ini waktu yang tepat untuk lebih mendekatkan diri kepada Mama mertua saya.” Mendengar itu, senyum hangat mengembang di wajah Hana. Rasa terharu bercampur gembira meliputi dirinya, berpadu dengan kelegaan. “Saya senang mendengar itu, saya kira kamu tipikal orang yang tidak suka mengobrol dengan sembarangan orang,” ujarnya dengan rasa hormat, mengingat dari awal dia berpikir Daryan sosok yang tertutup dan misterius. Daryan terpaku. “Tidak mungkin saya bersikap acuh tak acuh pada Mama mertua saya sendiri,” suaranya menahan gelombang emosi yang mengombak. “Kalau begitu, ada yang mau Mama bilang sama saya?” Hana mengangguk cepat—seolah menyimpan beban yang selama ini terpendam rapat. “Banyak yang ingin saya katakan, terutama soal Savana. Pernikahan ini terlalu mendadak, saya belum mengenal kamu dengan baik. Tapi satu yang saya tahu pasti, saya mengenal Savana lebih dari siapa pun.” Di tempatnya, Savana berdiri terpaku, pikirannya penuh tanda tanya. Matanya menangkap setiap senyum yang terlempar di antara Daryan dan ibunya. Ia semakin penasaran—apa yang sedang mereka bicarakan? Hana menatap Daryan dengan sorot penuh harap. “Nak, saya titip anak saya satu-satunya sama kamu. Jaga dia dengan baik ... bimbing saat dia salah. Savana masih remaja, masih harus belajar banyak hal. Tolong, jangan biarkan dia terjatuh sendiri.” Daryan menghela napas dalam, menatap Hana dengan tatapan hangat. “Saya mengerti, Ma,” jawabnya singkat. “Mungkin umur saya ngga akan lama lagi, saya punya penyakit jantung. Tidak ada yang bisa nebak umur manusia kapan. Tapi kalau boleh saya minta, saya pengen lihat anak kalian lahir ke dunia walaupun sebentar.” Bola mata Daryan melebar mendadak, jantungnya berhenti berdetak mendengar kata-kata terakhir Hana yang begitu mengejutkan. Wanita paruh baya itu meraih tangan Daryan dan menggenggamnya erat. Matanya bekaca-kaca, menatap Daryan dengan tatapan penuh harap. "Kamu bisa, kan ... berjanji untuk menepati permintaan terakhir saya?" Daryan terdiam. Nafasnya tertahan, suaranya nyaris menghilang sebelum akhirnya menjawab dengan suara yang bergetar, "Saya—"“Apa, Mas?!” Savana berseru kaget, ketika sang suami menginfokan kalau ibu kandung Darell telah dipindahkan tempat persembunyian oleh Sagara. “Darell tahu?” Savana bertanya, menatap sang suami yang duduk di sebelahnya dengan serius. Saat itu, mereka berdua makan malam bersama. Hanya berdua, karena Darell dan Elvara pergi honeymoon ke Maldives. “Tentu saja Darell tidak tahu,” kata Daryan dengan suara tenang. “Aku tidak mau dia kepikiran, dan rencana liburannya jadi ditunda.” “Bener juga sih, Mas.” Savana menunduk sejenak, menatap makanan yang sudah berkurang sedikit. “Kasihan banget, ya? Aku malah jadi bayangin posisi Darell jadi posisi Elvano.” Daryan seketika melayangkan tatapan dingin pada sang istri. “Selama ada aku, kamu gak akan ngerasain hal kayak gitu, sayang.” “Iya, Mas. Aku percaya.” Savana menyahutnya dengan senyuman kecil, lalu kembali fokus. “Tapi
“Sayang, masih lama ya mau sampe?” tanya Elvara yang tengah bergelayut di lengan kekar sang suami yang duduk di samping jendela. Darell melirik sang istri dengan senyum kecil. “Sebentar lagi. Kamu tidur saja, nanti saya bangunkan kalau sudah sampai.” “Tapi aku baru bangun. Kamu malah suruh aku tidur lagi,” gadis itu mendongak, sementara bibirnya mencebik gemas membuat sang suami terkekeh pelan. “Ya udah, kalau gitu ngobrol hal random aja,” kata Darell pada akhirnya. Keduanya mulai mengobrol soal keindahan Maldives. Yang ternyata Darell sudah pernah ke sana, sedangkan Elvara baru pertama kali dan perginya bersama sang suami. Pesawat akhirnya mulai menurunkan ketinggian setelah lima jam perjalanan, terdengar suara lembut pramugari yang mengingatkan para penumpang untuk mengenakan sabuk pengaman. Dari jendela, hamparan laut biru kehijauan mulai tampak di bawah s
Satu minggu berlalu, dan hari ini Darell dan Elvara akan pergi liburan—lebih tepatnya honeymoon yang pernah tertunda. Tentu saja ke Maldives. Tempat yang sangat cocok untuk dijadikan tempat liburan sekaligus honeymoon berdua. “Siap, sunshine?” tanya Darell sembari mengancing kemejanya. Tatapannya lurus pada sang istri yang masih sibuk merias wajah. “Belum, sebentar lagi,” jawab Elvara singkat, tanpa menoleh. Darell tersenyum kecil, menghampiri istrinya dan berdiri di belakang punggung Elvara. “Sudah cantik,” puji Darell tulus. “Oh ya? Masa?” balas sang istri dengan nada menggoda, sambil tangannya memperbaiki tatanan rambutnya. Darell tanpa aba-aba langsung memeluk sang istri dari belakang, dan mengecup pipinya lembut. “Sudah cantik, sangat cantik, dan paling cantik,” bisik Darell pelan. Elvara men
Malam itu, Amel yang sebenarnya mulai tidak nyaman tinggal di rumah Sagara memutuskan untuk pergi malam ini juga. Namun gadis itu bingung harus mengatakan bagaimana. Bukan karena tidak ada Darell di sana, tapi dia kurang menyukai Sagara setelah insiden Darell. Apalagi, ternyata pria itu tidak benar-benar lumpuh. Entah apa tujuan pria itu pura-pura sakit dan harus menggunakan kursi roda. Saat makan malam bersama, Amel ingin menyampaikan hal tersebut. Tapi entah kenapa lidahnya mendadak kelu, tak bisa mengatakan apa-apa. “Mel ....” Sagara memanggil, membuat Amel tersentak kaget dan langsung menatap pria itu dengan bola mata membulat. “I-iya, kak?” sahutnya gelagapan. “Dari tadi kamu sepertinya sedang memikirkan sesuatu yang rumit. Apa kira-kira?” tanya Sagara dengan suara beratnya. Amel menggeleng cepat. “Nggak, kok.” S
“Adik Anda sejak pagi tadi, sekitar pukul enam, sampai sekarang masih berada di rumah Tuan Daryan,” lapor Aksa hati-hati, menunduk dalam di hadapan majikannya. Sagara, yang duduk di balik meja kerjanya, menghentikan sejenak ketikan di papan komputer. Jemarinya yang tadi lincah kini terdiam. Pandangannya menajam pada layar monitor, lalu bergeser perlahan ke arah Aksa. “Masih di sana?” suaranya tenang, tapi dingin—terlalu tenang sampai membuat udara di ruangan terasa menekan. Aksa mengangguk cepat. “Iya, Tuan. Bahkan—” ia menelan ludah gugup, “—Tuan Darell juga masih di sana.” Sudut bibir Sagara terangkat miring, membentuk senyum yang sulit diartikan. Ia memutar cincin di jari telunjuknya pelan. “Bagus,” gumamnya rendah. “Biarkan mereka menikmati ketenangan sementara, sebelum badai berikutnya datang.” Aksa kembali mengangguk. “Ada yang haru
“Pa-palsu? Palsu gimana maksud kamu?” bola mata Elvara membulat kaget. “Iya, surat itu palsu,” Darell bangkit dari duduknya. “Segera gunakan pakaian kamu, jangan buat Papa sama Mama nunggu kelamaan untuk sarapan.” Setelah mengatakan itu, Darell meninggalkan kamar Elvara—membuat sang istri penasaran setengah mati maksud dari perkataan Darell. Setengah jam kemudian, Elvara keluar dari kamarnya setelah berganti pakaian dan sisa waktunya dihabiskan untuk menimbang—apakah harus keluar kamar atau tidak. Dan ketika dirinya tiba di meja makan. Di sana kedua orang tuanya, Daryan dan Savana sudah duduk menunggu. Sedangkan sang suami— “Sudah selesai, El?” Darell muncul dari balik punggung Elvara, langkahnya tenang namun cukup membuat gadis itu menoleh kaget. Tanpa banyak bicara, ia langsung menarik salah satu kursi di meja makan. “Silakan duduk,” uc







