Share

Bab 3. Pembicaraan Pernikahan

Sinar sang Surya mulai beranjak, namun tak terlalu naik bertemankan angin yang semilir menggoyangkan dedaunan yang tumbuh di halaman rumah Alira.

Tepat di saat pukul 10:00, terlihat sedan mewah Papa Bagaskara, melaju pelan memasuki pintu pagar rumah Alira yang terbuka, sebelum berhenti tepat di halaman rumah Alira yang cukup luas.

"Ayo masuk Sat!" ucap Papa Bagaskara, duduk di kursi belakang di samping anaknya.

Terlihat antusias ingin segera menemui calon besannya, sahabat baiknya sendiri.

Berbeda dengan Satria yang terlihat lesu, masih menyandarkan kepalanya di sandaran mobil tak ingin beranjak keluar dari mobil papanya.

"Ayo,"

"Aku masih belum yakin dengan keputusanku ini Pa!" lirih Satria, dengan wajah memelasnya, dengan harapannya yang sangat besar, bisa merubah pikiran Papanya.

"Sudah lah Sat! percaya sama Papa, Papa yakin kamu akan suka sama Alira, dia gadis baik juga cantik Sat! kamu nggak akan menyesal menikahinya!"

"Tapi aku nggak ada hati untuk dia Pa! aku mencintai Azkia!" jawab Satria, masih dengan tampang memelasnya mencoba menyentuh hati Papanya yang keras kepala.

Gagal, Papa Bagas masih tetap teguh dengan pendiriannya, sama sekali tak tersentuh dengan wajah melas putra tunggalnya.

Karena keinginan Papa Bagas yang begitu besar, ingin mendapatkan menantu sebaik dan secantik Alira.

Terlebih karena putri dari sahabatnya sendiri, membuatnya semakin yakin ingin segera meminang Alira sebagai menantu tunggalnya.

"Ayo cepat! itu Om Pras sudah kesini," lanjut Papa Bagas, segera turun dari mobilnya.

Menciptakan helaan nafas kasar di bibir Satria, mengacak rambutnya kesal karena rasa frustasinya yang meninggi.

"Assalamualaikum," ucap Papa Bagas, mengayunkan langkahnya mendekati Ayah Pras, segera menjabat dan memeluk tubuh calon besannya.

"Waalaikum salam," jawab Ayah Pras, mengulaskan senyum termanisnya, sebelum mengalihkan pandangan dan menjatuhkannya ke arah Satria yang baru turun dari mobil mendekatinya.

"Kenapa rambut kamu berantakan seperti itu Sat?" tanya Ayah Pras.

"Kena angin Om," jawab Satria asal, hanya memasang senyum tipis merapikan rambutnya sesaat setelah mencium tangan calon Papa mertuanya.

Menciptakan tawa di bibir Ayah Pras, segera mempersilahkan tamunya untuk masuk ke dalam rumah.

Sementara itu di dalam sebuah kamar, Alira masih menangis, masih setia duduk di depan meja riasnya.

Sebelum mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamarnya yang terbuka, beradu pandang dengan Bu Rani yang terdiam di balik pintu menatapnya pilu.

"Calon suami kamu sudah datang Ra," lirih Bu Rani, mengayunkan langkahnya mendekati putri sulungnya.

Dengan rasa sakit di hatinya, menyayat perih perasannya beradu pandang dengan mata basah salah satu putri kesayangannya.

Putri yang selalu terlihat ceria, kini terlihat pilu dengan mata  sembab menatapnya sendu.

Karena perjodohan yang di lakukan suaminya, karena hutang budi yang  harus di bayar lunas oleh suaminya.

Ikut menitikan air matanya, membalas pelukan Alira yang berdiri dan berhambur ke dalam pelukannya.

"Aku nggak mau di lamar Bu! aku nggak mau di jodohkan...," ucap Alira, membenamkan wajah basahnya ke dalam pelukan ibunya, berusaha meminta dan memohon kebaikan hati wanita yang di sayanginya.

Menggetarkan bibir Bu Rani menahan tangis, seraya mencium puncak kepala putrinya mengeratkan pelukannya.

"Ibu sama Ayah minta maaf ya Ra..., kami minta maaf..."

"Aku nggak akan bisa bahagia Bu...! aku nggak mungkin bisa hidup bahagia bersama dengan orang asing, bersama dengan orang yang nggak aku kenal Bu," lanjutnya lagi, semakin terisak dengan tangisannya yang tergugu.

"Kamu mengenalnya Sayang, dia putra Om Bagaskara, kamu juga pernah bertemu dengan dia kan?" jawab Bu Rani yang di sambut dengan gelengan cepat kepala putrinya.

"Aku nggak mengenalnya Bu, aku hanya sekedar tahu, untuk bicara pun aku nggak pernah Bu..." lanjut Alira, masih dengan isakan tangisnya semakin tergugu.

Menahan gejolak rasa ego di dirinya, ingin sekali lari dari rumah, meninggalkan perjodohan paksa kedua orang tuanya.

Namun sayang, karena kelembutan hati yang dia punya, membuatnya tak berdaya untuk melawan, hanya bertahan di dalam kesedihan, penghancur impiannya bersama Adam.

Karena kasih sayangnya, rasa cintanya yang begitu besar kepada ayah dan ibunya.

Tak ingin mempermalukan kedua orang tuanya, terlebih karena dirinya yang tak ingin menyandang status durhaka, yang tak punya bakti untuk mengurangi beban hutang Budi di pundak Ayahnya.

"Kamu akan bahagia Ra, Ibu sangat yakin kamu akan bahagia, karena ibu sendiri yang akan meminta kepada Allah, Ibu akan selalu berdoa untuk kamu Ra, di setiap sujud Ibu, Ibu nggak akan pernah lupa menyebut nama kamu," ucap Bu Rani, membelai puncak kepala putrinya, menahan rasa ngilu di hatinya.

Dengan tatapan nanar lurus kedepan, sebelum beradu pandang dengan Alira yang menegakkan kepala menatapnya dalam.

"Aku mencintai Adam Bu, aku nggak mau putus sama Adam Bu, aku nggak mau..." lirih Alira, dengan bibirnya yang bergetar menatap pilu.

"Nggak semua cinta bisa menciptakan pernikahan Ra, tapi pernikahan yang sadar dan terencana yang akan menciptakan cinta, meskipun nggak sekarang, mungkin nanti, suatu hari nanti, di saat Allah sendiri yang membuka hati kalian berdua untuk saling mencintai," jawab Bu Rani, mencakup kedua pipi putrinya beradu pandang.

"Kamu hanya perlu bersahabat dengan Satria Sayang, bersikap baiklah sebagai seorang istri, ibu yakin kalian berdua akan bahagia." Lanjut Bu Rani, dengan intonasinya yang sangat lembut menyeka air mata di pipi putrinya.

Berusaha memberi kekuatan di hati Alira, dengan senyum tipis yang tersunging di bibirnya beradu pandang.

Sebelum merengkuh kembali tubuh putrinya, membawa Alira ke dalam pelukannya sesaat setelah mengecup puncak kepala putrinya dalam.

Berusaha menahan rasa sakit yang menyesakkan hatinya, karena dirinya yang tak tega melihat tangisan putrinya yang merana.

Sementara itu di ruang tamu, sudah ditemani beberapa hidangan yang tersaji dia atas meja, terlihat Papa Bagas sudah duduk di atas sofa.

Bersebelahan dengan putranya yang terlihat lesu tak bergairah, bersebrangan dengan Ayah Pras yang terlihat semringah menimpali setiap obrolannya.

"Rani sama Alira mana?" tanya Papa Bagas, mengedarkan pandangannya mencari keberadaan calon besan perempuan dan calon menantunya.

"Masih di kamar Alira, bantuin Alira dandan mungkin," jawab Ayah Pras, dengan tawa renyahnya menjawab pertanyaan sahabatnya.

"Assalamuaikum," ucap Bu Rani, mengayunkan langkahnya keluar dari dalam rumah menemui calon besan dan menantunya.

Sudah tak ada lagi air mata, yang ada hanya senyum tipis yang di ulaskannya, sebagai bentuk sopan santunnya kepada tamu yang harus di sambutnya.

"Waalaikum salam," jawab semua nya, mengalihkan pandangan kompak menatap Bu Rani.

"Alira mana?" tanya Ayah Pras, beradu pandang dengan istrinya yang baru saja selesai menjabat tangan kedua tamunya bergantian.

"Itu Yah, Alira masih ada di kamar, lagi nggak enak badan," jawab Bu Rani, seraya mengayunkan langkahnya hendak duduk di samping Ayah Pras mengerutkan kening suaminya.

"Alira sakit?" tanya Papa Bagas yang di sambut dengan anggukan pelan kepala Bu Rani.

"Iya,  masuk angin Mas, jadi belum bisa menemui Mas Bagas sama Satria, kalau Mas Bagas nggak keberatan kita bisa mendiskusikan pernikahan anak kita tanpa Alira, " jawab Bu Rani yang di jawab dengan anggukan pelan calon besannya.

"Nggak papa, ini langsung saja ya Pras, Ran, aku ingin pernikahan putra putri kita di percepat, karena aku sudah nggak sabar ingin segera menggendong cucu," ucap Papa Bagas, menyentakkan hati Anaknya.

"Pa," panggil Satria menatap Papanya.

Bersamaan dengan gerakan kepala Ayah Pras dan Mama Rani yang menoleh beradu pandang.

"Papa ingin cepat punya cucu Sat! usia Papa sudah nggak muda lagi, jadi Papa ingin menggendong cucu dulu sebelum meninggal,"

"Astaga... meninggal lagi! meninggal lagi!" batin Satria frustasi, membuang pandangannya ke sembarang arah menahan kesal.

"Kapan Mas?" tanya Papa Pras.

"Bulan depan gimana?" jawab Papa Bagas.

"Ya Tuhan....!" batin Satria, menundukkan kepalanya, memejamkan matanya dalam menggosok dahinya pelan.

"Ayolah Pa, terlalu cepat...," melas Satria, mengalihkan pandangan papanya beradu pandang.

"Ya sudah tiga Minggu lagi,"

"Jangan bercanda lah Pa...,"

"Dua Minggu lagi!"

"Oke satu bulan lagi!" jawab Satria akhirnya, dengan rasa frustasinya yang meninggi mengakhiri.

Tak ingin lagi berdebat, karena gejolak rasa di hati, berusaha keras untuk menahan rasa kesal yang menguasai.

"Gimana Pras? Ran? kalian setuju kan kalau acara pernikahannya bulan depan?" tanya Papa Bagas, dengan senyum penuh harap, menatap kedua calon besannya bergantian.

"Terserah kamu saja Mas,"  jawab Ayah Pras, dengan senyum tipisnya beradu pandang.

***

Langit mulai menggelap tanpa sinar dari sang bintang dan rembulan, karena mendung yang menggantung bertemankan petir sebagai pertanda hujan akan turun.

Terlihat Alira, hanya berbaring di atas ranjang selepas melakukan kewajibannya kepada Tuhannya.

Tak ingin bangun dari tidurnya karena rasa lelah yang menguasainya, lelah akan tangisannya, akibat pupusnya harapan untuk masa depannya.

Yang ada hanya rasa pasrah, pasrah meskipun suram, pasrah meskipun menyakitkan.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu kamarnya, tak membuatnya bergerak, hanya terdiam memejamkan matanya.

"Lira...," panggil Bu Rani, sesaat setelah membuka pintu kamar putrinya yang tak terkunci.

Sebelum mengayunkan langkahnya, hendak duduk di tepi ranjang mendekati Alira.

"Ibu sudah masak makanan kesukaan kamu, kamu makan dulu ya? sudah di tunggu ayah sama adik kamu di meja makan," lirih Bu Rani, menyentuh kaki putrinya.

"Aku nggak lapar Bu," jawab Alira masih memejamkan matanya tak menggerakkan tubuhnya.

Menciptakan helaan nafas di bibir Bu Rani, membenarkan posisi tubuhnya, mengalihkan pandangannya lurus ke depan.

"Om Bagas ingin pernikahan kalian di percepat, dan Ayah kamu juga sudah menyetujuinya." Lirih Bu Rani, menahan buliran bening di balik kelopak matanya tak mengalihkan pandangannya.

Membuka mata Alira, tak merubah posisi tidurnya membelakangi Ibunya.

"Kapan Bu?" lirih Alira.

"Satu bulan lagi," jawab Bu Rani.

Tak membuat Alira bersuara, hanya memejamkan matanya dalam, menitikan buliran bening di mata indahnya.

Menahan rasa sesak di hatinya, kembali menyeruak menyakiti perasaannya, karena harapannya yang telah pupus, karena impiannya yang telah hancur.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status