“Tuan Daryan?” Kepala sipir rumah tahanan wanita menyapa dengan suara berat saat pria itu melangkah masuk ke ruangannya.
Langkah Daryan penuh wibawa, setiap geraknya memancarkan otoritas yang sulit diabaikan. Jas mahal yang dikenakannya menempel rapi, menambah aura dominan yang menyesaki udara di dalam ruangan itu. “Silakan duduk,” kepala sipir itu mencoba menawarkan, suara bergetar sedikit menahan respek dan rasa cemas. “Tidak perlu,” potong Daryan dingin, tatapannya tajam menembus ruang itu. “Saya datang hanya untuk memastikan satu hal—apakah Bellastia Cardenza masih berada di sel tahanannya. Apakah dia benar-benar masih di dalam, bukan sudah bebas tanpa jejak.” Kepala sipir membeku sesaat, seolah kata-kata itu menusuk langsung ke tenggorokannya. Namun, dia buru-buru menampilkan senyum terbaiknya. “Nona Bella masih di sini, Tuan. Kami tidak akan pernah melepaskan seorang pelaSudah lewat dua minggu sejak pertemuan terakhir antara Savana dan Arfan, saat Savana berjanji akan membantunya mencari tahu kebenaran tentang sosok dokter yang sempat disebutkan oleh Mita. Namun hingga kini, Arfan tidak menerima kabar sedikit pun darinya. Muncul kecurigaan di hatinya—jangan-jangan Savana sebenarnya tidak pernah berniat membantunya. Ia mulai menyesali keputusannya yang terlalu cepat percaya pada wanita itu. “Argh, Savana!” seru Arfan frustasi, “Mau sampai kapan aku menganggur seperti ini?” Terhitung sudah genap satu tahun Arfan tidak bekerja, sejak lisensinya dicabut dan dia hanya mengandalkan tabungannya selama ini untuk bertahan hidup. Tapi mau sampai kapan dia melakukan itu? “Bukannya aku tidak mau mengerjakan pekerjaan lain, tapi masalahnya dokter psikolog itu sudah menjadi cita-citaku sejak kecil,” matanya menatap rumah mewah milik Daryan dan Savana, menunggu momen emas.
“Kamu dari mana saja, Bella?” seru Dewa begitu adiknya tiba di apartemen. Bella yang baru masuk terkejut dengan keberadaan sang kakak, lalu dengan santai berjalan dengan anggun menghampiri Dewa yang duduk di sofa. “Bukannya Mas udah bilang, jangan ke mana-mana. Jangan berulah lagi. Kalau sampai kamu ketahuan dibebaskan dari penjara, Mas gak bisa bantu kamu lagi.” Tatapan Dewa tajam. Bella hanya memutar bola matanya malas, “Aku ke kantor polisi, karena Daryan ada di sana mau mastiin aku beneran masih di sel tahanan. Aku tahu batasan, Mas. Aku gak akan teledor lagi.” Mata Dewa menyipit curiga. “Bagaimana bisa Daryan datang menemui kamu? Kalau dia sudah melakukan itu, berarti dia mencium sesuatu yang mencurigakan. Itu salah kamu, pasti kamu menampakkan diri di hadapannya. Iya, kan?” Tak ada jawaban dari Bella, sehingga Dewa menyimpulkan kalau dugaannya memang benar.
“Tuan Daryan?” Kepala sipir rumah tahanan wanita menyapa dengan suara berat saat pria itu melangkah masuk ke ruangannya. Langkah Daryan penuh wibawa, setiap geraknya memancarkan otoritas yang sulit diabaikan. Jas mahal yang dikenakannya menempel rapi, menambah aura dominan yang menyesaki udara di dalam ruangan itu. “Silakan duduk,” kepala sipir itu mencoba menawarkan, suara bergetar sedikit menahan respek dan rasa cemas. “Tidak perlu,” potong Daryan dingin, tatapannya tajam menembus ruang itu. “Saya datang hanya untuk memastikan satu hal—apakah Bellastia Cardenza masih berada di sel tahanannya. Apakah dia benar-benar masih di dalam, bukan sudah bebas tanpa jejak.” Kepala sipir membeku sesaat, seolah kata-kata itu menusuk langsung ke tenggorokannya. Namun, dia buru-buru menampilkan senyum terbaiknya. “Nona Bella masih di sini, Tuan. Kami tidak akan pernah melepaskan seorang pela
Daryan lantas meraih bunga mawar yang diserahkan Savana padanya. Ia mencium aroma itu memang aroma wanita, juga memang parfum malah dari merk ternama. “Tapi aku gak pernah tahu aroma Bella kayak gimana, Sayang. Aku cuma hafal aroma tubuh kamu aja,” ucap Daryan membuat Savana mendengus pelan, namun diam-diam semburat samar mewarnai tulang pipinya. Setelah beberapa saat, Daryan menurunkan putrinya di depan makam, di mana tertulis nama “Arkana Bumi Ardhanata” pada nisannya. Ia menunduk, mengusap debu di batu nisan itu dengan pelan, kemudian menoleh pada kedua anaknya. “Nak, ini tempat kakak kalian, namanya Kak Arka. Kakak sudah dipanggil Tuhan lebih dulu sebelum kalian lahir,” suaranya lembut namun berat menyimpan duka. Savana ikut duduk di sebelahnya, menarik Elvano dan Elvara mendekat. “Kalian harus sayang sama kakak, ya. Walaupun kakak nggak bisa main sama kalian sekarang, tapi ka
“Jadi gini, Mas. Aku cuma pengen tahu aja keadaan dia di sana, maksudnya ... apa uang yang aku kasih cukup buat bayar hutang orang tuanya,” jelas Savana hati-hati, karena dirinya berusaha mengarang cerita. Namun Daryan menatapnya dengan tatapan curiga. “Itu kejadian udah lama, Sayang. Kamu bahas sekarang setelah sepuluh bulan yang lalu. Mita juga dapet kerjaan baru, dan udah pasti lunas. Memangnya berapa hutangnya?” “Lima puluh juta, Mas.” “Lima puluh juta? Dan aku kasih dia gaji satu bulan 25 juta, ditambah sama kamu. Harusnya udah lunas, kan?” nada bicara Daryan terdengar tegas, membuat Savana menelan ludah berat. “Iya, Mas. Namanya juga hidup, pasti ada kebutuhan lain. Dia juga butuh makan, kan? Butuh belanja juga buat kehidupannya sehari-hari.” Savana langsung memeluk suaminya untuk menghentikan topik pembicaraan. Ia menyesal bertanya soal Mita, dan d
“Mama ...!” Seruan itu berasal dari si kembar Elvano dan Elvara yang sontak memanggil sang ibu begitu masuk ke rumah. Mereka merangkak menghampiri Savana yang tersenyum lebar, karena sang anak begitu merindukannya. “Ututu ... kasihan banget, ya, anak Mama. Pertama kali ya ditinggal sama Mama agak lamaan gini? Siapa suruh kadang cuekin Mama kalau lagi sama Papa,” ejek Savana sambil memeluk kedua anaknya. Kecupan singkat mendarat di kedua pipi mereka, sebelum Savana membawanya kembali ke Hana yang duduk di lesehan di ruang tengah. “Nanti Mama kirim ke kamu video gimana mereka nangis cari-cari kamu. Gak kebayang kalau kamu beneran pergi lama, mereka mungkin nangis tujuh hari tujuh malem.” Ucap Hana sambil terkekeh pelan. “Tapi mereka gak sampe segitunya kok Ma, kalau lagi sama Mas Daryan,” balas Savana sembari ikut duduk di sebelah ibunya. “Dan juga, kalau M