“Mas pengen liat permainanmu, Dek. Apa kamu bisa bener-bener bikin Mas bangga?”
“Mas ngomong apa? Emang selama ini Mas nggak bangga punya aku?” kata Fiani bingung.“Ini udah lebih dari setengah jam, kamu belum juga berhasil bikin Mas tuntas. Awas, turun aja, Mas yang pimpin. Kamu emang nggak bisa kayak Jeni.” Verry asal nyeletuk.“Haa? Jeni siapa, Mas?”“Ah itu ... ehm, itu lho Jeni pemain film dewasa,” jawab Verry agak gugup.Fiani hanya manggut-manggut, lalu turun dan berganti posisi.Setelah beberapa saat, Fiani akhirnya mencapai klimaks. Sayangnya, tidak dengan sang suami.“Mas, kamu emang luar biasa,” ucap Fiani memuji sang suami.“Mas emang hebat dari dulu, Dek. Nggak kayak kamu yang berubah sejak ngelahirin Reni. Udahlah, Mas mau tidur. Capek, buang-buang tenaga aja.”Verry kemudian membersihkan diri walaupun belum sampai puncak. Dia kembali memakai pakaian tanpa peduli Fiani yang diam mematung di atas ranjang.****
Keesokan pagi, Fiani bangun pukul empat. Meski sakit hati terhadap ucapan suaminya, Fiani masih berusaha menjadi apa yang diinginkan Verry. Melihat Reni, putrinya yang anteng, Fiani lantas memindahkan sang anak ke dalam box.
“Ah, aman.” Fiani mengusap dada dan kembali merangkak naik ke ranjang.
Melihat sang suami yang masih tidur, terlintas sebuah ide di pikiran Fiani. Perlahan, ia pun mulai menggoda Verry dengan aksi lebih berani, hingga Verry merasa terganggu.
“Kamu ngapain sih, Dek? Aku ngantuk, nanti aku bangun kesiangan kalo kamu ganggu terus.”
“Ini sudah pagi, Mas. Ayo main sekali lagi. Semalam kan Mas belum lepas.”
“Sudah, nggak usah pikirin Mas.”
“Ayolah, Mas.” Fiani merengek seperti bocah minta jajan.
'Nggak papa kali, ya, itung-itung ini hadiah buat dia untuk yang terakhir. Buang tenaga dikit buat dapat banyak. Ha-ha-ha.' Verry pun manggut-manggut dengan batinnya sendiri. Akhirnya dia menindih Fiani dan memulai satu permainan lagi.
Tak seperti semalam, di pagi hari ternyata Verry lebih cepat tumbang. Dia merem melek menikmati desiran yang menjalar hingga ke seluruh saraf.
“Mas, ini baru sepuluh menit, lho. Katanya Mas hebat. Aku juga belum selesai. Ah, kita impas kalo gitu.” Fiani menyeringai.
“Makanya Mas, jangan ngatain aku nggak menggigit lagi gara-gara Reni. Kamu tega menyalahkan anakmu sendiri? Yang bikin aku hamil kan, kamu juga, Mas. Inget, ibumu juga perempuan, berjuang mengandung, melahirkan lalu merawatmu sampai dewasa. Apa kamu tega kalo ibumu dibilang nggak legit lagi sama Ayah? Nggak rela, kan?” Setelah puas mengeluarkan unek-unek, Fiani langsung menuju kamar mandi, meninggalkan sang suami sendiri.
Tanpa dia sadari, Verry telah mengepalkan tangannya kesal.
****
Pukul delapan pagi, usai menidurkan Reni, Fiani berkutat dengan tanaman di teras.
Merawat bunga-bunga di pot. Dia memang hobi mengoleksi berbagai jenis bunga. Saking tak ada pekerjaan, Fiani sampai mengelap pot-pot berisi bunga itu.
Verry seperti biasa, pergi ke toko sejak pukul tujuh. Verry bekerja menjual-belikan motor bekas sejak empat tahun lalu. Namun, usahanya baru meledak sejak menikahi Fiani. Tentu saja karena suntikan dana yang Fiani berikan untuk menambah koleksi motor di toko Verry.
Seluruh tabungan hasil kerja keras Fiani di salah satu perusahan dulu, dia berikan pada Verry.
Saat asyik memotong tangkai mawar sembari mendendangkan lagu yang sedang viral di tok-tok, tiba-tiba Verry pulang dengan wajah kusut dan lesu seperti tidak punya gairah hidup.
Cepat-cepat Fiani berlari, meraih tangan kanan Verry untuk menyalami. “Kok udah pulang, Mas? Mobil Mas mana? Kenapa jalan kaki?” Fiani melempar pertanyaan beruntun.
Verry menjambak rambut, lalu berkata, “Duduk dulu, Dek. Mas pusing, tanyanya satu-satu.” Dia menjatuhkan tubuh di kursi teras, menyandarkan kepala pada sandaran kursi.
Fiani bergegas masuk untuk mengambil air minum, lalu memberikan pada Verry. “Minum dulu, Mas.”
“Makasih, Dek.” Verry meneguk air hanya seteguk saja.
“Ada apa sebenarnya, Mas?” tanya Fiani penasaran.
“Jadi begini, Dek ... .” Verry menceritakan kronologi kejadian yang baru saja dia alami. Hal tersebut membuat Fiani memekik tak percaya.
“Apa, Mas? Yang benar saja! Itu nggak mungkin.”
Reni dibawa kabur oleh seorang perempuan. Fiani panik, dia teriak kencang sambil tangannya merogoh dompet dan menarik selembar uang, kemudian memberikannya ke Mang Es Krim. Ponsel dia masukkan saku celana, lalu berlari mengejar anaknya."Al ... Ali, Reni ... !" Fiani mengguncang lengan Ali, tangan kirinya menunjuk ke arah jalan raya. Lama direspn, Fiani berpaling. Rasanya tidak ada guna mengharap pertolongan Ali. Reni adalah anaknya, dia harus berusaha sendiri untuk dirinya."Tunggu." Fiani ditahan oleh Ali."Aku nggak punya waktu.""Tunggu dulu, ada apa sebenarnya?" Ali bertanya seolah dia tidak melihat kepanikan perempuan di depannya."Reni dibawa seseorang dan kamu malah bertanya ada apa?" Fiani geleng-geleng, dia menghempas tangan Ali yang mencengkeram pergelangannya.Akan tetapi, Ali kembali menangkap pergelangan tangan Fiani dan berkata, "Tenang, bisa jadi kamu salah lihat.""Kamu gila!" Fiani menginjak kaki Ali, dan mendorong tubuh pria tersebut cukup keras. Namun, usahanya ter
Satu bulan bukanlah waktu yang panjang untuk seseorang menunggu dengan keresahan. Sejak Ali melamarnya, dia enggan melihat detik jam berputar, begitu juga untuk melihat matahari di luar, Fiani malas."Ibu ... ayo beli jajan, Eni mau jajan, Bu." Reni menggoyang tangan Fiani yang sedang diam menatap televisi. Siang itu dia merasa bosan, dan mencoba menyalakan televisi. Namun, ternyata saluran pertama yang tayang adalah berita. Pembawa acara menyebutkan hari dan tanggal saat itu. Fiani kaget, dia sejenak diam dan menghitung berapa lama dia mengurung diri di rumah itu. Hingga suara rengekan Reni menyadarkan keegoisan dan nyalinya yang ciut. Harusnya dia berpikir bagaimana cara keluar dari tempat mengerikan tersebut, bukan malah meratapi hal yang baru direncanakan.Bukankah Tuhan penentu segala kejadian? Apakah imannya mulai lemah dengan berbagai ujian yang Tuhan berikan? Fiani terus berpikir, tidak sepantasnya dia menyerah dengan keadaan. Apa gunanya Tuhan memberi akal jika didiamkan."Bu
“Jaw ... .”“Tidak bisa!”Ali berdiri, meninggalkan Fiani.Fiani berlari, mengejar Ali yang melangkah lebar menuju lantai atas. Perempuan itu menarik tangan Ali. “Nggak bisa gimana? Kamu itu yang nggak bisa menghalangi orang mengambil keputusan! Aku mau tinggal berdua sama Reni, tanpa bayang-bayangmu lagi.”“Kita akan menikah.”“Menikah adalah hal besar, nggak bisa kamu asal ngomong, terus semua tercapai. Menikah itu kesepakatan, Li. Aku nggak akan pernah mau me ... ni ... kah, sama kamu!” Emosi Fiani mulai meledak-ledak.Fiani yakin kebaikan Ali memang tidak beres. Sekarang dia tertahan di sana, dengan orang yang sulit dipahami.“Masih ada waktu, satu bulan. Jadi belajarlah menerima semua ini. Kita akan menikah bulan depan.”Plak ... !Kesabaran Fiani habis, dia paling benci pria mempermainkan pernikahan. Kegagalannya di pernikahan terdahulu, bikin Fiani mawas diri. Tidak terbersit sedikit pun bahwa dia akan dinikahi oleh Ali.Tamparan di pipi Ali, membikin pria itu tersenyum. Detik
Pagi-pagi sekali, Fiani bangun dari tidur nyamannya. Itu adalah hari pertama menjalani kerja di tempat baru dengan orang lama. Masih bersama Ali, pria kaku dengan segudang rahasia. Itu hanya pandangan Fiani.Sebelum beraktivitas, Fiani berjalan ke ruang tamu – menyibak sedikit vitrase yang menutup jendela kaca. Menatap bangunan berlantai tiga di depan rumah kecil yang dia tinggali sekarang. Rumah mungil dengan ruang tamu ukuran 3x3, kamar + kamar mandi 6x6, dan dapur 3x4. Sangat nyaman bagi Fiani. Rumah itu memang diperuntukkan bagi asisten Ali.Cukup takjub dengan pencapaian Ali saat itu. Di usia muda, Ali sudah bisa membangun usaha sendiri. Namun, kadang terbersit rasa penasaran akan usaha-usaha milik Ali. Tentunya selain bergelut di hukum, Fiani yakin, Ali punya banyak bisnis mengular lainnya. Rasanya jika dipikir, kalau hanya dari satu sumber, tidak masuk akal Ali bisa sekaya itu.“Astaga, apa-apaan sih aku ini. Pagi-pagi udah ngurusin harta orang.” Fiani menutup vitrase. Dia masu
Hubungan yang telah terjalin lama, mendadak harus rusak gara-gara satu pihak menganggap pihak lain sepele. Suatu hubungan tidak akan awet ketika komitmen yang terjalin diabaikan.Komitmen? Fiani mengusap air mata, dia terlalu pusing memikirkan kesalahan fatalnya. Persahabatan yang terjalin dengan Arsa murni tanpa syarat. Bahkan sejauh itu, dia bingung dengan letak kesalahannya. Tamparan kemarin, Fiani rasa sangat pelan. Malah seingatnya dia pernah menampar Arsa lebih kuat.Di dalam mobil, Fiani terus berpikir keras. Sampai dia tidak menyadari mobil yang dikendarai oleh Ali berhenti di sebuah rumah makan.Fiani mendongak, dia agak terkejut ketika seseorang memberikan sapu tangan.“Bersihkan air matamu, setelah itu kita makan dulu.”“Aku nggak laper.”Ali memutar tubuh, dia menghadap Fiani yang tengah membersihkan wajahnya. “Saya tahu, tapi pikirkan kesehatanmu. Katanya mau merawat Reni sendiri.”Fiani semakin terisak. Mendengar nama Reni, dia ingat kebaikan Mama Lina, artinya semua ber
Ali menahan tangan Fiani, dia tidak membiarkan Fiani pergi bersama Arsa. Namun, Arsa murka. Pria berkulit kuning langsat tersebut, khawatir pada nasib Fiani jika harus kembali ke rumah yang berdekatan dengan rumah Verry, mantan suaminya.Sekalipun hanya semalam, Arsa tetap tidak rela. Dia tahu bagaimana Verry. Tabiat Verry sudah dihafal oleh Arsa. Pun dengan Fiani. Terlebih posisi Ali memang bukan siapa-siapa. Masalah hutang Budi, atau Fiani masih memiliki sangkutan dan tanggungan pembayaran jasa pengacara terhadap Ali, dia siap melunasi semua. Asal jangan berbuat semena-mena pada Fiani. Kalau dia bisa menjamin keselamatan Fiani sih, Arsa akan tenang. Namun, kenyataannya Fiani terancam celaka gara-gara Ali.Arsa berbalik, maju dua langkah. Matanya menatap Ali tanpa berkedip beberapa detik. Kemudian, dia mendorong bahunya, sampai Ali terhuyung hampir jatuh. Arsa melangkah lagi, dia mengangkat kepalan tangan, mengayunnya ke udara hendak dihempaskan ke wajah Ali. Akan tetapi, sebelum tin