"Apa ini?" tanya Alira.
"Surat perjanjian pernikahan," jawab Satria, menyentakkan hati Alira segera membuka berkas di tangannya.
Sebelum mengulaskan senyumnya, membekap mulutnya sendiri, dengan detak jantungnya yang tak karuan membaca surat perjanjian pernikahan.
Mengerutkan kening Satria, tak menyangka dengan ekspresi yang di lihatnya di wajah calon istrinya.
"Surat perjanjian pernikahan kita?" tanya Alira, tak menyadari binar bahagia di manik indahnya, beradu pandang dengan Satria yang terdiam.
"Kamu buta huruf? baca aja!" jawab Satria, tak melukai hati Alira, karena rasa bahagianya yang begitu bergelora.
Menyejukkan hatinya yang sempat merana, karena surat perjanjian pernikahan yang ada di tangannya.
Dengan klausul klausul yang begitu memuaskan hatinya, menghapus kisah sedih, kembali menciptakan harapan untuk masa depannya bersama dengan kekasih hatinya.
"Di situ tertulis, kalau kita hanya akan menikah dan bercerai setelah setahun pernikahan, dan aku akan memberikan kamu 500 juta sebagai bentuk konpensasi perceraian kita," ucap Satria, masih dengan wajah datarnya menatap Alira yang tampak senang membaca tiap baris kalimat yang ada di dalam surat pemberiannnya.
"Aku tidak akan menyentuhmu, dan selama kita menikah, kita akan tinggal di apartemenku, kita tidur terpisah dan jangan pernah sekalipun kamu mengurusi kehidupanku bersama dengan pacarku." Lanjut Satria, mengalihkan pandangan Alira.
"Oke Setuju! aku nggak akan pernah mencampuri segala urusan kamu dengan pacar kamu, itu artinya kamu juga nggak boleh mencampuri segala urusan pribadiku bersama dengan pacarku!" jawab Alira yang di sambut dengan anggukan pelan kepala Satria.
"Dan masalah konpensasi aku nggak membutuhkannya, kamu bisa simpan sendiri untuk biaya pernikahan kamu dengan pacar kamu!" lanjut Alira, mengulaskan senyum bahagia di bibirnya.
Membayangkan masa depannya dengan Adam, setelah perceraiannya dengan Satria.
"Oke Ra! semuanya aman, kamu tinggal menyembunyikan semuanya dari Adam, hanya untuk setahun Ra! kamu harus sabar sebelum hidup bersama dan bahagia bersama dengan Adam," batinnya senang, sebelum mengalihkan pandanganya menatap Satria.
"Bulpen?" ucap Alira mengulurkan tangannya ke depan Satria.
Tak membuat Satria bersuara, hanya terdiam mengambil bulpen yang tersimpan untuk di berikannya kepada Alira.
"Tanda tangani di atas materai," ucap Satria.
"Oke!" jawab Alira, seraya mencoret nilai uang yang ada di dalam surat, kembali menggerakkan tangannya untuk menggoreskan tanda tangannya di atas materai.
"Sudah," ucap Alira, beradu pandang dengan Satria, seraya mengembalikan surat yang baru di tanda tanganinya kepada calon suaminya.
Tak membuat Satria bersuara, hanya terdiam mengambil alih surat perjanjian segera ikut tanda tangan di dalamnya.
***
Langit semakin gelap, dengan sinar sang rembulan yang tampak terang ditemani dengan taburan bintang yang berkelip memenuhi kegelapan malam.
Sudah duduk di atas meja makan yang ada di kediaman Papa Bagaskara, terlihat Alira, tampak diam menikmati suap demi suap makanan yang tersaji dengan perasannya yang terasa lega.
"Gimana Ra? enak makanannya?" tanya Papa Bagas, duduk di seberang calon menantu dan putra tunggalnya, mengalihkan pandangan Alira menatapnya
"Enak Om," jawab Alira, mengulaskan senyum di bibirnya, beradu pandang dengan Papa Bagas mengacuhkan Satria yang duduk tenang di sebelahnya.
"Om Senang kalau kamu menyukai makanannya," ucap Papa Bagas, sebelum mengalihkan pandangannya menatap Satria.
"Jangan diam saja kamu Sat! ajak ngobrol dong Aliranya, biar Alira betah main kesini," lanjut Papa Bagas.
Tak membuat Satria bersuara hanya menghela nafasnya berat.
"Kamu mau ngobrol sama aku?" tanya Satria, dengan tampang dinginnya menatap Alira.
Yang terdiam, berusaha mengacuhkan sikap lelaki yang di anggapnya kasar, segera membuang pandangannya, kembali menikmati makanannya.
"Jaga sikap kamu Sat! bukan begitu cara bicara sama perempuan!" protes Papa Bagas.
"Ya memang aku seperti ini Pa, aku bisanya begini mau gimana lagi?"
"Makanya di rubah! Alira calon istri kamu, jadi kamu harus bisa bersikap baik untuk menjaga perasaannya." Ucap Papa Bagas, menatap dalam putranya yang terdiam kembali menikmati makanan.
Menciptakan helaan nafas di bibir Papa Bagas, segera menenggak air yang ada di dekatnya kembali bersuara.
"Besok kamu antarkan Alira fitting baju pengantin," ucap Papa Bagas, menyentakkan hati Alira dan Satria, kompak mengalihkan pandangan menatapnya diam.
"Papa sudah pesan satu kebaya juga satu gaun pernikahan, untuk acara akad dan resepsi kalian nanti," lanjut Papa Bagas.
"Aku kan sudah bilang Pa! aku nggak mau pakai resepsi! hanya akad saja sudah cukup!" protes Satria.
Begitupun dengan Alira yang terdiam, menundukkkan kepala, dengan perasaannya yang gelisah.
"Bagaimana ini? Bagaimana kalau Adam mendengar acara resepsi pernikahanku?" batin Alira, meremas tangannya sendiri dengan degup jantungnya yang berdetak sangat cepat, kembali memikirkan masa depannya bersama Adam.
"Kamu anak tunggal Sat! Papa juga ingin mengundang semua keluarga, teman-teman, bahkan beberapa klien Papa yang sudah Papa anggap sebagai saudara!"
"Ya nanti kalau pernikahanku dengan Azkia Pa! Papa baru bisa melakukan resepsi besar- besaran!" ucap Satria, tak menyadari kalimatnya sendiri, karena rasa kesalnya yang menguasai.
Sebelum terdiam, karena kalimat Papanya menatapnya tajam.
"Apa maksud kamu? kenapa pernikahan dengan Azkia?" tanya Papa Bagas, merasa tak percaya dengan kalimat yang baru di dengarnya.
Masih menatap tajam manik mata Satria yang terlihat gelagapan.
"Bodoh! bodoh! bodoh!" batin Satria, merutuki dirinya sendiri menyadari kebodohannya.
"Apa maksud kamu dengan pernikahanmu dengan Azkia Sat? jawab Papa!" sentak Papa Bagas, merasa tak sabar dengan jawaban putranya.
"Nggak begitu maksudku Pa,"
"Terus apa maksud kamu?" tanya Papa Bagas lagi, dengan sorot mata tajamnya mengintimidasi.
Menciptakan helaan nafas di bibir Satria, segera meraup wajahnya pelan sesaat setelah meletakkan sendok yang di pakainya di atas piring.
"Ada Alira Pa, Papa ingin aku membicarakan Azkia di depan calon istriku?" ucap Satria, mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
Mencari jeda, agar dirinya bisa memikirkan alasan untuk menjawab pertanyaan Papanya mengenai kalimat yang tak sengaja di ucapkannya.
Tak membuat Papa Bagas bersuara, hanya terdiam, mencoba untuk menahan gejolak di hatinya karena keberadaan calon menantunya.
"Jangan dimasukin ke hati ya Ra? Satria hanya salah bicara," ucap Papa Bagas yang di sambut dengan senyum tipis di bibir Alira.
"Nggak papa Om, Mas Satria kan memang nggak mencintai saya, lagian saya juga nggak tahu siapa itu Azkia,"
"Azkia hanya mantan Satria Ra," ucap Papa Bagas, membulatkan mata anaknya menatapnya diam.
"Kamu nggak perlu khawatir ya? untuk masalah cinta, nanti biar waktu yang menjawabnya Ra, karena cinta pasti akan datang saat kalian terbiasa bersama, sama seperti cinta Om dengan almarhumah Mamanya Satria dulu," lanjut Papa Bagas.
"Iya Om," jawab Alira, mencoba untuk tersenyum tipis di atas hatinya yang terasa ngilu.
Bersamaan dengan helaan nafas berat Satria, kembali mengalihkan pandangan Papanya menatapnya tajam.
Sedangkan di tempat lainnya, terlihat Adam, mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang.
Baru menyelesaikan makan malamnya di restoran, bersama dengan beberapa temannya karena Alira yang menolak ajakan makam malam bersama dengan dirinya.
Segera memasang headset bluetooth di telinga kirinya, ingin mendengar suara kekasih hatinya.
Sementara itu di rumah Papa Bagas, Alira masih menikmati makan malamnya, sebelum menghentikan makannya, karena suara ponselnya yang berdering di dalam tas.
"Maaf ya Om?" ucap Alira, segera merogoh tas selempangnya untuk mengambil ponselnya yang terus saja bergetar
"Adam," batin Alira, membulatkan matanya penuh, dengan detak jantungnya yang berdetak tak karuan, segera mengalihkan pandanganya menatap Papa Bagas yang bersuara.
"Siapa Ra?" tanya Papa Bagas.
"Teman Om, saya permisi keluar sebentar ya Om," pamit Alira, yang di sambut dengan anggukan pelan kepala Papa Bagas mengalihkan pandangan Satria menatap kepergiannya.
"Halo Dam?" ucap Alira, sudah berdiri di dalam ruang tamu rumah Papa Bagas, sesaat setelah menggeser layar ponselnya menerima panggilan telepon dari kekasih hatinya.
"Di mana Ra? kok bisik-bisik?" tanya Adam, masih fokus dengan stir yang di kendalikannya merasa aneh dengan suara kekasihnya.
"Aku nggak bisik- bisik kok, ada apa?" jawab Alira masih dengan intonasi lirihnya.
Mengerutkan kening Adam, namun tak ingin mengambil pusing Adam hanya tersenyum tipis untuk melanjutkan percakapannya.
"Aku tadi makan malam sama temen aku, ini aku sudah bungkusin makanan, untuk kamu, Aksa sama calon mertuaku," ucap Adam, menyentakkan hati Alira dengan matanya yang membulat.
"Tunggu aku di rumah ya? mungkin setengah jam lagi aku sudah sampai di rumah kamu,"
"Jangan Dam! jangan kerumah!" ucap Alira cepat, tak menyadari intonasinya yang meninggi.
Sebelum membekap mulutnya, mengedarkan pandangannya melihat situasi di sekitarnya.
"Bodoh bodoh bodoh!" batin Alira, memukul pelan bibirnya sendiri merutuki kebodohanya.
"Kenapa? kok nggak boleh?"
"Iya itu..., aku lagi di luar," jawab Alira.
"Keluar? kemana?"
"Ke rumah Tante aku,"
"Sama siapa? sama Aksa?"
"Sendiri Dam,"
"Ya sudah nggak papa, biar aku nanti ketemu sama Aksa di rumah kamu, sayang makanannya Ra, sudah aku bungkusin banyak,"
"Astaga...," batin Alira frustasi, meraup wajahnya kasar mencoba berpikir untuk mencari alasan.
Karena dirinya yang tak ingin, kedua orang tuanya menceritakan perihal perjodohannya kepada Adam.
Bersambung.
Kebahagiaan yang sudah menyelimuti, merasa saling membutuhkan dan terlebih lagi mencintai. Setelah kehilangan yang begitu sangat menyakiti hati, dan di tambah lagi dengan kesalahpahaman yang menyesakkan, menyayat perih luka hati yang sudah saling mencintai.Setelah dua Minggu berlalu, Alira yang kini telah menyadari untuk siapa sebenarnya hatinya di labuhkan, setelah dilema panjang yang menderanya, dan masih belum bisa melupakan Adam secara sempurna.Tapi kali ini, dirinya sudah memantapkan nya, memilih untuk mencintai sepenuh hati. Satria, sang suami, pendamping hidupnya pemilik hatinya.Tanpa bayang bayang Adam yang membayangi, tanpa bayangan dari kisah cinta lamanya yang telah ia lepaskan seutuhnya."Mas," panggil Alira suatu sore, tepat di hari minggu di ruang tengah di dalam apartemennya.Mengalihkan pandangan Satria, yang sedang menikmati buah apel hasil irisan tangannya, menikmati drama Korea kesukaannya."Kenapa?" tanya Satria, di sela mengunyahnya mengecup singkat pipi istriny
Kemarahan yang menguasai, membuat Satria tak lagi bisa mengontrol diri. Sudah berada di dalam perjalanan, sedang mencoba menelepon mantan kekasihnya."Dimana?" sengit Satria, dengan sorot mata tajamnya. Duduk di kursi depan di mobilnya yang di kemudikan Adi."Di kafe, kenapa? mau kesini?" jawab Azkia, dengan suaranya yang terdengar biasa, sama sekali tak mengetahui gemuruh di dalam dada Satria."Share lokasi, aku kesana sekarang,""Jadi ngajak ketemu terus ya sekarang? goda Azkia terdengar senang. "Apa mungkin kamu sudah mulai..."Mengembangkan amarah di hati Satria, segera mematikan panggilan teleponnya spontan. Karena dirinya yang merasa tak sabar, untuk memberikan mantan kekasihnya itu pelajaran."Ke kafe Memory," suara Satria, sesaat setelah menerima pesan dari Azkia.Dan tak membuat sahabatnya itu bersuara, hanya menginjak gas mobil
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
"Gila kamu Sat," lirih Adi, sesaat setelah mendengarkan cerita dari Satria, mengenai situasi yang sebenarnya sama sekali tak menyangka. "Bodoh sekali kamu,""Aku tahu," sahut Satria, semakin sendu membuang pandangan. "Dan aku menyesalinya.""Apa kamu tahu apa yang sudah aku katakan kemarin ke Alira saat kamu pergi menemui Azkia dalam keadaan marah?"Mengalihkan pandangan Satria menatapnya diam."Jangan panik Ra, Satria lebih tahu apa yang harus di lakukannya, dia hanya sedang menjaga dan melindungi kamu," menirukan ucapannya sendiri mencebikkan bibirnya."Dan aku benar benar malu dengan kalimatku itu Sat, kamu nggak sebaik yang aku kira, kamu nggak tahu apa yang harus kamu lakukan, bukannya menjaga istri kamu, kamu malah... ck," berdecak kesal."Lebih baik kamu masuk ke dalam sekarang Di! lihat kondisinya Alira, daripada terus menyalahkan ku dan semakin membu
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t