Jangan lupa dukung buku ini dan follow akun author, terima kasih🫶🏻🌸 Info visual tokoh Daryan dan Savana di ***: @langit_parama
Pagi itu, Daryan sudah rapi dengan setelan jas mahalnya, ia melangkah keluar kamar menuju dapur utama di mana semua masakan terhidang di atas meja. Ia menarik kursi di ujung meja dan menjatuhkan tubuh besarnya di sana, matanya melirik ke kursi sebelah kanan yang kosong. Kursi yang seharusnya ditempati Savana. "Di mana Savana, Minah?" Tanyanya pada Minah yang berdiri di ujung meja. "Masih di kamarnya, Tuan." Jawab Minah sopan. "Panggil dia, saya tidak punya banyak waktu menunggu dia selesai berdandan," katanya tajam, tangannya cekatan membalik piring dan mulai mengisi dengan nasi dan lauk-pauk. Minah dengan cepat melangkah menuju kamar Savana. Ia mengetuk pelan pintu kamar Savana. "Non, ditunggu sama Tuan Daryan di meja makan," kata Minah menyampaikan. Tak lama, pintu kamar Savana terbuka. Gadis itu sudah bersiap pergi, lengkap mengenakan almamater kebanggaan Universitas Nawasena. "Aku udah makan bi, sekarang aku langsung mau berangkat ke kampus. Buru-buru, takut telat
Savana melangkah masuk ke kamar dengan langkah berat lalu menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar, tapi di dalam kepalanya sangat berisik. Sikap Daryan hari ini menusuk hati Savana. Namun dia tahu, dia tidak punya kekuatan untuk melawan. Ikatan kontrak yang mengikat mereka seperti rantai besi yang mencekik, memaksa Savana diam dan pasrah ketika Daryan memperlakukannya layaknya debu yang diinjak. “Kenapa sih mbak Bella harus dateng pagi-pagi begini?!” Savana menggeram pelan, tangannya mencengkeram kasur hingga jari-jarinya menekan kain itu dengan marah. “Gara-gara dia juga, rencanaku jadi gagal!” Savana mengepalkan tinjunya, lalu memukul bantal dengan sangat kuat. Melampiaskan emosinya yang tal dapat dia luapkan secara langsung. Tok. Tok. Pintu diketuk pelan dari luar membuat Savana menoleh dengan mata menyipit, penuh curiga. Siapa yang berani mengganggunya saat seperti ini? Daryan? Ataukah Bella yang ternyata belum pulang? “Savana, buka p
"Ibu!" seru bocah kecil berusia sepuluh tahun pada ibunya yang baru saja berganti pakaian di kamar. "Ada apa, nak?" Minah cepat-cepat menyelesaikan memakai bajunya sebelum keluar kamar dan menghampiri sang anak. "Ada apa?" Bocah itu menunjuk mobil yang terparkir di depan rumahnya, "Ada mbak cantik cari ibu, katanya ada perlu penting." "Mbak cantik?" Minah mengerutkan keningnya bingung sebelum melangkahkan kakinya keluar dari rumah. Di depan sana mobil alphard hitam mewah terparkir. Minah menatapnya sejenak, mencoba mengingat siapa pemilik mobil itu. Dia mendekat dia kemudian mengetuk pelan pintu kaca mobil. Kaca mobil diturunkan dan menampilkan Bella dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Dari balik kacamata itu, dia menatap Minah dingin. "Mbak Bella?" Seru Minah yang memang sudah tahu sejak lama pada Bella. "Masuk, ada yang mau aku omongin penting dengan kamu," ucap Bella dengan nada penuh perintah. Ada jeda beberapa saat sebelum Minah akhirnya
Savana menghela napas pelan tapi panjang, seperti sedang menahan sesuatu yang hampir meledak. Ia menunduk sebentar lalu menatap Daryan dengan mata berkaca. “Maaf … saya lupa. Saya cuma orang asing di antara dua teman masa kecil yang istimewa.” Bella menyandarkan punggung ke kursi, tersenyum puas. "Nah, gitu dong. Jangan baperan, Van. Aku ke sini cuma bawa hadiah, bukan cari ribut." Savana tak menjawab. Ia membalikkan badan dan berjalan ke dapur. Tangannya gemetar saat menyalakan kompor, menuangkan air ke dalam ketel. Bahkan suara air mengalir dari teko pun terdengar pilu. Di ruang makan, Bella berdiri. Ia membuka paper bag-nya dan mengeluarkan kotak berukuran sedang berbungkus elegan. “Nih, buat kalian. Hadiah dari aku. Mahal, lho,” katanya sambil melirik Daryan, “Biar kamu inget siapa yang selalu ada buat kamu dari dulu.” Daryan tidak langsung merespons. Ia menatap kotak itu tanpa ekspresi sebelum mengambil kotak tersebut dan meletakkannya di ujung meja, jauh dari jangkauan sia
"Daryan!" Bella berseru dengan suara penuh semangat. Daryan menatapnya dengan alis berkerut, kebingungan menyelimuti raut wajahnya. "Ngapain kamu datang ke sini pagi-pagi begini?" Bella menyelinap masuk tanpa izin, pandangannya mengitari ruangan seperti mencari sosok lain penghuni penthouse itu. "Aku ... aku bawa hadiah buat istri kamu, Dar." "Hadiah?" Daryan mengulang, masih belum paham. "Iya. Hadiah pernikahan kalian." Suara Bella penuh antusias. "Walaupun aku ga diundang, tapi aku ga enak kalau ga ngasih sesuatu buat teman masa kecil aku. Ya ga?" Daryan tak menjawab, pria itu lantas berbalik diikuti oleh Bella di belakangnya. "Mana istri kamu, Dar?" Tanya Bella sembari mengekori pria itu menuju dapur. Matanya langsung menangkap sosok Savana di samping meja makan. Savana masih jongkok, tangannya sibuk memunguti sisa makanan di lantai. Baru setengah ia kumpulkan ketika suara langkah kaki mendekat dari arahnya. Savana mendongak dan menemukan Bella berdiri di ambang meja makan,
Ting tong. Baru saja Savana keluar dari kamar, tiba-tiba bel penthousenya berbunyi. Kakinya yang tadi hendak melangkah menuju dapur otomatis beralih menuju pintu. Begitu pintu dibuka, senyum hangat Minah menyapanya. "Bi Minah?" Savana terlihat antusias melihat ART di penthousenya itu, ini sudah ketiga kalinya mereka bertemu dan lumayan akrab. "Ayo masuk, bi." "Terima kasih banyak, non," balas Minah seraya melangkah masuk, "Hari ini weekend, Tuan Daryan biasanya seharian di penthouse. Tapi walaupun begitu, beliau masih kerja di ruang kerjanya." Kata Minah sambil berjalan menuju dapur diikuti oleh Savana di sebelahnya. "Oh gitu ya, bi?" "Iya. Setiap weekend saya datang tiga kali ke sini buat masak sarapan, makan siang, sama makan malam nanti," jelas Minah yang hanya diangguki oleh Savana. "Kebetulan banget tadi aku keluar kamar mau masak buat sarapan. Eh Bibi juga dateng buat masak. Kalau gitu kita masak bareng aja kayak kemaren, sekalian aku mau belajar." "Boleh, non," balas Min