"Mas ...?" Savana menoleh cepat ke arah Daryan, mengalihkan perhatian dari tatapan tajam ibu mertuanya. Tanpa suara, ia menggenggam tangan Daryan lebih erat, seolah ingin menegaskan bahwa ia ada di sisinya. Daryan menunduk menatap sang istri, mencium kening istrinya lalu berbisik, “Duduk dulu, aku akan kembali.” Savana mengangguk pelan dan berjalan menuju salah satu meja tamu yang kosong. Beberapa pasang mata masih menatap mereka dengan bisik-bisik pelan yang tak bisa dihindari. Tapi Savana mencoba tetap tenang, meski jantungnya berdegup cepat. Sementara itu, Daryan melangkah menghampiri ibunya yang masih berdiri terpaku di dekat meja minuman. Pelayan yang tadi baru saja membereskan pecahan gelas kaca hasil ulah Ajeng, segera pergi begitu Daryan mendekat. "Apa maksudnya hamil, Daryan?" tanya Ajeng tajam, suaranya hampir bergetar, entah karena emosi atau terkejut. Daryan berdiri tegak, ekspresinya dingin namun penuh kontrol. “Apa maksud dari pertanyaan itu, mama? Haruskah hal sep
Malam turun perlahan, menyelimuti langit dengan taburan cahaya temaram dari gedung-gedung tinggi. Di dalam penthouse yang hangat, aroma parfum lembut melayang di udara. Savana berdiri di depan cermin, mengenakan gaun mewah warna maroon panjang selutut. Perutnya masih rata, tapi matanya sudah bersinar berbeda. Daryan muncul dari balik pintu, mengenakan setelan jas berwarna senada—maroon gelap yang dipadukan dengan kemeja hitam dan dasi kupu-kupu. Rambutnya disisir rapi, tapi pandangannya langsung tertuju pada wanita yang tengah mematut dirinya di depan cermin. Savana menyadari kehadirannya, menoleh pelan sambil tersenyum manis. “Aku terlalu mencolok gak, mas? Gak kelihatan kayak mau kondangan sendirian, kan?” Daryan mendekat, menatap istrinya lewat pantulan cermin. Tangannya meraih pinggang Savana, memeluknya dari belakang. “Kamu kelihatan seperti hadiah yang belum sempat aku buka,” bisiknya di telinga Savana, suara beratnya serak dan penuh godaan. “Aku khawatir kamu dilihatin ban
Savana duduk bersila di sofa, senyumnya sudah berbunga-bunga. Di meja, ada kue tart berukuran sedang dan bertuliskan 'Selamat Ulang Tahun Mama, dari anak kesayangan!' dengan lilin yang baru saja ditiup. Hana duduk di sebelahnya, masih memegangi buket bunga yang tadi diberikan Savana. Matanya masih merah karena haru, tapi senyumnya tak pudar. Daryan duduk bersandar di sandaran sofa, sambil memperhatikan sang istri yang tengah memotong kue tart di hadapannya. Savana memotong sepotong kecil cake dan menyuapkannya ke Hana. “Harus mama yang makan duluan. Yang ulang tahun kan mama, tapi yang paling heboh anak mama.” Ia terkikik geli setelahnya. Hana tertawa sambil menerima suapan. “Enak banget. Kamu yang buat sendiri?” Savana menggeleng. “Pesen di bakery langganan aku. Tapi hiasannya aku request khusus buat mama.” Hana mengusap lembut rambut Savana. “Terima kasih ya, Nak. Bukan cuma kuenya, tapi kehadiran kamu di hidup mama juga hadiah ulang tahun terbaik. Apalagi ada calon cucu.” Da
Lampu kamar diredupkan. Savana sudah tertidur pulas di samping Daryan, wajahnya tenang, satu tangannya diletakkan di atas perutnya yang masih datar. Napasnya teratur. Daryan menyandarkan punggung ke kepala ranjang, masih terjaga. Ponsel di tangannya menampilkan halaman toko online—ia sedang serius memilih sesuatu sebagai hadiah. “Kalung berlian atau jam tangan klasik ya? Atau bunga segar ditambah surat tulisan tangan?” Ia bergumam pelan, lalu menyimpan salah satu gambar hadiah ke favorit. Matanya sempat melirik ke Savana. Ia tersenyum tipis. “Hadiah buat mama mertua karena udah melahirkan bidadari cantik dan sebaik kamu untuk aku.” Tiba-tiba, Savana menggeliat pelan. Ia memutar badan, masih setengah sadar, dan merangkul pinggang Daryan dari samping. “Engh ... Mas ....” lenguhnya samar, suara mengantuk. Daryan refleks mematikan layar ponsel dan menaruhnya di meja nakas. Ia cepat-cepat membalas pelukan Savana, tangannya membelai rambut panjangnya lembut. “Iya, Sayang. Aku di sin
Hujan turun tipis di luar jendela penthouse, membuat suasana malam terasa semakin hangat. Savana sedang duduk di sofa, membetulkan bantal-bantal sambil memainkan remote TV, meski pikirannya tak fokus ke layar. Daryan muncul dari dapur membawa segelas susu hangat. “Minum dulu, sayang,” ucapnya lembut seraya mengulurkannya pada sang istri. Savana tersenyum dan menerimanya. “Terima kasih.” Daryan duduk di sampingnya, satu tangan melingkari bahu Savana. Tatapannya tak lepas dari wajah sang istri. “Kamu udah mulai ngidam belum?” tanyanya serius. Savana mengerutkan dahi. “Ngidam?” “Iya. Mau makan apa? Yang aneh-aneh juga gak apa-apa, bilang aja. Kalau kamu mau buah jam dua pagi pun aku siap cari.” Savana terkekeh pelan. “Mana ada ngidam, mas. Baru juga ketahuan hamilnya tadi siang." "Ya gak harus gitu, sayang. Intinya kamu hamil, dan biasa perempuan hamil pasti ngidam. Aku serius, kamu lagi pengen apa?" Tangannya terangkat menyelipkan rambut sang istri ke belakang telinga "Belum s
Langkah Daryan bergema di koridor rumah sakit. Wajahnya tegang. Sesekali ia mengusap tengkuknya sendiri, napasnya terengah. Begitu melihat Minah berdiri di depan ruang periksa, ia langsung menghampiri. "Minah, istri saya di dalam?" Minah mengangguk cepat. "Iya, Tuan. Non Savana hanya ingin memastikan keadaannya. Maaf karena saya bawa Non Savana gak bilang-bilang dulu." Ia menunduk dalam, namun Daryan tak merespon. Tanpa menunggu lebih lama, Daryan membuka pintu dan mendapati Savana duduk di ranjang pasien, masih dengan pakaian saat terakhir dia lihat. Wajahnya terlihat sedikit pucat tapi tersenyum kecil saat melihat suaminya. "Mas …." ucap Savana pelan. "Kamu gila, ya?" suara Daryan nyaris gemetar, bukan karena marah, tapi karena takut. "Kenapa pergi tanpa bilang? Aku panik. Aku pikir kamu kenapa-kenapa!" Savana tidak menjawab. Ia hanya mengulurkan tangannya pelan. Daryan mendekat. Dengan lembut, Savana menarik tangannya, membiarkannya duduk di pinggir ranjang. "Maaf, aku gak b