Jangan lupa dukung buku ini dan follow akun author, terima kasih🫶🏻🌸 Info visual tokoh Daryan dan Savana di IG: @langit_parama
"Ma, aku berangkat ke kantor," ucap Daryan datar, menhentikan perkataan tajam Ajeng sedari tadi. Ia lalu melirik ke arah istrinya, "Kamu masuk kuliah jam berapa?" "Jam sebelas, mas," jawab Savana pelan sambil mencoba tersenyum agar terlihat baik-baik saja. "Nanti biar supir yang anter kamu, jangan pergi sendiri. Kalau begitu, saya berangkat." "Katanya kalian berdua pisah kamar, itu benar?" Pertanyaan Ajeng berhasil membuat jantung Savana berdebar sangat cepat, sementara Daryan menghentikan langkahnya. Ajeng melangkah menyusuri lorong penthouse. Ia berhenti di depan kamar Savana. Belum sempat Savana mencegahnya, Ajeng telah membuka pintu kamar. Matanya menyipit curiga saat kondisi kamar Savana. Ajeng menoleh ke belakang, melihat Savana yang berdiri kaku di tempatnya berdiri. “Ini kamar siapa?” tanyanya tajam. Savana belum sempat menjawab ketika Daryan menjawab santai, “Itu kamarnya Savana.” Savana langsung menoleh kaget. Ia menatap Daryan tak percaya. Untuk hal seperti ini D
Pagi itu, Savana baru saja selesai sarapan. Ia makan sendiri karena suaminya sudah selesai lebih dulu. Saat Savana bangkit meninggalkan meja makan yang tengah dibereskan oleh Minah, bel penthouse berbunyi membuatnya buru-buru menuju pintu dan membukanya. Begitu pintu dibuka, matanya membulat. Di hadapannya, ibu mertuanya, Ajeng, melipat kedua tangannya di dada dan menatapnya dengan tatapan dingin serta menusuk. “Selamat pagi, ma.” Savana membungkuk sopan. Ajeng tidak membalas sapaannya. Tanpa menunggu dipersilahkan masuk,dia lantas melangkah ke dalam. Matanya mengitari ruang tamu, “Mana Daryan?” Savana buru-buru menutup pintu dan bergegas menyusul Ajeng, “Masih di kamar, ma. Mungkin lagi siap-siap.” Ajeng menghentikan langkahnya lalu berbalik dan menatap Savana sinis, "Terus kenapa kamu di sini? Ga bantu suami kamu siap-siap?" Savana tersentak, buru-buru menundukkan kepalanya. "Kami baru selesai sarapan, tadinya mau nyusul mas Daryan ke kamar. Tapi begitu denger bunyi bel, aku
Daryan memainkan ponselnya, menggulir layar sejenak sebelum menatap Savana yang duduk di hadapannya sudah lengkap mengenakan piyama tidur berwarna pastel. "Kamu mau makan apa?" Tanyanya dengan suara berat, tatapannya datar. "Mas mau pesen makanan di luar?" "Hm," sahutnya singkat. Savana hendak menyela, tapi Daryan tak memberinya kesempatan dan kembali membuka suara. "Kamu tidak akan bisa masak dengan keadaan seperti itu. Cepat, saya tidak punya waktu." Ucapnya dingin. Savana meneguk ludah, "Samain aja sama punya kamu, mas." "Sebut saja Savana, jangan mengulur-ulur waktu," desis Daryan tajam. "Gimana saya mau nyebut mas, saya aja ga tau mas pesen di mana dan ada menu apa aja. Minimal kasih lihat saya kek hapenya," wajah Savana merengut kesal. Daryan melirik ponsel di tangannya sebelum akhirnya menyerahkannya pada Savana. Gadis itu dengan cepat meraihnya dan mulai menggulirkan layar mencari menu kesukaannya. Pria itu menatap istrinya dengan tatapan datar, matanya meny
Savana baru saja pulang dari hari pertama kuliah dan langsung masuk ke kamarnya. Ia segera merebahkan diri di kasur dan merenggangkan badannya yang kelelahan. Dia menghela napas berat. Tangan kirinya terangkat, melirik jam yang menunjukan pukul lima sore. "Hari ini bi Minah izin ga dateng, berarti ga ada yang masak buat makan malem," ucapnya lirih. Savana mengusap wajahnya kasar lalu berdiri dan melangkah menuju kamar mandi. Ia akan membersihkan diri dulu sebelum sibuk di dapur. Setelah selesai mandi, ia melirik jam di dinding yang menunjukkan hampir pukul enam sore. Matanya membelalak terkejut. Sebentar lagi Daryan pulang dari kantor! Batinnya panik. Tak sempat berganti pakaian, hanya mengenakan handuk pendek sampai batas paha, Savana lekas menuju ke dapur dan mulai memasak untuk makan malam. Saat tengah sibuk masak, Savana teringat akan perang dinginnya dengan Daryan kemarin sampai hari ini. Ia menghela napas panjang. Mereka belum juga baikan. Padahal, ini masih minggu
"Maaf banget, tadi gue bener-bener ga lihat lo," ucap cowok tadi yang hampir menabrak Savana. Pakaiannya rapi dan mengenakan almamater kampus, helm fullfacenya dia peluk di lengan. Sorot matanya benar-benar merasa bersalah. Savana buru-buru menggeleng, "Ga apa-apa kok. Aku juga salah di sini, ga lihat kanan kiri." Mereka berdiri di depan gedung kampus. Beberapa mahasiswa menatap ke arah mereka sambil berbisik pelan. "Ga ada yang luka, kan?" Tanya cowok itu lagi, matanya turun ke lutut Savana. "Kalau ada, gue bawa lo ke klinik kampus." "Ga ada, aman kok!" Savana tersenyum manis, berusaha meyakinkan kalau dia benar baik-baik saja. Tanpa banyak kata, cowok itu mengeluarkan sebuah cokelat batangan dari saku jaketnya. "Kebetulan gue punya coklat," kata cowok itu, mengulurkan coklat batangan ke arah Savana. "Buat lo." Mata Savana mengerjap pelan menatap cokelat itu. Bingung. "Hah?" "Sebagai permintaan maaf gue karena hampir buat lo celaka," jawabnya ringan. Bola mata Savana
Pagi itu, Daryan sudah rapi dengan setelan jas mahalnya, ia melangkah keluar kamar menuju dapur utama di mana semua masakan terhidang di atas meja. Ia menarik kursi di ujung meja dan menjatuhkan tubuh besarnya di sana, matanya melirik ke kursi sebelah kanan yang kosong. Kursi yang seharusnya ditempati Savana. "Di mana Savana, Minah?" Tanyanya pada Minah yang berdiri di ujung meja. "Masih di kamarnya, Tuan." Jawab Minah sopan. "Panggil dia, saya tidak punya banyak waktu menunggu dia selesai berdandan," katanya tajam, tangannya cekatan membalik piring dan mulai mengisi dengan nasi dan lauk-pauk. Minah dengan cepat melangkah menuju kamar Savana. Ia mengetuk pelan pintu kamar Savana. "Non, ditunggu sama Tuan Daryan di meja makan," kata Minah menyampaikan. Tak lama, pintu kamar Savana terbuka. Gadis itu sudah bersiap pergi, lengkap mengenakan almamater kebanggaan Universitas Nawasena. "Aku udah makan bi, sekarang aku langsung mau berangkat ke kampus. Buru-buru, takut telat.