Share

Bab 2. Bukti Bakti

Di kediaman Papa Bagaskara.

Malam telah menjelang, setelah kehilangan senja sore yang begitu indah di pandang mata, karena langit yang telah menggelap sempurna, dengan hiasan bintang yang menemani sang rembulan.

Terlihat Satria, duduk berselonjor diatas sofa kamarnya yang terlihat luas, tak mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya yang menyala di atas pangkuannya.

Karena dirinya yang tengah sibuk, membaca beberapa file yang di kirim oleh sekretarisnya lewat email.

Sebelum mengalihkan pandangannya, hanya sesaat karena suara ponselnya yang berdering di atas meja.

"Siapa sih?" gumamnya pelan, seraya meraih ponselnya tak mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya.

"Halo!" ucap Satria, sesaat setelah menggeser layar ponselnya, segera meletakkannya di telinga tak membaca nama yang tertera di dalamnya.

"Galak benar sih Yank?" protes wanita dari dalam ponselnya, menyentakkan hati Satria segera menutup layar laptopnya.

"Astaga Yank..., maaf ya aku nggak sengaja...," jawab Satria, dengan kekehan di bibirnya menyadari suara kekasih hatinya.

Azkia Caera 25 tahun, seorang pramugari yang selalu sibuk dengan jadwal terbangnya.

"Kenapa? ada apa?" tanya Satria.

"Nggak jadi!" ngambek Kia yang di sambut kembali dengan kekehan Satria.

"Jangan ngambek lah Yank..., maaf ya...," bujuk Satria, tak ingin wanita yang dicintainya marah, sebelum mengulaskan senyum termanisnya.

Karena mempannya permintaan maafnya, untuk menghilangkan rasa kesal di hati pujaan hatinya.

Satria Abraham, Direktur muda yang baru saja mengambil alih perusahaan Papanya, terlihat sangat dingin dan cuek untuk siapa saja yang tak mengenalnya.

Namun sangat sayang dan perhatian untuk orang-orang yang di kasihinya, termasuk kekasih hatinya, apapun pasti akan dia usahakan hanya untuk bisa membahagiakan wanita penghuni hatinya.

Setengah jam sudah waktu yang telah Satria habiskan untuk mengobrol bersama Azkia.

"Masuk," ucap Satria, mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamarnya yang terketuk.

Sebelum beradu pandang dengan Papa Bagaskara, sudah berdiri tegak di balik pintu kamarnya yang terbuka beradu pandang.

"Sibuk ya Sat?" tanya Papa Bagas, mengayunkan langkahnya mendekati putra tunggalnya.

"Aku tutup dulu ya Yank? ada Papa," ucap Satria kepada Kia, segera memutus panggilan teleponnya menatap Papanya.

"Nggak Pa, ada apa?" tanya Satria, meletakkan ponselnya di atas meja beradu pandang.

"Papa ingin bicara sama kamu," ucap Papa Bagas yang di sambut dengan anggukan pelan kepala anaknya.

Segera menurunkan kakinya, sesaat sebelum meletakkan laptopnya di atas meja.

"Bicara aja Pa," lanjut Satria, beradu pandang dengan Papa Bagaskara yang mengayunkan langkah hendak duduk di sofa kosong yang ada di sebelahnya.

"Papa ingin kamu nikah Sat," ucap Papa Bagas mengarutkan kening anaknya.

"Azkia belum siap nikah Pa, nanti satu satu tahun lagi katanya."

"Kelamaan! apa kamu ingin Papa meninggal dulu baru mau nikah?"

"Papa ini ngomong apa sih Pa?" protes Satria, merasa tak suka dengan kalimat Papanya.

"Makanya Sat! kamu nikah cepat! kalau memang pacar kamu itu belum siap, kamu bisa menikah sama wanita lain selain pacar kamu itu!" tegas Papa Bagas, semakin menyentakkan hati Satria.

"Ya nggak bisa seperti itu lah Pa! aku cintanya sama Azkia, nggak mungkin aku nikah sama perempuan lain selain Azkia!" jawab Satria.

"Papa sudah bicara sama Om Pras, Papa ingin melamar anaknya Alira untuk di nikahkan sama kamu!" lanjut Papa Bagas, semakin membulatkan mata anaknya menatapnya.

Dengan detak jantungnya yang berdetak sangat cepat, sama sekali tak menyangka dengan kalimat Papanya.

"Hari Minggu kita akan datang ke rumah Om Pras, kosongin jadwal kamu, dan Papa akan menyiapkan semuanya," tambah Papa Bagas, menciptakan senyum getir di bibir Satria.

Segera membuang pandangannya ke sembarang arah, sama sekali tak bisa percaya dengan kalimat yang baru di dengarnya.

"Papa bercanda kan?" jawab Satria, kembali mengalihkan pandanganya menatap Papanya.

"Papa serius Sat! Papa sangat ingin berbesan sama Om Pras!"

"Dan Papa ingin mengorbankan perasaan anak Papa untuk keinginan Papa itu?" protes Satria, dengan deru nafasnya yang mulai memburu, menahan emosi di hatinya.

Karena keinginan Papanya yang nggak masuk akal sangat jauh dari nalar.

Sebelum terdiam, karena wajah murung Papanya, dengan pandangan menerawang ke depan tak menatapnya.

"Tunggu satu tahun lagi ya Pa? aku akan menikahi Azkia," ucap Satria, dengan intonasi lirihnya mencoba untuk bernegosiasi sama Papanya.

Mengalihkan pandangan Papa Bagas menatapnya.

"Papa sangat ingin berbesan dengan Om Pras Sat, dan kamu satu-satunya anak Papa, kalau kamu nggak mau menikah sama Alira, apa kamu tahu betapa sedihnya Papa Sat?" jawab Papa Bagas, dengan wajahnya yang memelas mendesirkan hati anaknya.

Menghilangkan rasa kesal di hati Satria kembali membuang pandangannya ke sembarang arah.

Karena hatinya yang dilema, harus memilih satu di antara dua orang yang sangat dicintainya, antara Papanya atau kekasih hatinya.

"Kenapa kamu ninggalin Papa sih Setya? kamu yang paling menyayangi Papa, harusnya kamu masih hidup bersama dengan Papa di sini Ya, pasti kamu mau menikahi Alira demi kebahagiaan Papa," gumam Papa Bagas, kembali mengingat putra keduanya yang telah meninggal empat tahun yang lalu karena kecelakaan.

Semakin menyakiti hati Satria, karena kalimat papanya yang membuatnya merasa bersalah, menjadi anak durhaka yang tak bisa membahagiakan hati Papanya sendiri.

"Aku juga sayang Papa Pa!" ucap Satria, mengalihkan pandangan Papa Bagas menatapnya.

"Sayang gimana? nikah sama Alira saja kamu nggak mau!"

"Ya karena aku nggak mencintainya Pa! aku sudah punya Azkia!" jawab Satria menekankan.

Sebelum menghela nafasnya pelan karena kalimat Papanya.

"Bagaimana dengan keinginan Papa? kamu nggak ingin membahagiakan Papa?" ucap Papa Bagaskara, semakin mengecewakan hati Satria.

"Oke! aku akan kosongin jadwalku Pa! Minggu kan? kita akan datang ke rumah Om Pras," ucao Satria akhirnya.

Dengan hatinya yang penuh beban dan keterpaksaan menatap lekat manik mata Papa Bagaskara yang penuh binar.

"Kamu serius kan?" tanya Papa Bagas memastikan.

Tak membuat Satria bersuara, hanya mengangguk lemah membuang pandangannya ke sembarang arah.

"Kamu memang anak Papa Sat, terimakasih ya?" ucap Papa Bagas, menepuk pelan pundak anaknya yang tengah terluka.

"Papa keluar dulu ya? kamu juga turun, kita makan malam bersama," lanjut Papa Bagas antusias segera berdiri dari duduknya.

"Papa duluan aja, nanti aku nyusul," jawab Satria, menatap kepergian Papanya sebelum menjatuhkan tubuhnya di sandaran sofa.

"Ahhhh! br*ngsek!" dengus Satria kesal, kembali menegakkan duduknya menatap ke depan.

Memikirkan masa depannya yang akan berantakan, memikirkan kisah cintanya yang bisa saja kandas.

***

Sang Surya kembali datang dengan sinarnya yang masih begitu hangat, di hari Minggu yang tak pernah di tunggu pun tiba, Terlihat Alira, duduk terdiam di depan meja riasnya terlihat sendu dengan wajahnya yang terlihat sembab.

Hanya menatap dalam dirinya sendiri yang terlihat cantik dengan polesan make up tipis di wajah cantiknya, dari pantulan kaca rias yang ada di depannya, dengan bibirnya yang bergetar menahan rasa sesak yang begitu dalam menghimpit keras menyakitinya.

Memecahkan tangisannya, membiarkan air matanya mengalir, membasahi pipi putihnya menghilangkan make up tipis yang telah di polesnya.

Dengan bibirnya yang bergetar, tak ingin menyeka air matanya.

Sebuah aliran air matanya yang terus saja menetes, sebagai bentuk bukti baktinya kepada kedua orang tua yang sangat di sayanginya, kedua orang tua yang telah memaksanya untuk hidup bersama dengan lelaki yang tak pernah di inginkannya.

Sebelum mengalihkan pandangannya, ke arah ponselnya yang bergetar di atas meja rias yang ada di depannya.

Semakin menggetarkan bibirnya, menahan tangisnya yang semakin pecah membaca nama yang tertera di dalam layar ponselnya yang menyala.

"Adam...," gumamnya pelan tak mengalihkan pandangannya, semakin membuat bibirnya bergetar dengan tangisannya yang terisak.

"Ha...loo," ucap Alira, sesaat setelah menggeser layar ponselnya, dengan suara paraunya menjawab panggilan dari Adam, kekasih hatinya, penghuni hatinya.

"Halo Sayang..., kenapa suara kamu? kamu nangis ya? ada apa Ra? cerita sama aku," ucap Adam, dengan suara lembutnya semakin meyesakkan hati Alira.

Dengan air matanya yang mengalir, semakin deras membasahi pipi hingga ke bibirnya yang bergetar, tak mampu menjawab kalimat kekasihnya.

Karena hatinya yang terasa ngilu, membuat lidahnya menjadi kelu ingin sekali terisak dan berteriak untuk melegakan hatinya yang terasa sesak.

"Kenapa Sayang? ada masalah apa?" lirih Adam.

"Aku kangen Dam... aku kangen sama kamu...," jawab Alira akhirnya, dengan tangisannya yang terisak dan tergugu.

"Aku minta maaf Dam...," batin Alira, menepuk pelan dadanya ingin mengurai rasa sesak yang menghimpit perasaannya.

"Aku juga kangen Sayang," jawab Adam, menciptakan senyum getir di bibir Alira.

"Minggu depan aku pulang Sayang, kita ketemu ya? kita jalan-jalan berdua, kamu ingin kemana?" lanjut Adam, dengan intonasi lembutnya semakin menyakiti hati kekasihya.

"Ayolah Sayang,  jangan nangis seperti itu, jangan membuatku menyesal karena tak bisa berada di samping kamu untuk memeluk dan menyeka air mata kamu,"

"Aku mencintai kamu Dam..., aku sangat mencintai kamu...," jawab Alira dengan suara paraunya tak ingin menyeka air matanya.

"Aku minta maaf," batin Alira lagi, kembali menepuk dadanya pelan ingin bisa bernafas, karena rasa sakit di hatinya yang begitu dalam meremas kuat perasaan membuatnya sesak.

"Aku lebih mencintai kamu Sayang,"  jawab Adam.

Sebelum pamit hendak memutus panggilan teleponnya, untuk melanjutkan tugas dan pekerjaannya yang terjeda.

"Aku tutup dulu ya Sayang, ini aku lagi lembur, banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan," ucap Adam.

"Iya," lirih Alira.

"Sudah ya? jangan nangis lagi ya? nanti aku telepon lagi," bujuk Adam yang di sambut dengan anggukan kekasihnya yang tak dapat di lihatnya.

"Iya," jawab Alira lagi, tak mampu merangkai kata untuk menjawab kalimat kekasih hatinya.

Sebelum menurunkan ponsel yang di pakainya, meletakkannya di atas meja dengan tangisannya yang tergugu.

Karena rasa sakit dan sesak di hati yang menguasai, meremas kuat hatinya yang terluka dalam, di tambah dengan rasa bersalahnya yang sangat besar, kepada kekasih hatinya yang sangat mencintainya dan dicintainya.

Setelah sekian lama kisah cinta yang telah di rajutnya begitu indah penuh tawa dan kebahagian, dengan harapan di hatinya dan kekasihnya.

Ingin sekali menikah, membangun sebuah rumah tangga yang bahagia.

Naas, Tuhan ternyata tak memihak impiannya, tak ingin memihak perasaannya yang mencinta, menghancurkan impiannya bersama Adam, lelaki yang sangat di cintainya karena perjodohan yang tak di inginkannya.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status