Home / Rumah Tangga / Dipaksa Nikah, Malah Kecanduan / BAB 07 : MENGINGINKAN ANAK

Share

BAB 07 : MENGINGINKAN ANAK

Author: Langit Parama
last update Last Updated: 2025-06-02 09:59:00

“Istri kamu cantik banget, Dar.” Revanza berbisik ke telinga Daryan ketika dia menghampiri temannya itu.

Daryan tak menoleh, namun dia menjawab dingin. “Karna make-up.”

“Ga juga, aku sempat lihat dia sebelum make-up emang udah cantik. Bahkan lebih cantik sebelum make-up, terlihat lebih natural. Coba lihat, kamu dari tadi ga ada ngelirik istri kamu,” suruhnya pelan.

Daryan menghela nafas ringan, perlahan kepalanya berputar melirik Savana yang duduk seorang diri di kursi pelaminan sambil menyambut para tamu yang hadir bersama Ajeng.

Gadis cantik dengan balutan kebaya putih itu terlihat murung, matanya menatap lurus ke satu sosok wanita paruh baya yang duduk bersama tamu lain—wanita itu Hana, ibunya.

“Kenapa dia?” gumam Daryan dalam hati, ia lalu melirik Revanza. “Aku ke sana dulu.” Ia menunjuk ke arah Savana.

Revanza langsung tersenyum mengejek. “Kan, apa aku bilang. Istri kamu cantik banget. Kamu baru sadar, kan?”

Daryan tak merespon, pria itu terus melangkah menghampiri Savana yang menjadi perintilan sang ibu untuk diperkenalkan pada tamu-tamu penting keluarganya.

“Senyum,” bisik Daryan di telinga Savana membuat gadis itu menoleh kaget.

“P-pak Daryan?” serunya pelan.

“Jangan mempermalukan saya, Savana. Lakukan tugasmu dengan benar, senyum jangan cemberut. Raut wajah kamu memperlihatkan seolah pernikahan ini pernikahan paksa, dan saya seperti pedofil yang menikahi anak di bawah umur dan dijual ayahnya untuk bayar hutang.”

Savana semakin memanyunkan bibirnya karna kesal dengan ucapan Daryan. Ia hendak merespon tapi sebelum sempat membuka suara, Ajeng lebih dulu berbicara pada putranya.

“Daryan, setelah acara ini kamu pulang ke rumah atau—“

“Tempat tinggal aku,” potong Daryan cepat. “Kenapa?”

Ajeng menghela nafas pendek. “Tidak apa-apa,” ia mengulas senyum terbaiknya meski merasa kesal dengan sikap putranya yang tak ubah sejak dulu—dingin dan irit bicara. “Ingat, setelah menikah jangan sampai kamu ga jenguk-jenguk Mama,” tatapannya melirik Savana sinis.

Savana langsung mengalihkan tatapannya ke arah lain, kembali menatap Hana yang sejak terakhir kali tersenyum padanya sebelum ijab qabul dan setelahnya tidak lagi melirik padanya apalagi tersenyum.

“Kamu dengar kan, Nak?” tanya Ajeng, tatapannya tajam pada putranya yang menatap Savana sejak tadi. “Daryan ....” panggilnya lagi.

“Hm,” sahut Daryan singkat.

Ajeng menggeleng kecil melihat putranya yang bahkan tak melirik padanya sedikit pun, matanya tak lepas dari Savana sejak tadi tanpa berkedip. Ternyata fakta Daryan mencintai Savana benar adanya, pikir Ajeng.

“Ya sudah, kalau begitu Mama ke sana dulu,” Ajeng bersuara lagi sebelum meninggalkan keduanya.

“Savana ...,” Daryan kembali bersuara membuat gadis itu menoleh. “Senyum,” perintahnya dingin.

Savana langsung mengulas senyum terbaiknya dengan malas, tapi sialnya Daryan malah terpaku pada lesung pipi gadis itu saat tersenyum. Kecantikan Savana bertambah berkali-kali lipat ketika tersenyum.

Daryan berdehem pelan dan segera mengalihkan pandangan ke arah lain, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Kenapa sejak tadi kamu melihat Mama kamu?” tanyanya.

Senyum Savana langsung sirna ketika Daryan bertanya soal ibunya. “Itu ...,” matanya langsung menangkap sosok Hana yang masih sibuk bicara dengan para tamu. “Aku ngerasa bersalah sama Mama, karna ga—“

“Jangan bilang Mama kamu tidak tahu apa-apa soal pernikahan ini?” potong Daryan dingin.

Savana mengangguk pelan, raut wajahnya yang murung menjelaskan semuanya.

“Papa kamu tidak memberitahunya?”

Gadis itu mengangguk, matanya menatap pada sosok sang ibu, raut wajahnya menjelaskan semuanya. Rahang Daryan langsung mengeras, sebelum akhirnya dia bergerak menghampiri Hana.

“Pak Daryan, mau ke mana?” suaranya terdengar mendesak ketika Daryan tiba-tiba meninggalkannya tanpa sepatah kata pun.

Langkah kaki Daryan yang tegas dan pasti, mengantarnya menuju tempat Hana yang tengah bercengkerama dengan tamu lain. Daryan memberikan senyuman singkat kepada beberapa tamu, sebelum matanya bertemu dengan mata Hana yang lembut.

“Ma,” suara Daryan memecah keheningan membuat Hana segera bangkit dari duduknya. “Mama sakit?”

Hana, dengan cepat menggeleng. Senyum tipisnya berusaha menutupi kegundahan. “Tidak, saya baik-baik saja kok. Ada apa, Nak Daryan mendekat ke sini?”

“Sebelumnya saya tidak sempat berkenalan dengan Mama, jadi saya pikir ini waktu yang tepat untuk lebih mendekatkan diri kepada Mama mertua saya.”

Mendengar itu, senyum hangat mengembang di wajah Hana. Rasa terharu bercampur gembira meliputi dirinya, berpadu dengan kelegaan. “Saya senang mendengar itu, saya kira kamu tipikal orang yang tidak suka mengobrol dengan sembarangan orang,” ujarnya dengan rasa hormat, mengingat dari awal dia berpikir Daryan sosok yang tertutup dan misterius.

Daryan terpaku. “Tidak mungkin saya bersikap acuh tak acuh pada Mama mertua saya sendiri,” suaranya menahan gelombang emosi yang mengombak. “Kalau begitu, ada yang mau Mama bilang sama saya?”

Hana mengangguk cepat—seolah menyimpan beban yang selama ini terpendam rapat. “Banyak yang ingin saya katakan, terutama soal Savana. Pernikahan ini terlalu mendadak, saya belum mengenal kamu dengan baik. Tapi satu yang saya tahu pasti, saya mengenal Savana lebih dari siapa pun.”

Di tempatnya, Savana berdiri terpaku, pikirannya penuh tanda tanya. Matanya menangkap setiap senyum yang terlempar di antara Daryan dan ibunya. Ia semakin penasaran—apa yang sedang mereka bicarakan?

Hana menatap Daryan dengan sorot penuh harap. “Nak, saya titip anak saya satu-satunya sama kamu. Jaga dia dengan baik ... bimbing saat dia salah. Savana masih remaja, masih harus belajar banyak hal. Tolong, jangan biarkan dia terjatuh sendiri.”

Daryan menghela napas dalam, menatap Hana dengan tatapan hangat. “Saya mengerti, Ma,” jawabnya singkat.

“Mungkin umur saya ngga akan lama lagi, saya punya penyakit jantung. Tidak ada yang bisa nebak umur manusia kapan. Tapi kalau boleh saya minta, saya pengen lihat anak kalian lahir ke dunia walaupun sebentar.”

Bola mata Daryan melebar mendadak, jantungnya berhenti berdetak mendengar kata-kata terakhir Hana yang begitu mengejutkan. Wanita paruh baya itu meraih tangan Daryan dan menggenggamnya erat. Matanya bekaca-kaca, menatap Daryan dengan tatapan penuh harap.

"Kamu bisa, kan ... berjanji untuk menepati permintaan terakhir saya?"

Daryan terdiam. Nafasnya tertahan, suaranya nyaris menghilang sebelum akhirnya menjawab dengan suara yang bergetar, "Saya—"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Soes Susiani
Nah bagaimana tu Daryan, bu Hana minta cucu...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dipaksa Nikah, Malah Kecanduan   BAB 196 : DARYAN CEMBURU?!

    Daryan masih berdiri mematung di depan lift yang baru saja tertutup, seolah jiwanya ikut terkunci di balik pintu logam itu. Napasnya berat, bahunya turun naik. Sementara itu, Hana perlahan menghampiri, diikuti Ameer yang menatap menantunya dengan rasa bersalah. “Daryan,” panggil Hana pelan, menyentuh lengannya dengan hati-hati. Pria itu menunduk, tak mampu menatap siapa pun. “Savana ... bahkan gak mau lihat saya, Ma. Dia bener-bener marah sama saya.” Hana menggenggam lengan Daryan lebih erat, lalu memaksanya menatapnya. “Dengar, Nak. Savana bukan marah sama kamu. Dia cuma ... belum selesai berduka.” “Tapi saya suaminya. Saya yang seharusnya jadi tempat dia bersandar. Kenapa malah saya yang dia benci?” suara Daryan bergetar, mengandung luka yang dalam. Hana menatap Daryan dengan mata yang basah, tapi tetap tegar. “Karena kamu tempat paling aman buat dia, Daryan. Justru karena kamu yang paling dia percaya, makanya dia berani menunjukkan luka terdalamnya di depan kamu. Itu buka

  • Dipaksa Nikah, Malah Kecanduan   BAB 195 : DIANTAR ARFAN

    Mobil Arfan melaju tenang di bawah langit malam yang mulai menghitam. Di dalam kabin, suasana cukup hening, hanya suara mesin mobil dan kendaraan lain. Savana duduk di kursi penumpang samping kemudi, memandang keluar jendela pada gedung-gedung tinggi dengan sorot mata kosong. Arfan meliriknya sejenak sebelum membuka percakapan dengan hati-hati. “Nyonya,” panggilnya pelan, matanya tetap fokus pada jalan raya di hadapannya. Savana menoleh, tapi sebelum Arfan membuka suara—ia lebih dulu memotongnya. “Jangan panggil saya Nyonya, dok. Panggil aja langsung nama saya, Savana.” Arfan tersenyum kecil. “Tapi itu tidak sopan bagi saya, karena Anda kan—“ “Jika saya minta seperti itu, tolong dilakukan ya, dok? Saya gak memberi perintah, saya cuma minta aja.” Ucap Savana tegas. Arfan hanya mengangguk singkat, “Baiklah, Savana. Saya cuma mau tanya, kalau boleh tahu ... bagaimana kondisi Anda sekarang? Maksud saya, secara emosi ... keseharian? Sejak Anda meninggalkan rumah sakit kemarin

  • Dipaksa Nikah, Malah Kecanduan   BAB 194 : PEMAKAMAN ELIT

    Sore itu sebuah taksi berhenti di depan pemakaman elit di pusat kota. Seorang wanita bertubuh mungil turun dengan pelan, mengenakan setelan hitam sederhana dan kacamata hitam yang menutupi matanya yang sembab. Di tangannya, sebuket bunga lili putih tergenggam erat. Savana melangkah perlahan menyusuri jalan setapak yang basah oleh embun sore. Angin berembus lembut, seakan menyambutnya dalam keheningan yang menyayat. Sesampainya di makam yang masih tampak baru, Savana berjongkok perlahan. Matanya menatap nama kecil yang terukir di nisan itu—nama yang bahkan belum sempat dipanggil dengan suara keras, belum sempat dirayakan dengan pelukan hangat. “Maaf, Nak. Mama baru bisa dateng sekarang,” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Tangannya gemetar saat meletakkan bunga di atas tanah makam. Air mata yang sejak tadi ditahan, akhirnya jatuh perlahan dari sudut mata. Bahunya mulai terguncang, isaknya pecah, seakan semua luka yang ia tahan selama ini tumpah bersama tanah yang diam. “Ka

  • Dipaksa Nikah, Malah Kecanduan   BAB 193 : BERHALUSINASI

    Jam di dinding kamar bernuansa putih gading milik Savana menunjukkan pukul dua dini hari. Savana masih terjaga. Duduk di ranjang dengan bantal di pangkuannya. Kamarnya gelap, hanya diterangi lampu temaram dari nakas. Tirai jendela berkibar pelan, diterpa angin malam dari celah kecil yang sengaja dibuka. Matanya kosong. Wajahnya pucat. Bibirnya kering. Tangannya perlahan menekan perutnya yang kini datar. Tak ada lagi jejak kehidupan di sana. Tiba-tiba… Tangis bayi menggema di telinganya. Samar, lalu makin jelas. Tangisan itu menusuk. Membelah udara malam yang sepi. Dan seperti biasa—itu hanya ada di kepalanya. Savana membekap mulutnya. Dadanya naik-turun. Tubuhnya bergetar hebat. “Anakku,” bisiknya, lirih sekali. “Maafin Mama. Maafin Mama, Nak.” Air matanya jatuh, membasahi bantal yang dipeluknya erat-erat. Ia memejamkan mata kuat-kuat, mencoba mengusir suara itu. Tapi tidak bisa. Tangis itu masih ada—bergaung dalam hatinya yang hancur. Ia bersandar ke dinding. Mena

  • Dipaksa Nikah, Malah Kecanduan   BAB 192 : APARTEMEN BARU

    “Aku gak akan pernah pulang ke sana, Mas. Gak akan,” suara Savana bergetar, menahan emosi. “Rumah itu ... cuma jadi pengingat kalau aku kehilangan segalanya.” Matanya berkaca-kaca. Daryan melangkah setengah maju, memohon lewat tatapannya. “Terus kamu mau tinggal di mana? Sendirian? Dalam keadaan kamu masih sakit kayak gini?” “Di mana pun,” jawab Savana tegas. “Yang penting, jauh dari kamu. Jauh dari semuanya.” “Kamu pikir aku bakal biarin kamu pergi gitu aja?” suara Daryan tajam, tapi bukan marah. Lebih ke panik. “Kamu masih istri aku, Savana. Aku bertanggung jawab atas kamu.” “Aku gak butuh tanggung jawab kamu,” bisik Savana, suaranya tajam. Daryan mengusap wajahnya dengan kasar. “Kalau kamu gak mau ke penthouse, oke. Kalau kamu gak mau ke rumah Mama, fine. Tapi aku gak akan biarin kamu tinggal di tempat yang bahkan gak jelas keamanannya.” Savana memalingkan wajah dari sang suami, menahan napas yang terasa sesak di dadanya. “Aku akan cari rumah baru buat kamu. Tempat ya

  • Dipaksa Nikah, Malah Kecanduan   BAB 191 : KEDATANGAN DARYAN

    Lampu ruang rawat inap Savana malam itu diredupkan. Hanya cahaya dari dinding pojok yang masih menyala temaram, menampakkan siluet tubuh Savana yang terbaring membelakangi pintu. Jantungnya berdetak pelan tapi berat, seperti menahan banyak beban yang belum bisa dibicarakan, apalagi dilepaskan. Ia mendengar suara pintu terbuka. Pelan. Tak terburu-buru. Langkah kaki yang sudah begitu dikenalnya masuk ke dalam. Hati Savana mencelos. Tapi ia tetap memejamkan mata rapat-rapat, memilih diam dan membiarkan napasnya tetap berirama seolah sedang tertidur. Daryan mendekat. Suara kursi digeser perlahan. Lalu deru napas lelaki itu terdengar begitu dekat di sisi tempat tidur. Cukup lama ia hanya duduk tanpa suara. Hingga akhirnya, terdengar gumaman lirih. “Aku tahu kamu belum bisa maafin aku. Dan kamu berhak untuk itu,” suaranya pelan, penuh sesal. Savana tetap diam, menggigit bibirnya kuat agar tak bersuara. Tapi ia tetap memilih pura-pura terlelap. “Aku salah, aku terlalu percaya s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status