Bella memasuki rumah Stella dengan langkah cepat, kedatangannya ke sini bukan mencari kakak iparnya itu—melainkan mencari Radja. Kini langkah kakinya membawanya ke lantai atas, menyusuri lorong menuju kamar cowok itu. Tanpa mengetuk pintu, Bella langsung masuk dan menemukan Radja tengah duduk di sofa. "Dja!" serunya, suaranya agak tegang namun tetap mengundang perhatian Radja yang duduk malas. Radja menoleh, ekspresi wajahnya datar, matanya setengah malas menatap Bella yang sudah berdiri di depannya. “Kamu tuh sebenernya suka gak sih sama Savana?” tanya Bella tiba-tiba, membuat Radja mengerutkan dahi. Radja menatap Bella dengan tatapan bingung, lalu sedikit mengangkat alisnya. “Kenapa nanya gitu?” “Jawab aja. Kalau kamu suka, kenapa kamu nggak rebut dia dari suaminya sih?” Bella melanjutkan dengan nada yang agak tajam. Radja menghela napas panjang, menundukkan kepala sejenak, seolah berpikir. Namun dia tidak segera menjawab, hanya diam menatap lantai. Bella yang tidak sabar, b
Hari ini usia kandungan Savana sudah memasuki usia enam belas minggu, Daryan dan Savana memutuskan untuk menjalani pemeriksaan USG yang sudah lama mereka tunggu. Savana merasa sedikit gugup, meski dalam hati sangat bersemangat. Ini adalah momen yang tak terbayangkan sebelumnya, mereka akan mengetahui jenis kelamin anak pertama mereka. Di ruang rumah sakit, suasana terasa tenang. Savana berbaring di atas brankar pemeriksaan. Daryan berdiri di sampingnya, menatapnya dengan penuh perhatian. "Mas, kamu berharap anak kita cewek atau cowok?" Savana bertanya dengan nada cemas, meski senyum tipis tak hilang dari wajahnya. Daryan memegang tangannya dengan lembut. "Yang penting anak kita sehat, sayang. Kita akan tetap bahagia apapun jenis kelaminnya." Savana hanya tersenyum dan mengangguk, masih terasa sedikit gugup, tapi juga penuh harap. Tak lama setelah itu, dokter masuk dan menyapa mereka dengan senyuman ramah. "Selamat pagi, Nyonya Savana, Tuan Daryan. Sudah siap untuk melihat keajai
Pagi itu, Savana sudah rapi dengan set piyama satin warna dusty rose, rambutnya digerai ke belakang, dan wajahnya segar meski masih sedikit pucat. Ia baru saja keluar dari kamar menuju ruang tengah. Hari ini temannya—Rinka akan datang berkunjung, jadi dia akan menunggunya sambil menyiapkan camilan. Ketika tatapannya jatuh pada beberapa helai rambut di lantai, Savana segera melangkah ke sudut ruangan untuk mengambil penyapu dan sekop. Baru saja dia hendak mulai menyapu, ponsel di saku piyamanya berdering. Savana meletakkan kembali penyapu dan sekop di sampingnya, lalu mengangkat panggilan dari sang suami, Daryan, yang sedang berada di kantor. “Halo, Mas. Ada apa?” Suaranya lembut. “Ngapain kamu pegang penyapu sama sekop?” Daryan bertanya, suaranya berat. Dari seberang sana, dia memantau Savana lewat CCTV penthouse melalui iPad. Savana tertegun, mulutnya terbuka tapi tak mampu menjawab. Matanya melirik penyapu dan sekop di sampingnya sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku cuma mau
Malam datang dengan hangatnya cahaya lampu gantung di ruang makan. Daryan duduk di ujung meja. Di depannya, Savana sibuk menyuap nasi perlahan. Terlalu perlahan, hingga Daryan akhirnya menyadarinya. “Kok diem aja malam ini?” tanya Daryan sambil meletakkan sendoknya. “Biasanya kamu paling bawel muji lauk buatan Minah.” Savana hanya mengulas senyum tipis. “Capek aja, Mas. Tugas lumayan banyak tadi.” Daryan menatap istrinya dalam diam. Sesuatu terasa berbeda. Bukan sekadar lelah. Ada yang disembunyikan. Tapi ia tidak ingin memaksa Savana cerita. Setelah makan malam selesai dan piring-piring telah dibereskan, keduanya naik ke kamar. Savana lebih dulu masuk kamar mandi, mengganti pakaian dan mencuci wajahnya. Saat keluar, ia menemukan Daryan sudah bersandar santai di tempat tidur dengan laptop di pangkuannya. Savana naik ke ranjang pelan-pelan, berbaring membelakangi suaminya. Beberapa menit berlalu dalam keheningan, hingga Daryan meletakkan laptopnya dan memiringkan badan, menghadap
Pagi itu, setelah memastikan Savana baik-baik saja setelah mual hebat beberapa jam yang lalu, Daryan mengambil jasnya dan berjalan ke pintu. Ia menatap Savana yang mengikutinya dan kini berdiri di hadapannya sambil memegangi kusen pintu. “Aku berangkat dulu, Sayang. Kamu jangan lupa sarapan nanti, ya?” ucap Daryan, suaranya lembut. Savana tersenyum manis, meski wajahnya masih terlihat sedikit pucat. “Iya, hati-hati di jalan ya, Mas.” Daryan membalas senyum itu, lalu mengecup sudut bibir istrinya sebentar sebelum benar-benar melangkah pergi. Savana memandangi punggung suaminya hingga menghilang di balik pintu lift. Begitu pintu tertutup, Savana menarik napas panjang, lalu menutup pintu penthouse dan berjalan menuju ruang kerja suaminya. Ia menyalakan laptop, membuka dokumen tugas kampus yang belum selesai. Baru beberapa menit berkutat di atas laptop, suara ketukan pelan di pintu ruang kerja membuatnya menoleh. Minah muncul di ambang pintu, wajahnya tampak ragu. “Non, maaf ganggu.
Setelah membersihkan diri dari pesta malam itu, Savana mengenakan piyama satin warna gading yang lembut membalut tubuh mungilnya. Ia duduk di depan cermin meja rias yang terletak di dalam wardrobe, sambil mengaplikasikan rangkaian skincare. Wajahnya terlihat tenang, tapi matanya menyimpan sesuatu. Cermin di depannya memantulkan bayangan seorang wanita yang tengah berpikir keras. Pintu wardrobe terbuka perlahan, dan langkah kaki berat yang tak asing terdengar mendekat. Daryan datang dari belakang punggungnya, mengenakan kimono tidurnya yang berwarna navy. Ia memeluk istrinya dari belakang, dagunya bertumpu di bahu Savana yang kecil. “Mikirin apa, hm?” bisiknya pelan, suaranya berat, serak dan hangat. Savana menarik napas pelan. “Kepikiran mama kamu, mas.” Daryan mengerutkan kening, lalu mengecup pipi istrinya dengan lembut. “Gak usah dipikirin. Gak baik buat bumil stres.” Savana menatap cermin, lalu menunduk sedikit. “Aku ngerasa … jadi menantu durhaka, mas.” Daryan berdiri teg