“Mas, ngapain di sini? Bukannya nunggu di luar.”
Teguran dari Bintang membuat Purnomo menoleh dan mengembuskan napas sedikit kasar. Lalu menariknya menjauh dan menuruni tangga. “Kamu udah selesai?” Purnomo bertanya balik. “Udah. Tapi, Mas ngapain di sini? Aku baru mau turun. Eh, liat Mas Pur di sini.” Sang Adik menatap wajah kakaknya penuh selidik. Apalagi tadi terlihat tersenyum-senyum sendiri dengan wajah yang merona. Seperti orang yang sedang jatuh cinta. “Nggak papa. Udah yuk pulang. Udah ashar!” ajaknya sambil menarik tangan adiknya menuju parkiran motor. “Jangan gandengan, Mas. Nanti dikira aku selingkuh!” protesnya sambil melepaskan genggaman tangan kakaknya. “Ya ampun!” geramnya yang langsung menggandeng lagi tangan sang Adik dan membuatnya kesal. Tapi malah Purnomo tertawa jahil. “Udah ayo naik!” Bintang pun naik di belakang Purnomo sambil berpegangan pada jaket lelaki bertubuh tinggi itu. “Ada yang Mas Pur intai kah di lantai dua tadi? Kayak lagi mengintai seseorang,” cecar Bintang menatap wajah kakaknya dari kaca spion. “Kepo lu!” sahutnya dengan santai. “Ish ….” Bintang menepuk bahu kakaknya pelan. “Tapi roman-romannya kayak lagi jatuh cinta,” imbuhnya dengan senyum mengembang. “Iya nggak, Mas? Ngaku deh!” “Sok tahu!” sahutnya sambil mati-matian menahan senyum. Hatinya kembali berbunga-bunga saat kembali teringat wajah Wulan yang sudah bertahun-tahun tak dilihatnya dan selalu dirindukannya. Teringat dulu saat pertama kali bertemu. Wajahnya yang sedikit tembam membuatnya gemas dan sering kali mencubit pipinya saat bertemu sepulang sekolah. Ya, Wulan adalah perempuan istimewa bagi Purnomo setelah ibu dan adiknya. Pertemuannya dengan Wulan membuat hatinya semakin berwarna. Membuat semangat dalam dirinya terus bertambah setiap harinya. Namun sayang, semua itu tidaklah lama. Hanya berlangsung selama empat belas bulan. Kisah cinta mereka kandas dengan alasan yang tidak jelas. Keduanya berpisah dan tak pernah terjalin komunikasi lagi setelahnya hingga saat ini. Namun, perasaannya pada Wulan tidak pernah berubah sejak pertama kali Purnomo menyatakan cintanya pada wanita berdagu terbelah itu. “Awas, Mas!” Seketika itu Purnomo menarik rem dan membuat motor berhenti mendadak saat di depannya ada truk berhenti karena mogok. Padahal sudah diberi tanda, tapi karena pikiran Purnomo tengah melalang buana, membuatnya tak melihat. Dan itu membahayakan. “Astaghfirullah, hampir aja …,” desisnya sambil mengusap dada dan mengatur napas. “Mas ini gimana sih? Truk segede gitu masa gak lihat?” omel Bintang. “Iya, maaf, Dek,” lirihnya. “Kamu nggak papa kan?” Purnomo menoleh dan menatap adiknya yang terlihat kesal. “Untung aja nggak sampai nubruk,” omelnya lagi. “Iya, maaf. Ya udah jalan lagi.” “Hati-hati dan fokus!” tukasnya mengingatkan. “Iyaaa ….” Motor pun kembali melaju dengan kecepatan sedang. Kali ini Purnomo fokus pada jalan. Hingga mereka pun sampai di rumah dengan selamat. *** Pagi harinya, saat sedang sarapan bersama, Purnomo menawarkan diri mengantar sang Adik menuju rumah sakit tempatnya mengabdi sebagai perawat. “Dek, hari ini Mas yang antar kamu kerja, ya!” katanya dengan senyum merekah. “Tumben?” balas sang Adik sambil mencebikkan bibirnya. “Mas mau sekalian jenguk ibunya temen di rumah sakit.” “Oh … ada maunya ternyata.” Bintang mengangguk. “Ya udah sih. Ayo berangkat!” ajaknya saat sarapan di piring sudah habis. “Sabar, Pur. Ini nasi adik kamu masih kok,” katanya menatap putranya. “Abisin dulu aja, Nduk.” “Siap, Bu …,” sahutnya dengan senyuman. Membuat Purnomo memutar bola matanya. “Pur, Ibu sudah bilang sama Mamanya Shela tentang perjodohan kalian.” Ningsih baru buka suara tentang rencananya untuk menjodohkan anak lelakinya dengan anak perempuan temannya itu. “Bu, perjanjiannya kan tiga bulan. Lha ini sebulan aja belum ada udah main jodoh-jodohin aja,” kesal Purnomo. “Ya buat jaga-jaga aja. Sampai saat ini juga kamu belum ada pergerakan.” “Lagian kenapa sih sama Mbak Shela? Dia cantik kok, ramah, baik banget lagi sama aku. Aku yakin nanti bisa jadi kakak ipar yang baik juga buat aku,” timpal Bintang usai menyelesaikan suapan terakhir. “Lihat aja nantilah. Nggak usah jodoh-jodohin. Aku bisa cari jodoh sendiri kok. Aku akan bawa mantu yang baik buat Ibu dan kakak ipar yang baik buat Bintang. Shela itu terlalu centil, baik juga kalau ada maunya doang,” ujarnya. “Emang udah nemu, Mas?” “Udah, tenang saja. Lagi proses. Doain aja,” sahutnya membuat kedua perempuan di hadapannya itu saling melempar pandangan dengan senyuman. “Ayo berangkat! Ntar kesiangan lho!” ajaknya menatap adiknya yang mengangguk. “Tapi pakai motor matic. Nggak mau pakai motor trail,” tolaknya. “Iya, beres … yuk!” “Sebentar, ambil tas dulu.” Bintang ke kamarnya untuk mengambil tas. Kemudian keduanya pamitan pada sang Ibu. Lalu melaju menuju rumah sakit. Sebelumnya, Purnomo juga sudah memberitahu Awan jika dia hendak menjenguk ibunya yang dirawat di rumah sakit tempat Bintang bekerja. Sesampainya di rumah sakit, Bintang langsung masuk ke ruang kerjanya. Sementara Purnomo menunggu Awan menjemputnya di bawah. Dia pura-pura tidak tahu di mana letak ruang rawat ibunya. Mereka pun berjalan menuju lantai dua dan berhenti di ruangan flamboyant. Degup jantungnya semakin berpacu cepat, begitu gugup karena akan bertemu langsung dengan perempuan yang begitu dia rindukan dan impikan. Awan pun membuka pintu sambil mengucapkan salam. Purnomo mengikutinya di belakang sambil membawa buah yang tadi sempat dibelinya saat hendak ke rumah sakit. “Ma, Awan bawa temen. Mau jenguk Mama,” katanya sambil mendekati tempat tidur ibunya yang terbaring lemah dan menyambut kedatangan Purnomo dengan senyuman. “Gimana keadaannya, Bu?” sapa Purnomo sambil menjabat tangannya dan mencium punggung tangannya yang terbebas dari selang infus. “Alhamdulillah sudah lebih baik dari kemarin,” lirihnya. “Ini teman ketemu di mana? Mama baru pernah lihat, Wan?” tanyanya menatap putranya. “Ketemu di Gunung Sindoro, Ma. Naik bareng. Kebetulan orang Jogja. Eh, kebetulan lagi ketemu di sini dan adiknya kerja di sini juga. Iya, Mas?” “Nggih, Bu. Betul. Tadi nganter adik sekalian jenguk Ibu,” sahut Purnomo mengangguk sopan. “Maasyaallah … nggak ada yang kebetulan, Nak. Semua sudah direncanakan oleh Allah,” balasnya dengan senyum lemah. Iya, Bu. Memang. Dan pertemuanku dengan Awan yang membuat aku bisa melihat perempuan yang aku cinta. Purnomo hanya mengangguk dan tersenyum. “Kamu sendirian, Wan?” tanya Purnomo saat tidak melihat siapapun di ruang rawat selain Awan dan ibunya. “Nggak. Sama kakak ipar, tapi tadi lagi keluar sebentar. Beli sarapan di bawah sama beli apa itu tadi pesenan Mama,” katanya. “Paling sebentar lagi balik,” imbuhnya. Purnomo mengangguk. Lalu mengobrol lagi dengan ibunya Awan. Hingga Purnomo dan Awan menoleh ke arah pintu yang terbuka. Sosok perempuan yang dirindukan Purnomo pun muncul dari balik pintu. Memberikan senyuman terbaiknya. Namun seketika lenyap saat menyadari ada orang lain selain mantan ibu mertua dan adik iparnya.Malam beranjak naik. Ummi Rahmah diantar pulang ke hotel oleh Wulan dan Purnomo. Sebenarnya, Wulan ingin Ummi Rahmah menginap di rumahnya saja agar bisa ngobrol banyak dan mengakrabkan diri. Namun, Ummi Rahmah menolak. Merasa tak enak hati. "Ummi, nginap saja di rumah," ujar Wulan menatap penuh harap. "Insyallah kapan-kapan saja kalau Ara sudah di rumah. Sebenarnya juga pengin temenin mantu di rumah sakit. Tapi biar saja ada suaminya," kekehnya. "Iya, Mi. Biar mereka makin dekat," sahut Wulan. Purnomo sendiri yang sibuk dengan setirnya hanya tersenyum mendengar obrolan mereka. Hingga tiba di depan lobby hotel, Ummi Rahmah turun dan Wulan juga Purnomo pamit menuju rumahnya. Ara sendiri dijaga oleh Galaxy juga Hafifi. Dia diharuskan menginap satu malam untuk memantau perkembangannya. "Permisi, mau antar makan malam." Seorang pramusaji rumah sakit masuk mendorong troli berisi makanan dan obat untuk Ara. Lalu meletakkan makanannya di meja. "Terima kasih, Bu."
"Assalamualaikum, Ma?" ["Wa'alaikumsalam. Hafifi sudah di situ, Nak? Mama sudah sampai di parkiran. Kamu di ruangan mana?"] "Lantai tiga, Ma. Ruang Bugenvil nomor dua." ["Ya udah. Mama sama ayah ke sana sekarang, ya."] "Iya, Ma. Di sini juga ada ibunya Hafifi," katanya sambil menatap perempuan itu yang mengangguk dengan senyum tipis. ["MaasyaAllah ... ya sudah. Mama sudah masuk lift. Telepon Mama matiin, ya."] "Iya, Ma. Hati-hati." Ara mematikan panggilan teleponnya. Lalu menatap Ummi Rahmah yang juga menatapnya. "Mama saya sebentar lagi sampai, Mi," katanya memberitahu. "Alhamdulillah, nggak sabar ketemu besan," sahutnya dengan antusias. Meski sudah berusia empat puluh delapan tahun, ibunya Hafifi ini memang modis dan masih terlihat awet muda. Bahkan kecantikannya hampir sama dengan ibunya Ara yang usianya lima tahun di bawah Ummi Rahmah. Ibunya Hafifi seorang dosen juga ustadzah yang mengajar di pesantren miliknya sendiri. Jadwalnya padat dan sibuk. Sehingg
"Tidak, Lettu. Tidak apa," jawab Ara sedikit gugup. Namun, dia berhasil menguasai diri. "Terima kasih untuk bantuannya tadi," katanya mengangguk sopan. "Iya. Jangan terima kasih terus. Saya akan selalu usahakan ada buat Serda Ara sebelum orang tua Serda Ara datang," katanya dengan senyum tulus. "Emm ... saya rasa tidak perlu. Karena di sini sudah ada saya. Jadi, biar saya yang akan mengurusi keperluan is ... emmm ... Ara," timpal Hafifi begitu posesif menjaga istrinya. Ara menatap lelaki itu dengan kening berkerut. Merasa heran dengan sikap Hafifi yang menurutnya berlebihan. "Oh, begitu. Ya sudah. Kalau begitu saya pamit, ya, Serda Ara. Kalau butuh apa-apa hubungi saya saja. Saya akan usahakan," katanya lagi sebelum digiring keluar ruang rawat Ara oleh Hafifi. "Ah, ya. Terima kasih banyak." Hafifi yang menimpali. Kemudian menutup pintu dan menutupnya rapat-rapat setelah Lettu Arhan benar-benar pergi. "Kamu nggak seharusnya bersikap seperti itu sama Lettu Arhan. Dia itu ata
Kata-kata yang keluar dari mulut Hafifi masih terus terbayang di benak Ara. Pikirannya terus berputar. 'Bagaimana bisa dia berpikir akan melanjutkan pernikahan ini? Sedangkan aku menolak keras. Aku masih ingin berkarir di dunia militer tanpa terikat pernikahan dulu. Masih banyak hal yang ingin aku lakukan untuk bisa membanggakan almarhum Papa.' Ara berusaha untuk fokus saat latihan bela diri. Namun, bayang-bayang wajah Hafifi terus menghantuinya. Hingga saat lawan menyerang, Ara yang tak siap terjatuh dengan tangan sebagai tumpuan. Gadis itu mengerang menahan rasa sakit di tangan kanannya. "Arggghhh!" Dia memejamkan kedua matanya. Berusaha menahan sakit yang menjalar dari siku hingga jai-jemarinya. "Astaga, Ara! Maaf, ya." Temannya langsung membantu berdiri sambil terus mengucapkan kata maaf karena dia tadi yang menyerangnya. "Bawa ke klinik sekarang!" titah pelatih dengan raut wajah cemas. Namun, tetap berusaha tegas dan tenang. "Tanganku sakit banget." Ara merasa
"Masih proses ta'aruf kan, Mi. Masih bisa dibatalkan kok. Lagian belum sampai pada tahap nadzor. Kita bisa bicarakan ini baik-baik melalui Pakde Hasan. Sebagai perwakilan keluarga kita," terangnya mencoba menenangkan ibunya. "Iya juga sih. Tapi tetap tidak enak hati sama Pak Yai dan Bu Nyai." "Ya, mau bagaimana lagi, Mi? Ara yang sekarang sudah sah menjadi istriku lebih pantas aku perjuangkan daripada Hasna." Ummi Rahmah mengembuskan napas panjang. Pasrah dengan keputusan yang diambil putranya. "Ya sudah kalau memang kamu sudah yakin dengan pilihan kamu, Nak. Kamu sudah tahu mana yang terbaik. Semoga Allah melimpahkan keberkahan pada pernikahan kalian," katanya dengan lembut. Hafifi mengaminkan doa sang ibu dengan seulas senyum. Hatinya lega karena sudah mendapat restu dari sang ibu tercinta. "Mana coba Ummi lihat foto menantu Ummi? Penasaran," pintanya. Hafifi menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Kenapa?" Ummi Rahmah menatap dengan kening be
"Taipur?" gumam Ara saat dia sudah berada di dalam kamar nyamannya. Dia sudah pulang ke rumah dan mandi agar tubuh lelahnya terasa sedikit segar. Taipur? Tawaran atasannya tadi masih terngiang-ngiang dalam benaknya. Sebenarnya bisa saja, apalagi dia ditawari langsung oleh atasannya. Tinggal kemauannya saja untuk ikut daftar dan mengikuti pendidikan selama tujuh bulan. Tapi bagaimana dengan pernikahannya dengan Hafifi? Ara mengembuskan napas panjang. Lalu memilih merebahkan tubuh lelahnya. Menutup kedua matanya dengan napas teratur. Mencoba terlelap, tapi pikirannya masih melalang buana. Hingga dering ponsel yang menandakan pesan masuk mengusik waktu istirahatnya. Dengan gerak malas, tangan Ara meraih ponsel yang ada di atas nakas. Kedua matanya langsung membelalak membaca pesan masuk dari nomor tak dikenal. Dia langsung mengubah posisinya menjadi duduk dengan punggung tegap. [Istriku, ini nomor suamimu. Tolong disimpan, ya.] [Suamimu, Muhammad Hafifi.] "Ya Allah
"Saya akan bicarakan perihal ini dulu dengan kedua orang tua. Insyallah hari ini saya akan pulang ke Jombang dan segera membicarakannya untuk kejelasan." Laki-laki bercambang tipis itu mengembuskan napas panjang. Lalu melanjutkan. "Jujur, saya juga berat menerima pernikahan ini. Tapi ... saya sebagai lelaki juga tidak akan meninggalkan apa yang sudah menjadi tanggung jawab saya begitu saja. Saya ... akan mengupayakan untuk mempertahankan pernikahan ini dan meresmikannya untuk melindungi hak perempuan," terangnya dengan tenang dan tanpa keraguan sedikit pun. Seolah yakin jika perempuan yang kini sedang menatapnya dengan jengkel itu adalah jodoh yang sudah Allah tetapkan untuknya. Ara mungkin jauh dari kata anggun karena memang karakternya keras dan mandiri akibat tempaan saat pelatihan menjadi prajurit TNI. Namun, Hafifi yakin jika di balik sifat kerasnya itu akan selalu tersimpan sisi perempuan yang mungkin tidak akan ditunjukkan pada orang lain, kecuali keluarganya. "Kenap
Laki-laki bercambang tipis itu terdiam sejenak. Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "saya akan berbicara hal ini dengan kedua orang tua saya dulu, Pak, Bu. Meski saya juga tidak menyangka akan menikah dengan cara seperti ini. Tapi saya memiliki prinsip untuk menikah hanya sekali seumur hidup. Saya pun yakin jika Allah memberikan jalan hidup saya seperti ini pasti ada kebaikan di dalamnya." Wulan menatap suaminya yang mengangguk. Sementara Ara tetap menatap penuh selidik. "Sekarang ceritakan siapa dirimu sebenarnya?" tanya Ara penasaran. "Kalau kamu memang bagian dari para gengster itu, maka aku akan mengantarmu ke jeruji besi karena sudah mengusik ketenangan warga sekitar!" tekannya menatap penuh intimidasi. "Ara, nggak boleh asal nuduh begitu tanpa bukti yang jelas," tegur sang mama. "Mana ada penjahat mau ngaku, Mama," balas Ara sambil memutar bola matanya. Namun, Hafifi sama sekali tak terusik. Senyum tipis terukir di wajah manisnya. "Sebelumnya, saya
["Hallo, Assalamu'alaikum, Mas. Tumben malam-malam telepon?"] Tubuh Ara lemas seketika mendengar suara Awan di seberang telepon. Dia mengusap wajahnya sambil menyandar pasrah. "Maaf, Wan ganggu. Ada hal penting ini. Ara ... Ara mau menikah." ["Apa? Menikah? Kapan? Kok dadakan? Tapi bukannya dia belum boleh menikah, ya karena kan masih belum dua tahun berdinas."] "Itu dia, Wan. Kena musibah," katanya pelan. Lalu mengembuskan napas kasar. ["Musibah? Gimana maksudnya, Mas?"] "Iya, Wan. Jadi ...." Purnomo menceritakan semua kejadiannya secara detail. Mulai dari versi orang-orang yang memergoki Ara dan Hafifi berduaan. Sampai versi Ara dan Hafifi. ["Astaghfirullah ...."] "Keputusan nggak bisa diganggu gugat, Wan. Mereka harus menikah sekarang juga," ujarnya tampak sedikit berat. Terlebih melihat bagaimana reaksi Ara. "Aku minta kamu jadi wali nikah Ara sekarang, Wan. Nikahkan Ara meski lewat sambungan telepon," pintanya. ["Ya Allah ... kok bisa begini? Ara nggak bisa menekan?