“Wulan, ayo sini masuk. Mama kenalin sama temannya Awan. Ketemu di Gunung Sindoro katanya,” ujar ibunya Awan dengan senyuman.
“I-iya, Ma,” lirihnya dengan kepala tertunduk. Lalu berjalan perlahan menghampiri mantan ibu mertuanya dan berdiri di sisinya. “Tadi Wulan beli bubur ayam pesanan Mama,” katanya. “Mau dimakan sekarang?” tawarnya. “Kok beli di luar, Ma? Kan dapat jatah makan dari rumah sakit?” tanya Awan menatap heran. “Nggak enak, Wan. Malah bikin Mama enek kalau makan makanan rumah sakit,” sahutnya. “Makan sekarang saja, Nak,” pintanya menoleh pada Wulan yang mengangguk. Sedangkan pandangan Purnomo terpaku pada sosok perempuan yang begitu dia rindukan selama sepuluh tahun tak berjumpa dan tak pernah terjalin komunikasi. Dia begitu menikmati apa yang tersaji di hadapannya. Sikap lembut dan sopan santun yang membuatnya semakin terkesima. Padahal dulu saat masih pacarana dengannya, Wulan adalah sosok perempuan yang keras kepala, tapi manja. Meski begitu, Purnomo tetap cinta. Bahkan rasa cintanya tidak luntur hingga detik ini. “Oh, ya. Nak Pur, ini namanya Wulan. Mantu ibu,” katanya memperkenalkan Wulan. “Iya. Saya … Purnomo,” sahutnya mengangguk. “Mantan menantu, Ma. Kan Mas Langit udah nggak ada,” sahut Awan seolah tak suka. “Dia akan tetap jadi mantu Mama. Karena usai masa iddah, Mama akan nikahkan kalian berdua!” tegasnya. Sedangkan Wulan hanya mengangguk dengan sedikit menganggukkan kepalanya. Enggan membalas tatapan Purnomo. Padahal, lelaki itu ingin sekali menatap wajah pujaan hatinya dengan leluasa. Seakan ingin membayar rasa rindu yang sudah menggunung. Awalnya, Purnomo ingin langsung menyapa Wulan. Namun melihat reaksi Wulan yang enggan menatapnya, bahkan seperti orang yang tak kenal, Purnomo mengurungkan diri. Mengikuti alur yang dibuat oleh pujaan hatinya. Apa kamu masih marah sama aku, Lan? Atau benci? Purnomo mengalihkan pandangannya saat kedua matanya mulai mengembun. Dia tahu, dulu dialah yang mengakhiri hubungannya dengan Wulan. Membuat perempuan itu kesal dan bahkan memblokir nomor juga social medianya. Hingga Purnomo tidak bisa menghubungi Wulan lagi. Awan yang sadar akan tatapan Purnomo pada Wulan pun langsung menepuk bahu lelaki berkulit sawo matang itu. Membuat Purnomo sedikit terkesiap. “Mas, minumannya nanti dingin,” ujarnya mempersilakan Purnomo meminum teh hangat yang disajikan oleh Awan. “Eh, iya. Makasih,” sahutnya. Lalu menyeruput teh yang sudah hangat itu. “Ma, Wulan ke bawah sebentar, ya. Mama mau titip apa lagi?” tawarnya saat Ibunya Awan sudah menyelesaikan makan paginya. “Nggak deh, Nak. Perut Mama udah penuh,” sahutnya sambil mengusap perutnya yang sudah terasa penuh oleh bubur ayam. “Oh, ya sudah. Kalau begitu, Wulan ke bawah dulu. Kalau butuh apa-apa tinggal telepon saja, ya.” “Iya, Nak.” Wulan menatap sekilas pada Purnomo. Kemudian menunduk lagi dan melewatinya begitu saja. Dia ingin menghindari Purnomo. Namun, tak berselang lama, Purnomo pun pamit dan menyusul langkah Wulan yang ternyata berjalan ke arah taman yang ada di samping rumah sakit. “Wulan, tunggu!” Panggilan itu membuat perempuan berjilbab ungu itu menghentikan langkah tanpa menoleh. Dia mengembuskan napas panjang. Wulan tahu siapa yang memanggilnya. Suara itu tidak asing di telinganya. Purnomo pun mempercepat langkah. Dia sampai berlari kecil hingga kini ada di belakang Wulan. “Mau apa kamu, Pur?” tanyaya tanpa menoleh. “Aku mau minta maaf sama kamu, Lan,” ujarnya pelan. Saat itu, taman masih sepi. Hanya ada beberapa yang lalu lalang. “Minta maaf untuk apa?” “Maaf atas segala luka yang pernah aku goreskan di hatimu.” Purnomo menarik napas dalam. Ada sesak yang kembali hadir mengisi relung. Begitu juga dengan Wulan. Perempuan itu mengusap sudut matanya yang kembali basah saat kenangan-kenangan sepuluh tahun lalu bersama Purnomo kembali melintas begitu saja di kepalanya. “Lan, kamu … masih marah sama aku?” lirihnya membuat Wulan akhirnya menoleh dan menggeleng pelan. “Aku sudah melupakan semuanya, Pur.” Senyum di bibir Wulan membuat hati Purnomo remuk redam. Pasalnya, bibir Wulan tersenyum. Tapi sudut matanya basah. Purnomo tahu jika perempuan di hadapannya itu kini tengah berbohong. “Tapi aku nggak bisa, Lan. Penyesalan itu terus menghantuiku,” katanya jujur. Ditatapnya manik mata bening yang selalu menentramkan jiwa Purnomo. Ya, laki-laki itu suka dengan mata wanita pujaan hatinya yang selalu terlihat berbinar dan bening. Namun, kini binar matanya sudah lain. Seperti ada kesedihan yang tergambar jelas di kedua matanya. Dan Purnomo bisa melihat itu. Perempuan itu menggeleng pelan. “Lupakan semuanya, Pur. Kita sudah selesai sejak lama.” “Hatiku masih tertinggal di hatimu, Lan. Bertahun-tahun aku berusaha melupakanmu, tapi nggak bisa. Yang ada hatiku malah semakin merindukanmu,” lirihnya. Wulan mengembuskan napas panjang. Kepalanya kembali tertunduk. Kemudian perlahan mundur dan akhirnya memilih duduk di kursi tanaman. Sedangkan Purnomo tetap berdiri. “Aku ingin kita kembali, Lan. Beri aku kesempatan,” pintanya menatap serius. Seketika itu Wulan menggeleng sambil mengusap pipinya dengan cepat. “Nggak bisa, Pur. Kita sudah berbeda. Aku masih dalam masa iddah,” lirihnya. “Aku akan menunggu,” katanya dengan penuh keyakinan. “Lepas masa iddah, aku akan dinikahkan dengan Awan.” Purnomo menggeleng. “Aku yang akan menikahimu, Wulan. Aku ingin kita kembali menjadi kita. Membangun istana baru seperti mimpi kita dulu,” katanya dengan kedua mata yang sedikit berkabut. “Nggak bisa, Pur. Kita sudah berbeda. Aku nggak mungkin menolak permintaan ibunya Awan. Beliau sudah banyak membantuku. Aku berhutang budi padanya,” lirihnya. Lalu mengembuskan napas panjang. “Bisa, Mbak. Aku yang menyuruh Mas Pur untuk menikahimu.” Seketika itu Purnomo dan Wulan kompak menoleh. Mereka sedikit terkejut mendapati Awan ternyata ada di antara mereka. “Awan,” desis Purnomo menatap tak percaya. “Kamu salah paham, Awan,” kata Wulan dengan cemas. “Berarti dugaanku benar,” katanya dengan senyuman. “Dan … aku nggak salah menjodohkan Mas Pur dengan Mbak Wulan,” imbuhnya sambil menepuk bahu Purnomo. “M-maksudnya?” Wulan menatap keduanya dengan kening berkerut. “Aku tahu, Mbak mau menikah denganku usai masa iddah atas desakan Mama. Aku pun nggak mau menjalani pernikahan dengan terpaksa. Mbak tahu kan kalau aku sudah punya kekasih. Kami saling mencintai, Mbak. Aku ingin menikah dengannya,” jelas Awan. “Tapi, kita-“ “Aku sudah dengar semuanya, Mbak. Dan ternyata, perempuan yang bikin Mas Pur galau dan nggak nikah-nikah sampai disebut dengan bujang tua itu Mbak Wulan,” candanya menoleh pada Purnomo yang menundukkan kepalanya dengan senyuman. Wulan menatap Purnomo seolah tak percaya. “Benar, Lan. Namamu sudah terpatri di hatiku,” katanya pelan sambil menepuk dadanya. Wulan menggeleng pelan. Ini semua masih sulit dipercaya baginya. Purnomo yang dulu seakan menghindar dan membencinya, bahkan memutuskannya itu ternyata masih menyimpan rasa untuknya. 'Berarti selama ini cintaku nggak bertepuk sebelah tangan? Tapi bagaimana bisa? Lalu bagaimana dengan ibunya Awan? Haruskah aku menerima Purnomo lagi?' Wulan menatap cemas. Hatinya mendadak galau.Malam beranjak naik. Ummi Rahmah diantar pulang ke hotel oleh Wulan dan Purnomo. Sebenarnya, Wulan ingin Ummi Rahmah menginap di rumahnya saja agar bisa ngobrol banyak dan mengakrabkan diri. Namun, Ummi Rahmah menolak. Merasa tak enak hati. "Ummi, nginap saja di rumah," ujar Wulan menatap penuh harap. "Insyallah kapan-kapan saja kalau Ara sudah di rumah. Sebenarnya juga pengin temenin mantu di rumah sakit. Tapi biar saja ada suaminya," kekehnya. "Iya, Mi. Biar mereka makin dekat," sahut Wulan. Purnomo sendiri yang sibuk dengan setirnya hanya tersenyum mendengar obrolan mereka. Hingga tiba di depan lobby hotel, Ummi Rahmah turun dan Wulan juga Purnomo pamit menuju rumahnya. Ara sendiri dijaga oleh Galaxy juga Hafifi. Dia diharuskan menginap satu malam untuk memantau perkembangannya. "Permisi, mau antar makan malam." Seorang pramusaji rumah sakit masuk mendorong troli berisi makanan dan obat untuk Ara. Lalu meletakkan makanannya di meja. "Terima kasih, Bu."
"Assalamualaikum, Ma?" ["Wa'alaikumsalam. Hafifi sudah di situ, Nak? Mama sudah sampai di parkiran. Kamu di ruangan mana?"] "Lantai tiga, Ma. Ruang Bugenvil nomor dua." ["Ya udah. Mama sama ayah ke sana sekarang, ya."] "Iya, Ma. Di sini juga ada ibunya Hafifi," katanya sambil menatap perempuan itu yang mengangguk dengan senyum tipis. ["MaasyaAllah ... ya sudah. Mama sudah masuk lift. Telepon Mama matiin, ya."] "Iya, Ma. Hati-hati." Ara mematikan panggilan teleponnya. Lalu menatap Ummi Rahmah yang juga menatapnya. "Mama saya sebentar lagi sampai, Mi," katanya memberitahu. "Alhamdulillah, nggak sabar ketemu besan," sahutnya dengan antusias. Meski sudah berusia empat puluh delapan tahun, ibunya Hafifi ini memang modis dan masih terlihat awet muda. Bahkan kecantikannya hampir sama dengan ibunya Ara yang usianya lima tahun di bawah Ummi Rahmah. Ibunya Hafifi seorang dosen juga ustadzah yang mengajar di pesantren miliknya sendiri. Jadwalnya padat dan sibuk. Sehingg
"Tidak, Lettu. Tidak apa," jawab Ara sedikit gugup. Namun, dia berhasil menguasai diri. "Terima kasih untuk bantuannya tadi," katanya mengangguk sopan. "Iya. Jangan terima kasih terus. Saya akan selalu usahakan ada buat Serda Ara sebelum orang tua Serda Ara datang," katanya dengan senyum tulus. "Emm ... saya rasa tidak perlu. Karena di sini sudah ada saya. Jadi, biar saya yang akan mengurusi keperluan is ... emmm ... Ara," timpal Hafifi begitu posesif menjaga istrinya. Ara menatap lelaki itu dengan kening berkerut. Merasa heran dengan sikap Hafifi yang menurutnya berlebihan. "Oh, begitu. Ya sudah. Kalau begitu saya pamit, ya, Serda Ara. Kalau butuh apa-apa hubungi saya saja. Saya akan usahakan," katanya lagi sebelum digiring keluar ruang rawat Ara oleh Hafifi. "Ah, ya. Terima kasih banyak." Hafifi yang menimpali. Kemudian menutup pintu dan menutupnya rapat-rapat setelah Lettu Arhan benar-benar pergi. "Kamu nggak seharusnya bersikap seperti itu sama Lettu Arhan. Dia itu ata
Kata-kata yang keluar dari mulut Hafifi masih terus terbayang di benak Ara. Pikirannya terus berputar. 'Bagaimana bisa dia berpikir akan melanjutkan pernikahan ini? Sedangkan aku menolak keras. Aku masih ingin berkarir di dunia militer tanpa terikat pernikahan dulu. Masih banyak hal yang ingin aku lakukan untuk bisa membanggakan almarhum Papa.' Ara berusaha untuk fokus saat latihan bela diri. Namun, bayang-bayang wajah Hafifi terus menghantuinya. Hingga saat lawan menyerang, Ara yang tak siap terjatuh dengan tangan sebagai tumpuan. Gadis itu mengerang menahan rasa sakit di tangan kanannya. "Arggghhh!" Dia memejamkan kedua matanya. Berusaha menahan sakit yang menjalar dari siku hingga jai-jemarinya. "Astaga, Ara! Maaf, ya." Temannya langsung membantu berdiri sambil terus mengucapkan kata maaf karena dia tadi yang menyerangnya. "Bawa ke klinik sekarang!" titah pelatih dengan raut wajah cemas. Namun, tetap berusaha tegas dan tenang. "Tanganku sakit banget." Ara merasa
"Masih proses ta'aruf kan, Mi. Masih bisa dibatalkan kok. Lagian belum sampai pada tahap nadzor. Kita bisa bicarakan ini baik-baik melalui Pakde Hasan. Sebagai perwakilan keluarga kita," terangnya mencoba menenangkan ibunya. "Iya juga sih. Tapi tetap tidak enak hati sama Pak Yai dan Bu Nyai." "Ya, mau bagaimana lagi, Mi? Ara yang sekarang sudah sah menjadi istriku lebih pantas aku perjuangkan daripada Hasna." Ummi Rahmah mengembuskan napas panjang. Pasrah dengan keputusan yang diambil putranya. "Ya sudah kalau memang kamu sudah yakin dengan pilihan kamu, Nak. Kamu sudah tahu mana yang terbaik. Semoga Allah melimpahkan keberkahan pada pernikahan kalian," katanya dengan lembut. Hafifi mengaminkan doa sang ibu dengan seulas senyum. Hatinya lega karena sudah mendapat restu dari sang ibu tercinta. "Mana coba Ummi lihat foto menantu Ummi? Penasaran," pintanya. Hafifi menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Kenapa?" Ummi Rahmah menatap dengan kening be
"Taipur?" gumam Ara saat dia sudah berada di dalam kamar nyamannya. Dia sudah pulang ke rumah dan mandi agar tubuh lelahnya terasa sedikit segar. Taipur? Tawaran atasannya tadi masih terngiang-ngiang dalam benaknya. Sebenarnya bisa saja, apalagi dia ditawari langsung oleh atasannya. Tinggal kemauannya saja untuk ikut daftar dan mengikuti pendidikan selama tujuh bulan. Tapi bagaimana dengan pernikahannya dengan Hafifi? Ara mengembuskan napas panjang. Lalu memilih merebahkan tubuh lelahnya. Menutup kedua matanya dengan napas teratur. Mencoba terlelap, tapi pikirannya masih melalang buana. Hingga dering ponsel yang menandakan pesan masuk mengusik waktu istirahatnya. Dengan gerak malas, tangan Ara meraih ponsel yang ada di atas nakas. Kedua matanya langsung membelalak membaca pesan masuk dari nomor tak dikenal. Dia langsung mengubah posisinya menjadi duduk dengan punggung tegap. [Istriku, ini nomor suamimu. Tolong disimpan, ya.] [Suamimu, Muhammad Hafifi.] "Ya Allah