“Nyonya Ajeng, bagaimana dengan keadaan Ibu?” tanya Minah dengan penuh kehati-hatian, meski matanya sudah menangkap luka di pelipis majikannya itu—jelas Ajeng sedang tidak baik-baik saja. “Ngapain kamu ke sini?” tanya Ajeng dengan nada sinis. Minah hanya mengulas senyum tipis, tak tersinggung dengan nada bicara majikannya karena sudah terbiasa. “Saya anter makanan rumahan, Nyonya. Siapa tahu Nyonya kepengen makanan rumahan.” “Apa Savana yang suruh kamu? Atau ….” Ajeng menggantung ucapannya, tak mungkin Daryan pikirnya. “Iya, saya datang karena diminta Non Savana buat anterin makanan rumahan selama Non Savana gak ada,” jelas Mina dengan suara lembut. Ajeng langsung membulatkan matanya kaget, “Memangnya Savana ke mana?” “Tuan Daryan sama Non Savana tadi pagi berangkat ke luar negeri Nyonya, katanya mau bulan madu yang sempat tertunda dulu,” jawab Minah. Berita itu seperti tamparan pelan di wajah Ajeng. Matanya masih membulat, mulutnya setengah terbuka menahan keterkejutan.
Langkah kaki Ajeng terdengar berat saat dua sipir perempuan menggiringnya menuju ruang telepon. Tangannya masih diborgol, walau dengan posisi lebih longgar dari biasanya. Luka di pelipisnya sudah dibersihkan seadanya, tapi rasa perihnya masih terasa, jauh lebih dalam dari sekadar luka fisik. “Telepon cuma lima menit. Jangan macam-macam,” ujar salah satu sipir sebelum membuka borgol dan menyerahkan gagang telepon ke tangannya. Ajeng mengangguk lemah. Suaranya tak keluar. Ia hanya menunduk dan meraih kertas kecil yang diberikan oleh petugas administrasi kemarin—tertulis nama Savana, lengkap dengan nomor teleponnya. Savana satu-satunya orang yang mungkin masih peduli. Atau setidaknya kemarin wanita itu berjanji akan datang jika dia membutuhkannya. Dengan jari gemetar, Ajeng memencet nomor itu satu per satu. Setiap digit terasa seperti menekan luka yang belum sembuh. Telepon memanggil—jantungnya berdetak sangat cepat, tak sabar panggilan itu segera dijawab. Namun … Sekali.
Pagi itu, halaman belakang Lembaga Pemasyarakatan Wanita terasa gerah meski matahari belum sepenuhnya naik. Barisan tahanan berjajar mengenakan seragam oren pudar, tangan mereka sibuk dengan sapu lidi, sekop dan tong sampah. Di antara mereka, dua sosok berdiri dengan aura paling mencolok di antara tahanan yang lain—Ajeng dan Bella. Ajeng, dengan sorot mata tajam sedang menyapu area dekat taman kecil. Langkahnya pelan tapi mantap, seolah ia masih membawa kehormatan masa lalunya meski kini hidup di balik tembok jeruji. Dari sisi lain, Bella muncul dengan cara yang tak kalah dramatis. Langkahnya anggun, gerakan tangannya elegan, bahkan saat hanya membawa kain pel dan ember tua. Senyum sinis langsung mengembang di bibirnya ketika matanya menangkap siluet Ajeng. “Akhirnya setelah sekian lama tante dijenguk juga ya kemarin? Sama siapa? Daryan?” tanya Bella seraya mendekati Ajeng. Wanita paruh baya itu tak menoleh sedikitpun, seolah sengaja membiarkan Bella bicara sendiri seperti o
Di meja makan yang hangat dengan cahaya matahari siang menyusup dari jendela, sup ayam mengepul dalam mangkuk kaca. Sepiring nasi hangat dan potongan ayam goreng tersusun rapi di tengah meja. Daryan duduk dengan tenang, tangan kanannya memegang sendok, dan tatapannya sesekali jatuh pada Savana yang sibuk menuangkan air putih ke dalam gelas. “Aku ambilin sambal ya, Mas?” tawar Savana cepat, mencoba mengalihkan perhatian. Dia ingin menjaga suasana tetap normal. “Gak usah. Ini udah cukup,” jawab Daryan tenang. Ia menyendok sup dan meniupnya pelan, lalu mencicipi. “Enak.” Savana mengangguk. “Syukur deh … aku masaknya buru-buru tadi.” Dalam hati dia menambahkan, “Sambil diganggu kamu, dan gemeter karena ketahuan pergi gak bilang-bilang.” Daryan hanya mengangguk kecil. Tangannya teratur menyendok makanan ke mulut, sopan seperti biasa, tapi sorot matanya lebih mengamati. Beberapa detik mereka makan dalam diam. Hingga Daryan menaruh sendoknya perlahan di tepi piring, lalu bersan
Daryan duduk sendirian di ruang tengah rumah, bersandar santai di sofa panjang berlapis kulit, laptop terbuka di pangkuan. Layar itu menampilkan grafik, sinyal, dan bar audio yang terus bergerak, serta suara. Suara yang sangat ia kenal. Savana. Suara istrinya, yang sedang berbicara dengan seseorang di seberang sana. Daryan tak perlu menebak lama, karena tak butuh waktu lama hingga nama itu muncul. Ajeng. Ibunya. Tangannya mengepal perlahan di atas mouse. Rahangnya mengeras saat mendengar nada bicara Savana yang tenang—begitu tenang hingga membuat dada Daryan terasa sesak. Ia tak menyangka, Savana benar-benar ke sana. Benar-benar menjenguk Ajeng di penjara sendirian dan tak memberitahunya sedikit pun. Suara Savana terdengar lagi, jernih lewat mikrofon ponsel baru istrinya yang sudah dia sadap secara remote. “Karena aku pengen lihat, apa Mama masih bisa makan dengan tenang. Apa Mama sehat, apa Mama tidur nyenyak. Setelah yang semua Mama lakukan ke aku.” Daryan memejam
“Lalu, kalau kamu tidak ingin balas dendam. Kenapa kamu datang ke sini?” Ajeng bertanya dengan nada dingin. Savana hanya membalasnya dengan senyuman kecil. “Ada aku bilang kalau aku ke sini karena mau bales dendam?” Mata Ajeng langsung menyipit. “Terus kamu ngapain ke sini, sambil ungkit-ungkit kejadian itu lagi? Lalu kamu seolah menyindir saya begitu?” tatapannya jatuh pada kotak makanan yang dibawa Savana. “Apa itu ada racunnya?” “Aku minta maaf kalau ucapan aku menyinggung Mama. Aku gak ada niatan mau ngeracunin Mama juga, aku cuma mau kasih tahu kalau aku masih selamat dan … anak aku yang gak selamat,” ujarnya lirih, suaranya mengecil di akhir. Tubuh Ajeng langsung menegang, tangannya yang terletak di atas pangkuannya mengepal erat. “Mama tenang aja, aku gak nyalahin Mama kok,” lanjut Savana, “Dan aku dateng ke sini bukan Cuma mau jenguk Mama, bukan Cuma bawa makanan. Dan bukan juga … bales dendam.” Ajeng meremas tangannya kuat, “Lalu apa?” suaranya terdengar bergetar,