"Sa, kamu mau nungguin mama kamu sampe siuman, kan?" Tanya Ameer pada putrinya begitu Hana selesai operasi dan dirawat di ruang ICU. Savana menatap ayahnya sejenak sebelum membuka suara, "Papa mau pulang?" Ameer mengangguk cepat, "Papa masuk kerja lagi besok, jadi papa harus istirahat malam ini. Mama kamu juga siumannya masih beberapa jam atau mungkin satu hari karena efek anestesinya, jadi papa akan pulang dan balik lagi besok. Kamu besok kuliah?" Savana terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. "Tapi aku mau izin ga masuk aja, aku harus nungguin mama sampe siuman." "Sebenernya ga perlu, Sa. Daryan udah siapin tim medis khusus buat mama kamu, banyak perawat yang akan jaga. Nanti kalau mama kamu siuman mereka pasti hubungin kita." "Aku ga mau ninggalin mama sedetik pun. Aku harus mastiin sendiri kondisi mama karena aku ga mau terjadi apa-apa sama mama," tegas Savana. Ameer menghela napas ringan dan menggeleng kecil, "Operasi mama kamu berjalan lancar, mama kamu udah dipindah ke
Hari sudah sore tapi belum ada tanda-tanda operasi Hana selesai. Savana duduk lemas di bangku tunggu. Matanya sembab, tatapannya kosong. Seolah emosinya sudah dikuras habis sejak siang tadi. Daryan berdiri tak jauh darinya, bersandar ke dinding. Satu tangan dimasukkan ke saku celana, sementara tangan lainnya memegang ponsel yang yang menempel di telinganya. "Jadi kamu mau batalin rapatnya, Dar?" Revanza kembali memastikan setelah mendapatkan pesan singkat dari Daryan yang mengatakan tidak bisa hadir rapat. Ia buru-buru menghubungi teman sekaligus atasannya itu. Daryan memandangi istrinya lama kemudian mengucapkan kalimat singkat, "Iya, batalin. Aku lagi sibuk." "Sibuk apa?" Tanya Revanza penasaran. "Mama mertuaku sedang dioperasi." Di seberang sana, Revanza membeku sesaat sebelum membuka suara kembali. "Memangnya kamu ngapain di sana? Jagain? Serius? Memangnya istri kamu ke mana? Pak Ameer ke mana?" Ia cukup terkejut Daryan akan sepeduli itu pada mama mertua dari
Langkah kaki Ajeng terdengar cepat di koridor rumah sakit. Sepatu hak tingginya berdetak tegas menyusuri lantai. Bella harus setengah berlari mengejarnya agar tidak ketinggalan langkah Ajeng. Begitu tiba di luar, Ajeng sudah ditunggu oleh supirnya yang siaga membukakan pintu mobil. Namun, alih-alih masuk, ia berdiri di sisi pintu, memejamkan mata dan menarik napas panjang. “Tante ...,” Bella akhirnya berhenti di belakang Ajeng dengan napas terengah. “Tadi Tante lihat sendiri, kan? Dia peluk perempuan itu, tan. Daryan masih aja sandiwara di depan kita, depan semua orang! Atau ....” ia menggeleng tegas, mencoba mengusir dugaannya. Ajeng tidak menjawab. Tatapannya kosong ke arah langit mendung. Tidak dipedulikannya angin siang yang jahil membuat rambutnya berantakan karena pikirannya masih bergejolak. “Tante!” Bella kembali bersuara, “Gimana bisa Tante diem aja?! Daryan kayaknya udah mulai tertarik beneran deh sama Savana, tan!” Nada suara Bella makin tinggi, bercampur antara iri
“Savana … jawab mama, apa yang dikatakan Bu Ajeng benar? Kalian nikah kontrak?” Suara Hana bergetar. Nafasnya mulai berat. Savana membuka mulut, namun tak ada suara yang keluar. Ia menatap Daryan seolah meminta tolong. Daryan melangkah pelan dan jongkok di hadapan Hana, “Ma, tolong tenang dulu. Saya bisa jelaskan semua ini nanti. Yang penting sekarang mama menjalankan operasi.” Ajeng mencibir, “Tenang? Kamu masih bisa minta dia tenang? Kamu pikir ini lucu, Daryan?” Bella ikut bersuara, tak ingin melewatkan kesempatan. “Udah jelas kok, tante. Savana dan Daryan …” Bella melirik Hana sinis, “… mereka nikah kontrak karena Savana butuh uang buat operasi mamanya dan Daryan, dia butuh supaya menghindar dari perjodohan tante Ajeng.” “Diam, Bella!” Desis Daryan dingin, membuat wanita itu mendengus pelan. Wajahnya memerah menahan emosi. Ajeng ikut menyahut dengan nada tinggi, “Ini semua salah kamu, Daryan! Nikahin perempuan tidak jelas demi menghindari perjodohan dari mama!” “Ma, cukup
Suasana di dalam mobil Daryan terasa mencekam. AC mobil dingin, tapi udara terasa panas bagi Savana. Savana duduk diam di kursi, tangannya menggenggam tasnya erat di pangkuannya. Sementara Daryan duduk di sebelahnya dengan rahang mengeras. Setelah beberapa menit berlalu tanpa suara, Daryan akhirnya membuka mulut dengan suaranya yang dalam, datar, dan menekan. "Bukannya tadi pagi sudah saya pesan, jaga jarak dengan laki-laki?" Savana menelan ludah, ia menjawab tanpa menoleh pada Daryan. "Saya lupa." "Lupa?" Daryan mendecak pelan, matanya lurus ke jalan. "Lupa atau sengaja, Savana?" Nada suaranya naik satu tingkat. "Mas, saya bisa jelasin ...." "Jelaskan sekarang." Potong Daryan cepat, tatapannya tajam menghantam wajah Savana. "Apa sebenarnya hubungan kamu sama Radja?" Savana membatu. Mulutnya terbuka, tapi tak ada kata keluar. "Kamu suka sama dia?" Tuduh Daryan tiba-tiba. "Apa? Ngga!" Savana menoleh, matanya membesar. "Berapa kali saya harus bilang sama mas, kami cuma tema
Begitu tiba di depan penthouse milik Daryan, Ajeng berhenti lalu menatap panel sandi di samping pintu. Ia menatap tajam angka-angka digital itu lalu mendengus. “Tante ga tahu passwordnya,” gumamnya kesal. “Bukannya dulu tante tahu kodenya?” Tanya Bella dengan nada sedikit menyindir. Ajeng tidak menjawab. Ia menggigit bibirnya, mencoba berfikir sebelum menjawab, “Apa perlu panggil manajemen apartemen saja untuk membuka pintu?” “Boleh juga, tan. Tapi kalau semisalkan stafnya hubungin ke Daryan dulu gimana?” Tanya Bella sambil mengedikkan bahunya. Belum sempat Ajeng membuka suara, lift terbuka dan keluarlah Minah dari sana. Senyumnya langsung mengembang, ia punya ide sekarang. Melihat raut wajah Ajeng yang sepemikiran dengannya, Bella langsung tersenyum lebar. “Nyonya Ajeng?” Sapa Minah dengan sikap ramah, “Nyonya ada keperluan apa datang ke sini? Tuan Daryan dan Non Savana lagi ga ada di penthouse, mereka sedang ke rumah sakit karena hari ini ibunya non Savana mau operasi.” “Oh