Berkali-kali Purnomo mengecek ponselnya. Mengetik pesan, lalu menghapusnya. Entah sudah yang ke berapa kali di menghapus pesan yang akan dikirim pada Awan.
Sejak pertemuannya seminggu yang lalu dengan pemuda asal Klaten itu, otaknya tiba-tiba dipenuhi dengan ekspektasi janda yang baru ditinggal suaminya tiga bulan yang lalu yang tak lain adalah kakak ipar Awan yang katanya akan dijodohkan dengan Awan, tapi dia menolak. Entah kenapa, dia jadi sangat penasaran dengan sosok yang sering dipanggil Awan dengan sebutan kakak ipar, bukan nama. Ingin bertanya, tapi ragu. Karena Awan tidak lagi membahas tentang kakak iparnya yang baru saja menjadi janda ditinggal mati itu saat saling berkirim pesan. Hingga suara dering ponsel membuat Purnomo yang tengah mengetik naskah novel itu menoleh cepat dan mengambilnya. Lalu mendesah panjang saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya. “Halo, Dek.” [“Mas, nanti jam tiga tolong jemput aku dong di rumah sakit.”] pinta sang Adik, Bintang. “Insyallah. Mas nggak janji. Belum selesai ngetik soalnya.” [“Ih, gitu amat sama adik sendiri.”] “Cowok kamu yang polisi itu ke mana?” Purnomo memutar bola matanya. [“Dia berangkat tugas dan belum pulang. Nggak bisa jemput aku. Ayolah … motor kan di rumah tadi. Dipake Ibu. Jadi tadi aku berangkat naik angkot.”] “Ya udah, naik angkot lagi aja.” Purnomo sengaja mengerjai sang Adik yang selalu membuatnya kesal. [“Mas Pur tega.”] “Bodo.” [“Ish, jemput nanti pokoknya, ya, Mas-ku yang paling ganteng sedunia, tapi jomlo.”] “Kurang ajar kamu, Dek. Mas gak mau jemput kamu!” Kesal, Purnomo pun akhirnya menutup panggilan setelah mendengar suara tawa sang Adik di seberang telepon. “Kalau nggak karena sayang udah gue pites itu bocah!” sungutnya sambil meremas kertas di hadapannya. Lalu menoleh pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Satu jam lagi berarti dia harus menjemput adiknya. Meski kesal karena sering kali diledek jomlo, tapi dia tetap sayang dan tetap menjaga adiknya. Sebelum berangkat menuju rumah sakit, Purnomo terlebih dulu menyelesaikan naskah novelnya. Dia jadi hanya menulis satu bab saja dengan jumlah kata seribu lima ratus. Padahal biasanya bisa sampai tiga ribu kata dalam dua jam duduk di depan laptop. Namun, beberapa hari ini pikirannya sedang tidak fokus. Penasaran dengan sosok janda yang diceritakan oleh Awan. Entah kenapa, hatinya begitu tertarik. Usai menyelesaikan novelnya, Purnomo pun bersiap untuk menjemput sang Adik yang bekerja di rumah sakit sebagai seorang perawat. “Bu, Pur mau jemput Bintang,” pamitnya pada sang Ibu yang tengah menggoreng pisang di dapur. Wanita itu menoleh. Lalu mematikan kompornya dan mendekat pada anak sulungnya yang berdiri di ambang pintu. “Ya udah sana. Nanti keburu adikmu pulang. Mending kamu yang nunggu,” sahutnya. “Iya, Bu. Assalamu’alaikum.” Purnomo mencium punggung tangan ibunya. “Wa’alaikumsalam. Hati-hati, Pur.” “Iya, Bu.” Lelaki itu berjalan keluar setelah mengambil dua helm. Lalu mengendarai motor maticnya untuk menjemput sang Adik. Karena Bintang sendiri tidak mau kalau dijemput dengan motor trail. “Nggak mau, Mas. Ketinggian. Susah aku naiknya,” katanya saat itu. Motor pun keluar gerbang. Kemudian melaju dengan kecepatan sedang sebelum akhirnya melaju tinggi setelah masuk area jalan raya. Hingga tak sampai setengah jam, Purnomo sudah sampai di depan rumah sakit tempat adiknya bekerja. Dia menoleh pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Baru jam tiga kurang seperempat. Bintang juga belum keluar.” Lelaki itu turun dari motornya. Lalu memilih berjalan ke arah kursi yang disediakan di depan rumah sakit. Purnomo: Dek, Mas udah di depan. Kamu keluar jam berapa? Tak lama, pesan balasan pun masuk. Purnomo membacanya. Bintang: sebentar, Mas. Tadi baru aja ada pasein masuk. Tanggung. Purnomo: Oke. Jangan pakai lama. Bintang: Hmmm Sambil menunggu, dia sempatkan untuk membuka social media dan kembali mempromosikan karya-karyanya pada para pembacanya. Hingga sebuah tepukan di bahu membuat Purnomo mengangkat kepala dan menoleh ke belakang. Kedua matanya terbuka lebar saat mendapati seseorang yang dikenalnya menatapnya dengan senyuman. “Nggak disangka ketemu di sini, Mas. Lagi ngapain?” Awan bertanya. “Ya ampun … kirain adikku,” kekeh Purnomo. Karena dia mengira yang menepuk bahunya adalah Bintang. Tapi ternyata bukan. “Aku lagi jemput adikku yang kerja di sini.” “Jadi dokter, Mas?” tanyanya antusias. “Bukan. Perawat.” “Oh … keren!” Lelaki itu mengacungkan kedua ibu jarinya dengan senyuman. “Kamu sendiri ngapain? Duduk sini. Temenin!” pintanya sambil menepuk bangku kosong di sebelahnya. “Temenin Mama periksa. Malah disuruh rawat,” katanya memasang wajah sedih. “Kenapa memang Mama kamu?” “Biasa. Asam lambung naik, gula darah naik juga.” “Kok jauh banget ke Jogja? Bukannya di Klaten?” Purnomo menatap heran. “Iya. Tadi kebetulan lagi ke rumah kakak ipar. Lagi main ke sana. Eh, malah penyakit Mama kambuh.” “Kakak ipar kamu asli Jogja kah?” “Iya. Nggak jauh kok dari Kaliurang.” “Iya kah? Siapa? Kali kenal kalau nggak jauh mah.” “Nah, itu, Mas!” Awan menunjuk seorang perempuan berjilbab lebar yang berjalan mendekat ke arahnya. Perempuan itu memakai masker. Sehingga Purnomo tidak terlalu jelas melihat wajahnya. Begitu juga Purnomo yang tak terlihat dengan jelas karena memakai topi. Namun anehnya, Awan tetap mengenali. Meski hanya sekali bertemu. “Oh itu …,” desisnya. “Iya, Mas. Ya udah, Mas. Nanti sambung lagi. Aku harus ke ruang rawat Mamaku,” pamitnya saat kakak ipar dari Awan itu melambaikan tangan pada Awan sebagai isyarat agar mendekat. “Oh, iya. Semoga Mama kamu cepat sembuh, Bro!” sahutnya. Awan hanya mengaminkan. Kemudian pergi meninggalkan Purnomo dengan rasa penasaran terhadap kakak iparnya itu. Dia melihat ada sesuatu yang tidak asing pada kakak ipar Awan. Tapi, Purnomo sendiri tidak tahu apa. Padahal dia baru pernah melihatnya. Penasaran yang sudah di ujung tanduk, dia pun akhirnya diam-diam mengikuti langkah Awan dan kakak iparnya. Sama-sama menaiki tangga dengan jarak enam meter. Karena dia juga tidak ingin Awan tahu kalau sebenarnya dia sudah mulai penasaran dengan kakak iparnya itu. Dan saat melihatnya meski wajahnya tertutup masker juga dari jarak yang tidak terlalu dekat, membuat rasa penasarannya semakin meningkat. Dia merasa tidak asing dengan sosok kakak ipar dari Awan tersebut. Hingga akhirnya mereka sampai di lantai dua. Sebelum masuk, perempuan yang bersama dengan Awan itu membuka maskernya. Dan seketika itu, Purnomo melebarkan kedua matanya. Degup jantungnya semakin berpacu cepat saat melihat perempuan yang menjadi kakak ipar dari Awan. “Wulan,” desisnya menatapnya seolah tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya. Sosok itu, perempuan yang amat sangat dia rindukan kehadirannya kini ada di depan matanya. Senyumnya mengembang seketika. Kedua matanya langsung berbinar. Bagai bunga layu yang disiram air, hatinya terasa sejuk memandang wajah cantiknya yang sudah sepuluh tahun dia rindukan.Malam beranjak naik. Ummi Rahmah diantar pulang ke hotel oleh Wulan dan Purnomo. Sebenarnya, Wulan ingin Ummi Rahmah menginap di rumahnya saja agar bisa ngobrol banyak dan mengakrabkan diri. Namun, Ummi Rahmah menolak. Merasa tak enak hati. "Ummi, nginap saja di rumah," ujar Wulan menatap penuh harap. "Insyallah kapan-kapan saja kalau Ara sudah di rumah. Sebenarnya juga pengin temenin mantu di rumah sakit. Tapi biar saja ada suaminya," kekehnya. "Iya, Mi. Biar mereka makin dekat," sahut Wulan. Purnomo sendiri yang sibuk dengan setirnya hanya tersenyum mendengar obrolan mereka. Hingga tiba di depan lobby hotel, Ummi Rahmah turun dan Wulan juga Purnomo pamit menuju rumahnya. Ara sendiri dijaga oleh Galaxy juga Hafifi. Dia diharuskan menginap satu malam untuk memantau perkembangannya. "Permisi, mau antar makan malam." Seorang pramusaji rumah sakit masuk mendorong troli berisi makanan dan obat untuk Ara. Lalu meletakkan makanannya di meja. "Terima kasih, Bu."
"Assalamualaikum, Ma?" ["Wa'alaikumsalam. Hafifi sudah di situ, Nak? Mama sudah sampai di parkiran. Kamu di ruangan mana?"] "Lantai tiga, Ma. Ruang Bugenvil nomor dua." ["Ya udah. Mama sama ayah ke sana sekarang, ya."] "Iya, Ma. Di sini juga ada ibunya Hafifi," katanya sambil menatap perempuan itu yang mengangguk dengan senyum tipis. ["MaasyaAllah ... ya sudah. Mama sudah masuk lift. Telepon Mama matiin, ya."] "Iya, Ma. Hati-hati." Ara mematikan panggilan teleponnya. Lalu menatap Ummi Rahmah yang juga menatapnya. "Mama saya sebentar lagi sampai, Mi," katanya memberitahu. "Alhamdulillah, nggak sabar ketemu besan," sahutnya dengan antusias. Meski sudah berusia empat puluh delapan tahun, ibunya Hafifi ini memang modis dan masih terlihat awet muda. Bahkan kecantikannya hampir sama dengan ibunya Ara yang usianya lima tahun di bawah Ummi Rahmah. Ibunya Hafifi seorang dosen juga ustadzah yang mengajar di pesantren miliknya sendiri. Jadwalnya padat dan sibuk. Sehingg
"Tidak, Lettu. Tidak apa," jawab Ara sedikit gugup. Namun, dia berhasil menguasai diri. "Terima kasih untuk bantuannya tadi," katanya mengangguk sopan. "Iya. Jangan terima kasih terus. Saya akan selalu usahakan ada buat Serda Ara sebelum orang tua Serda Ara datang," katanya dengan senyum tulus. "Emm ... saya rasa tidak perlu. Karena di sini sudah ada saya. Jadi, biar saya yang akan mengurusi keperluan is ... emmm ... Ara," timpal Hafifi begitu posesif menjaga istrinya. Ara menatap lelaki itu dengan kening berkerut. Merasa heran dengan sikap Hafifi yang menurutnya berlebihan. "Oh, begitu. Ya sudah. Kalau begitu saya pamit, ya, Serda Ara. Kalau butuh apa-apa hubungi saya saja. Saya akan usahakan," katanya lagi sebelum digiring keluar ruang rawat Ara oleh Hafifi. "Ah, ya. Terima kasih banyak." Hafifi yang menimpali. Kemudian menutup pintu dan menutupnya rapat-rapat setelah Lettu Arhan benar-benar pergi. "Kamu nggak seharusnya bersikap seperti itu sama Lettu Arhan. Dia itu ata
Kata-kata yang keluar dari mulut Hafifi masih terus terbayang di benak Ara. Pikirannya terus berputar. 'Bagaimana bisa dia berpikir akan melanjutkan pernikahan ini? Sedangkan aku menolak keras. Aku masih ingin berkarir di dunia militer tanpa terikat pernikahan dulu. Masih banyak hal yang ingin aku lakukan untuk bisa membanggakan almarhum Papa.' Ara berusaha untuk fokus saat latihan bela diri. Namun, bayang-bayang wajah Hafifi terus menghantuinya. Hingga saat lawan menyerang, Ara yang tak siap terjatuh dengan tangan sebagai tumpuan. Gadis itu mengerang menahan rasa sakit di tangan kanannya. "Arggghhh!" Dia memejamkan kedua matanya. Berusaha menahan sakit yang menjalar dari siku hingga jai-jemarinya. "Astaga, Ara! Maaf, ya." Temannya langsung membantu berdiri sambil terus mengucapkan kata maaf karena dia tadi yang menyerangnya. "Bawa ke klinik sekarang!" titah pelatih dengan raut wajah cemas. Namun, tetap berusaha tegas dan tenang. "Tanganku sakit banget." Ara merasa
"Masih proses ta'aruf kan, Mi. Masih bisa dibatalkan kok. Lagian belum sampai pada tahap nadzor. Kita bisa bicarakan ini baik-baik melalui Pakde Hasan. Sebagai perwakilan keluarga kita," terangnya mencoba menenangkan ibunya. "Iya juga sih. Tapi tetap tidak enak hati sama Pak Yai dan Bu Nyai." "Ya, mau bagaimana lagi, Mi? Ara yang sekarang sudah sah menjadi istriku lebih pantas aku perjuangkan daripada Hasna." Ummi Rahmah mengembuskan napas panjang. Pasrah dengan keputusan yang diambil putranya. "Ya sudah kalau memang kamu sudah yakin dengan pilihan kamu, Nak. Kamu sudah tahu mana yang terbaik. Semoga Allah melimpahkan keberkahan pada pernikahan kalian," katanya dengan lembut. Hafifi mengaminkan doa sang ibu dengan seulas senyum. Hatinya lega karena sudah mendapat restu dari sang ibu tercinta. "Mana coba Ummi lihat foto menantu Ummi? Penasaran," pintanya. Hafifi menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Kenapa?" Ummi Rahmah menatap dengan kening be
"Taipur?" gumam Ara saat dia sudah berada di dalam kamar nyamannya. Dia sudah pulang ke rumah dan mandi agar tubuh lelahnya terasa sedikit segar. Taipur? Tawaran atasannya tadi masih terngiang-ngiang dalam benaknya. Sebenarnya bisa saja, apalagi dia ditawari langsung oleh atasannya. Tinggal kemauannya saja untuk ikut daftar dan mengikuti pendidikan selama tujuh bulan. Tapi bagaimana dengan pernikahannya dengan Hafifi? Ara mengembuskan napas panjang. Lalu memilih merebahkan tubuh lelahnya. Menutup kedua matanya dengan napas teratur. Mencoba terlelap, tapi pikirannya masih melalang buana. Hingga dering ponsel yang menandakan pesan masuk mengusik waktu istirahatnya. Dengan gerak malas, tangan Ara meraih ponsel yang ada di atas nakas. Kedua matanya langsung membelalak membaca pesan masuk dari nomor tak dikenal. Dia langsung mengubah posisinya menjadi duduk dengan punggung tegap. [Istriku, ini nomor suamimu. Tolong disimpan, ya.] [Suamimu, Muhammad Hafifi.] "Ya Allah
"Saya akan bicarakan perihal ini dulu dengan kedua orang tua. Insyallah hari ini saya akan pulang ke Jombang dan segera membicarakannya untuk kejelasan." Laki-laki bercambang tipis itu mengembuskan napas panjang. Lalu melanjutkan. "Jujur, saya juga berat menerima pernikahan ini. Tapi ... saya sebagai lelaki juga tidak akan meninggalkan apa yang sudah menjadi tanggung jawab saya begitu saja. Saya ... akan mengupayakan untuk mempertahankan pernikahan ini dan meresmikannya untuk melindungi hak perempuan," terangnya dengan tenang dan tanpa keraguan sedikit pun. Seolah yakin jika perempuan yang kini sedang menatapnya dengan jengkel itu adalah jodoh yang sudah Allah tetapkan untuknya. Ara mungkin jauh dari kata anggun karena memang karakternya keras dan mandiri akibat tempaan saat pelatihan menjadi prajurit TNI. Namun, Hafifi yakin jika di balik sifat kerasnya itu akan selalu tersimpan sisi perempuan yang mungkin tidak akan ditunjukkan pada orang lain, kecuali keluarganya. "Kenap
Laki-laki bercambang tipis itu terdiam sejenak. Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "saya akan berbicara hal ini dengan kedua orang tua saya dulu, Pak, Bu. Meski saya juga tidak menyangka akan menikah dengan cara seperti ini. Tapi saya memiliki prinsip untuk menikah hanya sekali seumur hidup. Saya pun yakin jika Allah memberikan jalan hidup saya seperti ini pasti ada kebaikan di dalamnya." Wulan menatap suaminya yang mengangguk. Sementara Ara tetap menatap penuh selidik. "Sekarang ceritakan siapa dirimu sebenarnya?" tanya Ara penasaran. "Kalau kamu memang bagian dari para gengster itu, maka aku akan mengantarmu ke jeruji besi karena sudah mengusik ketenangan warga sekitar!" tekannya menatap penuh intimidasi. "Ara, nggak boleh asal nuduh begitu tanpa bukti yang jelas," tegur sang mama. "Mana ada penjahat mau ngaku, Mama," balas Ara sambil memutar bola matanya. Namun, Hafifi sama sekali tak terusik. Senyum tipis terukir di wajah manisnya. "Sebelumnya, saya
["Hallo, Assalamu'alaikum, Mas. Tumben malam-malam telepon?"] Tubuh Ara lemas seketika mendengar suara Awan di seberang telepon. Dia mengusap wajahnya sambil menyandar pasrah. "Maaf, Wan ganggu. Ada hal penting ini. Ara ... Ara mau menikah." ["Apa? Menikah? Kapan? Kok dadakan? Tapi bukannya dia belum boleh menikah, ya karena kan masih belum dua tahun berdinas."] "Itu dia, Wan. Kena musibah," katanya pelan. Lalu mengembuskan napas kasar. ["Musibah? Gimana maksudnya, Mas?"] "Iya, Wan. Jadi ...." Purnomo menceritakan semua kejadiannya secara detail. Mulai dari versi orang-orang yang memergoki Ara dan Hafifi berduaan. Sampai versi Ara dan Hafifi. ["Astaghfirullah ...."] "Keputusan nggak bisa diganggu gugat, Wan. Mereka harus menikah sekarang juga," ujarnya tampak sedikit berat. Terlebih melihat bagaimana reaksi Ara. "Aku minta kamu jadi wali nikah Ara sekarang, Wan. Nikahkan Ara meski lewat sambungan telepon," pintanya. ["Ya Allah ... kok bisa begini? Ara nggak bisa menekan?