Share

Bab 4. Pertemuan Yang Tak Disengaja

Satu Minggu telah berlalu...

Angin begitu semilir, menggoyangkan dedaunan di bawah sinar mentari yang masih hangat tepat di hari Minggu.

Menemani perjalan Alira, dengan menggunakan motor matic yang dikendarainya, melajukan motornya dengan kecepatan sedang menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.

Dengan perasaannya yang sedikit bahagia, setelah dua Minggu lamanya menahan nestapa.

Karena kedatangan sang pujaan hatinya yang baru pulang dari luar kota, membuatnya tak sabar ingin segera bertemu di sebuah kafe tempat biasanya saling ngobrol dan bercerita.

Sementara itu di tempat lainnya, tampak Satria, mengulaskan senyum semringahnya, menggenggam erat tangan seorang gadis cantik berambut panjang, yang sedang duduk di kursi penumpang depan di sebelahnya.

Beberapa kali menolehkan kepalanya, saling bicara dan bercanda, bersama dengan Azkia, wanita pujaan hatinya, menikmati kencan di hari Minggu layaknya pasangan yang lainnya.

"Aku lapar Yank, aku belum sarapan," celetuk Azkia, di sela obrolannya.

"Lapar?" tanya Satria, masih membagi fokusnya antara jalanan dan kekasihnya beradu pandang.

"Kamu mau makan apa?" lanjut Satria.

"Makan kamu...," manja Azkia, dengan senyum menggoda dan kerlingan di matanya menciptakan tawa di bibir kekasihnya.

"Oke...," jawab Satria, kembali fokus dengan stir yang di kendalikannya, menepikan laju mobilnya untuk di hentikannya di tepi jalan.

"Lo, kenapa ini? kenapa berhenti disini?" tanya Azkia, mengedarkan pandangannya ke sembarang arah sebelum mengalihkannya lagi menatap Satria.

"Katanya mau makan aku? sini sarapan dulu," jawab Satria, mencondongkan kepalanya mendekati kekasihnya.

Dengan memajukan bibirnya ke wajah kekasihnya, tak membuat Azkia bersuara hanya tertawa melihat tingkah kekasihnya.

"Dih!" dengus Azkia, memukul pelan bibir Satria, masih dengan tawa bahagia yang mengembang di bibirnya.

"Auuu," tipu Satria, menegakkan kembali duduknya menyentuh bibirnya.

Dengan ekpresi wajahnya yang di buat merintih menahan sakit.

"Nggak sakit Yank! kan pelan aku mukulnya!" ucap Azkia.

"Sakit Yank!"

"Nggak Yank!"

"Astaga...iya Yank, sakit Yank!"

"Nggak Yank!" ucap Azkia sesaat sebelum

Cup

Kecupan bibirnya mendarat tepat di bibir Satria, membulatkan mata Satria dengan senyum yang mengembang.

"Iya Yank nggak sakit!" jawab Satria, dengan kerlingan manja di mata menyentuh bibirnya.

Menciptakan tawa di bibir keduanya, dengan perasan keduanya yang begitu bahagia.

Terutama Satria, yang tak ingin terkungkung di dalam kesedihan dan rasa kesalnya mengenai perjodohan yang di paksa Papanya, ingin menikmati kebersamaannya bersama dengan penghuni hatinya, wanita yang sangat dicintainya, Azkia.

***

Di Kafe Elnina

Alira mengayunkan langkahnya, segera masuk ke dalam kafe, sesaat setelah memarkirkan motornya dengan baik di tempat parkir yang ada di halaman depan kafe Elnina.

Sebelum mengulaskan senyumnya, beradu pandang dengan lelaki tampan pujaan hatinya yang melambaikan tangan menyambut kedatangannya.

Dengan hatinya yang berdesir, sangat hangat, membuatnya lupa akan nestapa yang ada di hatinya.

Karena senyum manis di wajah tampan kekasih hatinya, sudah berdiri dari duduk menyambut kedatangannya.

Membuatnya tak sabar, dengan bibirnya yang bergetar menahan tangis, karena rasa sesaknya yang kembali datang.

Mengiringi langkahnya dalam berlari, mendekati Adam Setyawan 25 tahun, lelaki tampan pekerja keras, yang sudah menjabat sebagai Manager Marketing di sebuah purusahaan ternama yang ada di kotanya.

"Wau wau wau...," kekeh Adam, melihat langkah Alira, setengah berlari berhambur ke dalam pelukannya.

"Begitu kangennya ya kamu sama aku?" bisik Adam, dengan tawa Renyahnya membalas pelukan kekasihnya.

Tak membuat Alira bersuara hanya mengangguk pelan, dengan isakan tangis mengiyakan kalimat kekasihnya.

Membuat Adam terdiam, dengan helaan nafas di bibirnya menghentikan kekehannya.

"Ada apa Sayang?" tanya Adam, dengan intonasinya yang sangat lembut menyadari kesedihan Alira.

Masih tak bisa membuat Alira bersuara, hanya terisak, menggelengkan kepalanya pelan di pelukan Adam.

"Aku hanya kangen sama kamu Dam, aku sangat kangen sama kamu," jawab Alira, masih dengan tangisannya mengeratkan pelukannya.

"Kita duduk dulu ya? nggak enak di lihat orang," ucap Adam, mendorong pelan tubuh kekasihnya.

"Aduh duh... anaknya Bu Rani nangis," goda Adam, menyeka aliran air mata di pipi kekasihnya, menciptakan senyum bercampur tangis di bibir Alira.

"Nah gitu dong tersenyum, sudah cantik, senyumnya cantik, aduh... tambah jatuh hati deh si Adam sama kamu," lanjut Adam, setelah menyeka sisa air mata di pipi Alira mencubit gemas pipi kekasihnya.

Menciptakan tawa bercampur tangis di bibir Alira, menyeka air matanya sendiri.

"Ayo duduk," ucap Adam, menggandeng tangan Alira, mengarahkan kekasihnya itu untuk duduk di atas kursi kosong tempatnya menunggu.

"Ayo minum dulu Ra, tenangin hati kamu terus cerita sama aku ya?" ucap Adam, sesaat setelah duduk di seberang kekasihnya, memberikan jus apel yang sudah di pesannya.

"Terimaksih Dam," jawab Alira, menyeka sisa air matanya, segera menyedot jus apel nya.

"Sudah minumnya?" tanya Adam yang di jawab dengan anggukan pelan kepala Alira.

"Sekarang di makan makanannya," lanjut Adam, dengan senyum di bibirnya, menyuapkan sesendok makanan yang sudah di pesannya ke dalam mulut kekasihnya.

Lagi-lagi tak membuat Alira bersuara, hanya mengulaskan senyum tipis membuka mulutnya.

"Enak nggak?" tanya Adam, beradu pandang dengan Alira yang mengangguk pelan.

"Mau lagi?" tanya Adam, dengan binar cinta di mata teduhnya memanjakan kekasihnya.

Kembali menyesakkan hati Alira, karena rasa yang begitu sakit, membayangkan dirinya yang tak akan bisa hidup bersama Adam.

Kekasih terbaiknya, lelaki tampan penghuni hatinya, yang paling mengerti akan hati dan perasaannya.

"Aku di jodohkan Dam," batin Alira, menundukkan kepala menahan tangisnya.

Karena dirinya yang tak kuasa, untuk menceritakan masalah yang sebenarnya.

Hatinya sungguh tak mampu, membuat  lidah nya terasa kelu, selain karena dirinya yang tak ingin menyakiti, juga karena dirinya yang tak ingin kehilangan.

"Ada masalah apa?" tanya Adam, dengan intonasi lembutnya, meletakkan sendok yang di bawanya di atas piring.

mencondongkan badannya mendekati Alira, seraya menekuk kedua tangannya di atas meja menatap dalam.

Hingga mengalihkan pandangan Alira menegakkan kepalanya, beradu pandang dengan Adam yang menghela nafas pelan mengulurkan tangan kirinya ke depannya.

"Sini tangannya pinjam sebentar," ucap Adam, dengan senyum tipis dibibirnya, mendesirkan hati Alira, sedikit mengurai rasa sesak yang menghimpit perasaanya.

Menciptakan senyum tipis di bibir Alira, segera menyeka air matanya cepat, sebelum menggerakkan tangan kanannya untuk menyambut uluran tangan kekasihnya.

"Kenapa? ada apa?" tanya Adam lagi, berusaha bersabar dengan keingintahuannya yang meninggi menggenggam erat tangan Alira.

"Aku hanya kangen sama kamu Dam, kamu terlalu lama di luar kotanya, apa kamu nggak tahu gimana perasaanku saat ini? kangen," kilah Alira, berusaha menahan air matanya, tak ingin lagi menangis di depan kekasihnya.

"Baru juga dua Minggu lo Ra aku di luar kota! belum juga dua tahun!"

"Ish!" dengus Alira, menyentakkan pelan tangan Adam, melepaskan genggaman tangan kekasihnya.

Dengan wajah cemberutnya, tak mengalihkan pandangannya dari Adam yang terkekeh menatapnya senang.

"Bercanda Ra, jangan marah dong...," kekeh Adam.

"Ahhh...aku tahu ini, sepertinya aku tahu kenapa kamu nangis begini," lanjut Adam, mencoba untuk menebak dan menerka mencondongkan kepalanya mendekati Alira.

"Tau apa?"

"Kamu mens ya? datang bulan pasti ini...,  jadi bawaannya kepingin nangis, kenapa? perut kamu sakit ya?" lirih Adam.

Menciptakan tawa di bibir Alira menyeka sisa air matanya pelan.

"Lha kok tertawa? serius ini!" lanjut Adam tertawa.

"Nggak Dam! aku nggak Mens, sudah di bilangin aku kangen sama kamu,"

"Cie cie yang kangen sama aku sampai nangis begitu..., memangnya kamu cinta banget ya sama aku?" goda Adam, dengan kerlingan manjanya di matanya.

"Sedikit,"

"Sedikit kok nangis begini," kekeh Adam, menyeruput minumannya sendiri tak mengalihkan pandangan.

Sementara itu di tempat yang sama,  terlihat Satria, menggandeng tangan Azkia, mengayunkan langkah bersama menuju kursi kosong yang tak begitu jauh dari tempat duduk Alira.

"Duduk Yank," ucap Satria, menarik salah satu kursi kosong untuk kekasih hatinya Azkia.

"Aduh... baik banget sih kamu," jawab Azkia, dengan senyum mengembangnya segera duduk di atas kursinya.

Tak membuat Satria bersuara, hanya tersenyum, membelai puncak kepala Azkia. Hendak mengayunkan langkahnya untuk duduk di seberang kekasihnya.

"Pesen Yank," titah Satria, mengalihkan pandangannya ke arah pelayan yang mendekatinya.

Sebelum merogoh tas selempang yang di pakainya untuk mengambil ponselnya yang bergetar.

"Papa?" batin Satria, melihat nama yang tertera di layar ponselnya yang menyala.

"Sebentar ya Yank? ada telepon dari Papa," pamit Satria, segera berdiri dari duduknya, menganggukkan kepala kekasihnya.

"Halo Pa," jawab Satria, sudah menggeser layar ponselnya, menerima panggilan telopon dari Papanya.

"Dimana kamu?"

"Lagi jalan sama teman, ada apa?"

"Undang Alira makan malam dirumah ya Sat, Papa kirim nomor teleponnya ya, kamu telepon dia," jawab Papa Bagaskara, tanpa basa basi membulatkan mata anaknya.

"Ngapain sih Pa?"

"Kok ngapain? ya biar kita bisa makan malam bersama Sat! kamu kan belum ketemu dia setelah acara lamaran kemarin? kamu pendekatan sama Alira, itung-itung pertemuan pertama kalian setelah lamaran! agar kalian bisa lebih dekat lagi sebelum belajar saling mencintai!" jawab Papa Bagaskara, menciptakan helaan nafas di bibir Satria mengedarkan pandangan.

"Mencintai apanya? sudah di bilang aku mencintai Azkia!" batin Satria, menahan rasa kesal di hatinya, seraya menggosok pelan dahinya dengan ekspresi tak sukanya.

"Papa kirim sekarang nomornya ya? undang dia dan kamu jemput dia!"

"Hemmmm,"

"Hemmm apa?"

"Iya Pa, iya!" jawab Satria, dengan rasa frustasinya yang meninggi.

"Bagus, Ingat ya Sat! baik-baik kamu sama calon istri kamu!"

"Hemmmm,"

"Jangan hem hem aja kamu! Papa serius ini! kamu harus mulai pendekatan sama Alira!"

"Astaga..., iya Pa! iya!" dongkol Satria.

"Aku ke toilet dulu ya Dam," pamit Alira, seraya berdiri dari duduknya, menganggukkan kepala Adam.

"Sebentar ya," tambah Alira, segera mengayunkan langkahnya cepat, menuju kamar mandi, meninggalkan Adam yang terdiam memperhatikannya.

"Sudah ya Pa? aku tutup dulu," ucap Satria, masih berdiri di tempatnya mengedarkan pandangannya.

Sebelum terdiam, melihat langkah wanita yang tak asing di pandangannya.

"Alira?" batinnya, sesaat setelah memutus panggilan teleponnya, tak mengalihkan pandangannya dari Alira yang terlihat tergesa masuk ke dalam lorong kafe menuju toilet.

"Iya itu Alira," gumamnya lagi, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Azkia yang terlihat tenang, duduk manis menuggu makanan yang di pesan.

Segera mengayunkan langkahnya menuju lorong toilet, hendak menemui Alira calon istri yang tak di inginkannya.

Beberapa menit kemudian.

"Alira," panggil Satria, berdiri di depan toilet wanita

Sebelum beradu pandang dengan Alira yang membuka pintu kamar mandi, mengalihkan pandangan menatapnya diam.

"Mas Satria? ngapain dia disini?" batin Alira tak membuang pandangannya.

"Ada apa ya?" tanya Alira, dengan perasaan gugupnya, merasa tak nyaman dengan pertemuannya.

"Kamu ingat aku kan?" tanya Satria, masih  dengan wajah datarnya menganggukkan kepala Alira.

"Ada apa?"

"Ada undangan makan malam dari Papa, nanti sore jam enam kamu siap-siap, aku akan menjemputmu,"

"Aku nggak bisa," tolak Alira.

Memancing emosi di diri Satria, merubah sorot matanya menjadi tajam mengintimidasi.

"Kamu harus bisa!" ucap Satria, menciptakan helaan nafas di bibir Alira, hanya terdiam, sebelum membuang pandangannya ke sembarang arah.

"Mohon maaf, aku nggak bisa,"  jawab Alira, dengan sorot mata tajamnya menekankan.

Hendak mengayunkan langkahnya, sebelum terhenti karena cekalan tangan Satria yang menahan lengannya.

"Jangan buat masalah! aku juga nggak mau di jodohkan sama kamu! aku hanya menuruti keinginan Papa! jadi jangan bersikap seolah- olah aku membutuhkanmu!" lirih Satria, dengan tatapan tajamnya menahan geram

Kembali bersitatap dengan Alira yang terdiam menatapnya kesal.

"Yank...," panggil Azkia, menyentakkan hati Satria.

Melepaskan sentuhan tangannya spontan di lengan Alira, bersamaan dengan gerakan kepalanya yang menoleh, beradu pandang dengan Azkia yang berdiri, mengayunkan langkah mendekatinya.

"Ngapain kamu?" tanya Azkia.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status