Share

Bab 5. Surat Perjanjian Pernikahan

"Yank...," panggil Azkia, menyentakkan hati Satria.

Melepaskan sentuhan tangannya spontan di lengan Alira, bersamaan dengan gerakan kepalanya yang menoleh, beradu pandang dengan Azkia yang berdiri, mengayunkan langkah mendekatinya.

"Ngapain kamu?" tanya Azkia.

Tak membuat Satria bersuara, hanya berdiri tegak mengusap dahinya perlahan tak mengalihkan pandangannya.

"Siapa wanita ini? kamu mengenalnya?" tanya Azkia, menoleh ke arah Alira yang terdiam tak ingin ikut campur di dalam urusan Satria.

"Aku permisi," ucap Alira, segera mengayunkan langkahnya cepat, keluar dari lorong kamar mandi meninggalkan Satria dan Azkia yang terdiam menyaksikan kepergiannya.

"Siapa dia Yank?" tanya Azkia lagi, dengan jiwa ke ingin tahuannya yang meninggi, tak sabar dengan jawaban Satria.

"Dia anak dari teman Papa Yank," jawab Satria akhirnya, mengerutkan kening Azkia menatapnya dalam.

"Anak teman Papa kamu?" tanya Azkia memastikan, sebelum membalikkan badannya karena gerakan tangan Satria yang tiba-tiba merangkul bahunya.

"Sudah jangan terlalu di pikirkan, lagian kamu juga nggak kenal," ucap Satria, seraya mengayunkan langkahnya keluar dari area toilet kembali menuju meja tempatnya duduk memesan makanan.

Sebelum melihat keberadaan Alira, sudah duduk di kursi dengan seorang lelaki yang tak di kenalnya.

Tak mempengaruhinya, terus mengayunkan langkahnya, menggandeng tangan Azkia untuk duduk di kursinya.

"Dam, kita pulang sekarang ya?" ucap Alira, hendak mencangklong tas yang di bawanya mengerutkan kening kekasihnya.

"Kok pulang? ini makanannya belum habis di makan," tanya Adam.

"Kita jalan-jalan aja, katanya kamu mau ngajak aku jalan-jalan," jawab Alira.

Menciptakan senyum genit di bibir Adam mencondongkan badan mendekatinya.

"Kita jalan-jalan kemana? terus kita mau ngapain aja?" goda Adam, sebelum tertawa karena cubitan Alira di bibirnya.

"Jangan macam-macam kamu ya! aku kebiri baru tahu rasa kamu!" lirih Alira, dengan senyum di bibirnya mencondongkan badannya.

"Aduh..., mau dong di kebiri sama kamu," goda Adam, sebelum tertawa bersama dengan Alira.

Tak mengetahui pandangan Satria yang memperhatikannya, sudah duduk di kursi menatapnya diam.

"Kenapa Yank? lihat apa kamu?" tanya Azkia, ikut mengalihkan pandangannya ke arah pandang kekasihnya.

"Itu kan cewek tadi? kenapa kamu terus melihatnya?" lanjut Azkia, kembali beradu pandang dengan Satria yang tersenyum tipis kembali menikmati makanan yang telah di pesannya.

"Aku nggak melihatnya Yank, ayo cepat di makan, tadi katanya lapar," ucap Satria, menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulut Azkia, ingin mengalihkan pembicaraan.

Sebelum tersenyum, menyeka sudut bibir kekasihnya yang sedikit belepotan.

"Kamu cantik deh kalau belepotan begini," gombal Satria, menciptakan tawa di bibir Azkia.

Segera menyendok makanan yang ada di piringnya untuk di suapkannya kepada Satria.

"Kamu juga tampan kalau belepotan begini," ucap Azkia, sedikit menggoreskan sendok ke sudut bibir kekasihnya.

"Cih," dengus Satria tertawa, segera mengusap sudut bibirnya sendiri.

Sebelum mengalihkan pandangannya, beradu pandang dengan Alira yang terdiam, sudah berdiri mengayunkan langkah hendak melewatinya.

"Kenapa Ra?" tanya Adam, mengeratkan genggaman tangannya, masih ada di dalam pandangan Satria mengalihkan pandangan Alira menatapnya.

"Nggak papa Dam," jawab Alira, dengan ulasan senyum di bibirnya, masih mengayunkan langkahnya.

Melewati Satria yang tak lagi melihatnya, sama sama menikmati romansa cinta di hati keduanya bersama dengan kekasih hati penghuni hati keduanya.

***

Siang berganti sore, sore pun telah beganti dengan senja, terlihat gelap tanpa matahari yang baru saja terbenam kembali pulang ke peraduan.

Terlihat Alira, baru menyelesaikan mandinya, duduk tenang di depan meja riasnya.

Memoleskan sedikit krim untuk menjaga kecantikan di wajahnya, dengan senyum tipis di bibirnya kembali mengingat godaan Adam yang terus saja membuatnya tertawa.

Sedikit menghilangkan kesusahan di hatinya, karena rasa cintanya yang semakin merekah dengan hatinya yang penuh bunga.

Sebelum terdiam, menghilangkan senyum tipis di bibirnya karena wajah Satria yang terngiang.

Begitu arogan, kasar dan memaksa, membuatnya tak suka dengan lelaki yang harus di nikahinya.

"Ra," panggil Bu Rani, sesaat setelah membuka pintu kamar Alira yang tak di kunci, mengalihkan pandangan putrinya.

"Nanti kamu siap-siap ya Ra? ada undangan makan malam dari Om Bagas," lanjut Bu Rani, beradu pandang dengan Alira yang terdiam tak menjawab kalimatnya.

Segera membuang pandangannya, seraya meraih sisir yang ada di atas meja riasnya, kembali menatap dirinya dari pantulan kaca yang ada di depannya.

"Kenapa diam?" tanya Bu Rani.

"Aku nggak ingin makan malam di rumah Om Bagas Bu," jawab Alira, sambil menyisir rambutnya menciptakan helaan nafas di bibir ibunya.

"Kenapa? Om Bagas calon mertua kamu," ucap Bu Rani, sudah berdiri tepat di belakang putrinya, segera mengambil alih sisir yang di pakai Alira.

Membantu menyisir rambut putrinya, masih tak membuat Alira bersuara, hanya terdiam menundukkan kepala tak ingin menjawab pertanyaan ibunya.

"Om Bagas calon mertua kamu Ra, kamu harus tetap menghormatinya, dengan cara datang ke undangan makan malamnya," lanjut Bu Rani, masih menyisir lembut rambut panjang putrinya.

Sebelum terdiam, beradu pandang dengan Alira dari pantulan kaca yang ada di depannya.

"Mungkin Om Bagas ingin ngobrol banyak sama kamu, kamu datang ya Ra? Om Bagas juga bilang nanti Satria yang akan jemput kamu," tambah Bu Rani,

"Terserahlah Bu, aku juga nggak ada hak untuk menolaknya bukan?" lirih Alira, sudah berdiri dari duduknya menatap ibunya pasrah.

"Sudah adzan Bu," lanjut Alira, segera mengayunkan langkahnya keluar dari kamar meninggakan Bu Rani yang terdiam.

Masih berdiri di tempatnya, menghela nafas panjang melihat kepergian putri sulungnya.

***

"Siapa ya? cari siapa?" tanya seorang lelaki muda, dengan tampang cueknya membuka pintu utama rumah Alira.

"Satria," jawab Satria tak kalah cuek, sebelum mengerutkan keningnya, menatap bingung pemuda yang menatapnya lekat dari ujung kepala hingga ke kaki.

"Lihat apa kamu?"

"Lumayan! hampir samalah sama Mas Adam!" jawab Aksa, adik lelaki Alira.

Baru duduk di bangku SMA Kelas dua, terlihat membandingkan fisik Satria dengan kekasih kakaknya.

Mencebikkan bibir Satria, dengan perasannya yang tak mengerti tak menyukai sikap pemuda yang ada di depannya.

"Ayo masuk," lanjut Aksa, seraya membuka pintu rumah lebar membersilahkan calon suami kakaknya masuk ke dalam rumah.

"Mbak... calon suami kamu datang nih! tapi nggak bawa apa-apa!" teriak Aksa, dengan sangat entengnya membulatkan mata Satria.

Menyadarkan Satria, dengan dirinya yang datang seorang diri tanpa membawa buah tangan atau apapun untuk keluarga calon istri yang tak di inginkannya.

"Br*ngsek! bocah sialan!" umpatnya dalam hati, sebelum beradu pandang dengan Aksa yang tersenyum tipis mengedikkan dagunya.

"Ayo duduk? ngapain berdiri aja disini?" ucap Aksa, tak membuat Satria bersuara, hanya terdiam mengumpat dalam hati menatap tajam.

"Bocah nggak tahu diri! nggak tahu sopan santun!" batin Satria kesal, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Ayah Pras yang mengayunkan langkah menjewer telinga pemuda yang ada di depannya.

"Ahh ahh ahh!" rintih Aksa, menyentuh telinga kananya berusaha melepaskan jeweran Ayahnya.

"Sama tamu yang sopan Sa!!!"

"Sakit Yah!" protes Aksa, seraya menggosok pelan telinganya menatap Ayahnya.

"Makanya jaga sopan santun kamu di depan calon kakak ipar kamu!" ucap Ayah Pras, yang di jawab dengan helaan nafas pelan putra lelakinya.

Menciptakan senyum tipis di bibir Satria, mengejek lelaki yang ada di depannya.

Hanya terdiam, menatap tampang nggak suka di wajah Aksa beradu pandang.

"Sudah sana masuk! panggil Mbak mu!" lanjut Ayah Pras, mengalihkan pandangan Aksa, sebelum mengayunkan langkahnya masuk ke dalam rumah, menaiki anak tangga menuju kamar kakaknya.

"Maaf ya Sat? Aksa memang begitu anaknya, tapi dia anak yang baik, hanya gayanya aja yang sedikit tengil," ucap Ayah Pras yang di sambut dengan senyum tipis di bibir Satria.

"Saya mau jemput Alira Om," ucap Satria, mengutarakan maksud dan tujuannya.

Sebelum menggerakkan tangannya untuk mencium tangan calon mertuanya.

"Ayo duduk dulu Sat," ucap Ayah Pras, yang di sambut dengan anggukan pelan kepala Satria segera mengayunkan langkahnya untuk duduk di atas sofa.

Berseberangan dengan Ayah Pras yang duduk di depannya.

"Tunggu sebentar ya? sebentar lagi Alira keluar," ucap Ayah Pras, beradu pandang dengan Satria yang mengangguk pelan menjawab kalimatnya.

Hanya beberapa menit, sebelum mengalihkan pandangan mereka kompak, menatap Alira yang beru keluar dari dalam rumah mendekati.

Bersamaan dengan Bu Rani yang berjalan di belakang putrinya, mengulaskan senyum termanisnya, beradu pandang dengan Satria yang hendak berdiri dari duduk ingin mencium tangannya.

Tak membuat Alira bersuara, hanya terdiam, karena hatinya yang tak rela untuk berangkat makan malam di rumah calon mertuanya.

"Ayo cepat berangkat, keburu malam," ucap Ayah Pras.

"Tante titip Alira ya Sat," timpal Bu Rani.

"Iya Tante, saya berangkat ya?" jawab Satria.

"Hati-hati ya?" ucap Bu Rani lagi, seraya membelai lembut puncak kepala putrinya yang terdiam mencium tangannya, sebelum mencium tangan suaminya.

"Assalamualaikum," ucap Alira, dengan rasa malasnya yang meninggi, segera mengayunkan langkahnya keluar dari rumah, meninggalkan Satria yang masih pamit di belakangnya.

***

Langit gelap dengan taburan bintang yang berkelip saling menunjukkan sinarnya, tepat di saat jarum jam yang melingkar di tangan kiri Satria, sudah menunjuk ke pukul tujuh malam.

Terlihat sedan putih Satria, melesat dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.

Dengan suasana hening di dalam mobil, tanpa suara dari dua orang yang saling diam duduk bersebelahan di kursi depan.

Satria yang terlihat fokus dengan stir yang di kendalikannya, sedangkan Alira yang terlihat sibuk dengan arah pandangnya, melihat jalanan kota dari balik kaca mobil di sebelahnya menyandarkan kepalanya.

Sebelum menegakkan duduknya, mengedarkan pandangannya, karena Satria yang tiba-tiba saja menghentikan laju mobil tepat di pinggir jalan.

"Tanda tangani ini," ucap Satria, dengan wajah datarnya, melemparkan sebuah map bening ke pangkuan Alira.

"Mengalihkan pandangan Alira, dengan perasaan bingungnya segera mengambil berkas yang di lemparkan calon suaminya.

"Apa ini?" tanya Alira.

"Surat perjanjian pernikahan," jawab Satria, menyentakkan hati Alira segera membuka berkas di tangannya.

Sebelum mengulaskan senyumnya, membekap mulutnya sendiri, dengan detak jantungnya yang tak karuan membaca surat perjanjian pernikahan.

Mengerutkan kening Satria, tak menyangka dengan ekspresi yang di lihatnya di wajah calon istrinya.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status