Share

Dua

Fiani memekik tak percaya dengan cerita yang Verry sampaikan.

Bagaimana mungkin Arsa yang notabene teman sekolah Fiani sejak SMP, dan telah banyak membantu Fiani, tiba-tiba berkhianat?

Bukan tanpa alasan, Fiani meminta bantuan Arsa untuk ikut memasarkan kendaraan di dealer miliknya dan Verry. Selain mereka saling kenal dan telah bersahabat lama, Arsa juga memiliki kemampuan pemasaran yang bagus.

Terbukti dengan bantuan Arsa, dealer Verry setiap bulannya mengalami kenaikan omset.

Kini, saat Verry bilang kalau Arsa sudah memalsukan tanda tangannya dan memindah alih semua aset toko yang diperjual-belikan, Fiani sulit untuk percaya.

“Jadi, kamu nggak percaya sama suami sendiri? Mana mungkin aku mengada-ngada, sih, Dek?” Verry berdiri dan berkacak pinggang.

“Bukan gitu, Mas? Aku cuma nggak nyangka aja kalo Arsa tega melakukan itu. Coba nanti aku telepon dia, aku minta dia buat balikin semua hak kita.”

“Namanya uang, Dek, siapa yang nggak tergiur. Apalagi usahaku meningkat pesat. Coba aja telepon kalo kamu masih nggak percaya, pasti nomornya juga udah nggak aktif lagi.” Verry melenggang masuk.

Fiani masih tertegun di teras rumah. Tangannya gemetar memegang ponsel. Banyak hal yang dia pikirkan. Uang hasil jerih payahnya hilang bagai debu. Apalagi untuk saat ini Fiani tak lagi memiliki tabungan. Dia masih berharap kalau suaminya punya sedikit simpanan untuk sekadar memulai usaha baru.

Wanita itu menekan nomor Arsa, hingga panggilan ke tujuh, telepon tak juga terhubung. Fiani semakin gemetar. Kecewa dan marah memenuhi rongga dada. Deru napas mulai tak teratur kala di panggilan ke sepuluh tetap tak tersambung. Dengan gontai Fiani masuk rumah. Mencari Verry yang ternyata sedang duduk santai sambil meneguk kopi dan menikmati tayangan gosip di televisi.

“Mas, kamu kok malah santai-santai? Ayo kita cari Arsa, Mas. Aku nggak terima dia mengkhianati kepercayaanku. Aku kenal dia bukan sehari dua hari, Mas. Aku yakin dia punya alasan kuat melakukan itu. Ayo, Mas.” Fiani menggoyang tubuh Verry dengan berurai air mata.

“Untuk apa, Dek? Kamu pikir dia bodoh? Terlepas apa alasannya di balik tindakan licik yang dipilih. Dia tetap pengkhianat. Ngapain capek-capek ke Rumpang Wetan, akhirnya nanti balik lagi karena dia udah pindah.” Verry membuka ponsel dan menunjukkan MMS yang masuk.

“Apa lagi ini, Mas?” tanya Fiani sendu.

“Lihat, itu rumah Arsa, ‘kan? Dia udah pindah, Dek. Mas dapet foto ini dari temen yang tadi kebetulan lewat depan rumahnya. Setelah Mas bilang kejadian penipuan ini, teman Mas coba kembali ke rumah Arsa. Ternyata udah nggak ada orangnya. Tetangga Arsa juga nggak ada yang tau ke mana penipu itu pindah. Sudahlah, Dek, apa kamu masih mau buang-buang waktu?”

“Masalahnya bukan hanya itu, Mas? Dari dealer motor itu aku investasikan semua uangku. Apa kamu punya tabungan? Makanya bisa santai dan nggak bingung?”

“Mas punya kamu, kenapa harus bingung?” Verry mengecup bibir Fiani singkat.

Wanita mana yang kuat diperlakukan manis oleh suami. Fiani juga sama lemahnya dengan wanita lain, disentuh sedikit saja dia sudah meleleh. Apalagi kalau dipuji dan dianggap keberadaannya sangat berarti, serasa terbang ke taman bunga.

Setelah diperlakukan istimewa, Fiani luluh dan ikut duduk di samping Verry. Menyandarkan kepala pada pundak sang suami. “Terus sekarang gimana, Mas? Rencana kamu apa?”

“Tadi Mas sudah daftarin kamu untuk berangkat lagi.” Verry membelai rambut Fiani.

“Berangkat ke mana?” Fiani membenahi duduknya, lalu menatap sang suami penuh selidik.

“Terbang lagi, Sayang? Kamu kan tau kondisinya seperti apa. Itu adalah solusi terbaik dari permasalahan kita ini.”

"Lho, Mas, kok mendadak, emangnya bisa? Aku juga belum siap, Mas, apalagi Reni belum aku sapih. Setauku kalo mau kerja di luar, apalagi untuk kerja di PT, nggak gampang, lho, Mas. Minimal aku harus melengkapi semua syarat-syarat dulu, barulah aku ke penampungan, dan terbangnya juga nggak bisa dipastikan. Bisa sampai lama banget, Mas. Jadi, kasih aku waktu, ya, Mas."

“Itu urusan gampang. Untuk masalah Reni, nanti kita sambung dengan susu formula. Sama aja, kan?”

“Jelas bedalah, Mas. Aku nggak mau kerja di luar lagi. Terlebih sekarang aku punya keluarga. Punya kamu dan Reni. Aku nggak mau terjadi hal-hal buruk dengan rumah tangga kita. Sebisa mungkin kita harus tetap bersama, Mas. Apa pun yang terjadi.”

Verry menangkup pipi Fiani, lalu mengusapnya lembut. “Dengarkan Mas, Dek, kita memang bisa bertahan di sini, tapi dengan segala kekurangan dan keterbatasan. Buat aku sih nggak masalah, tapi gimana nanti masa depan Reni? Gimana kalo kita nggak bisa menyekolahkan dia, nggak bisa memenuhi semua kebutuhannya. Percaya sama Mas. Mas nggak akan main api.”

Fiani menunduk. Dia paling lemah saat membahas Reni, putri satu-satunya. Ada benarnya yang dikatakan Verry, tetapi dia masih sangat berat meninggalkan rumah untuk bekerja di negara nan jauh di sana. Berbagai macam pikiran menutupi kenyataan yang seharusnya patut Fiani pertanyakan. Bagaimana bisa, Verry mendaftarkan Fiani kembali bekerja ke Jepang tanpa persetujuannya? Apa iya, semua bisa secepat dan segampang itu dilakukan? Sekalipun, Fiani sudah keluar masuk negara Jepang sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

“Kenapa nggak Mas yang berangkat? Aku masih mau ngasih ASI untuk Reni, Mas?” Suara Fiani terdengar sendu karena isak tangis.

"Perempuan lebih gampang, Dek? Tau kan kalo umur Mas udah lebih dari 35 tahun, kamu yang masih 25 lebih dikit. Ditambah Mas belum pernah kerja di Jepang. Prosesnya pasti akan lebih lama dan sulit. Apa kamu mau, Reni punya masa depan suram? Kamu mau, Reni menangis minta dibelikan ini itu, tapi kita nggak punya uang? Jangan egois, Dek. Pikirkan masa depan Reni. Mas akan di sini merawat dia. Kamu jangan khawatir, ada Ibu juga yang bisa bantu Mas jaga anak kita, Sayang.”

Usai obrolan panjang dan cukup serius, Fiani tak bisa berhenti memikirkan bagaimana dia bisa hidup jauh dari keluarga kecilnya.

Sampai malam hari, Fiani masih saja sesekali menangis sambil menciumi putrinya yang tengah tidur. Memandang wajah polos Reni, membikin Fiani ingat masa depan gadis kecil itu terancam gara-gara kasus penipuan yang Arsa lakukan.

Kekecewaan Fiani pada Arsa tak mudah hilang seperti Verry yang menganggap remeh hal tersebut. Dengan tiba-tiba, sebuah ide muncul. Fiani kepikiran untuk coba menghubungi Arsa melalui surat elektronik.

“Mas, laptopnya ditaruh mana, sih? Kenapa di lemari nggak ada? Kayaknya tiga hari lalu baru kupakai,” seru Fiani sambil mengobrak-abrik seisi lemari.

“Kemarin mau Mas pake untuk bikin laporan bulanan, eh, ternyata nggak bisa dibuka, Dek. Ya udah, Mas bawa aja ke tukang servis. Kamu mau cari resep masakan di g****e?” Verry sangat tahu kebiasaan Fiani. Wanita itu hanya membuka laptop untuk berselancar di g****e, mencari apa saja asal menambah pengetahuan.

“Nggak, Mas. Aku mau kirim pesan ke Arsa lewat email.”

“Ngapain lah capek-capek, Dek. Arsa juga pasti udah blokir kamu. Kamu kan udah kirim SMS berkali-kali. Kalo dia ada niat baik pasti nanti hpnya diaktifin, kalo nggak ya dia kabarin kamu. Nggak usah kirim-kirim email.

Mulai sekarang, kamu harus latihan nggak pegang hp dan laptop. Biar pas di sana kamu udah biasa.”

Air muka Fiani berubah menjadi pucat. Dulu saat masih gadis, mau kerja sejauh apa pun, dia tetap bahagia. Beda dengan kini, saat sudah ada Reni, darah dagingnya yang masih lucu dan menggemaskan. Baru membayangkan saja sudah sangat sesak di dada, apalagi jika nanti dia jadi terbang ke Negeri Sakura.

Perjuangannya selama enam tahun bekerja menjadi TKI, musnah sudah. Verry tak pernah bisa mengerti perasaan Fiani, sebab Verry tidak ikut berjuang. Kalau orang bilang, Verry adalah lelaki yang beruntung. Bagaimana tidak? Begitu menikahi Fiani, Verry langsung dimodali usaha. Selain itu, Fiani juga membangun rumah. Tak sampai di situ, Fiani memberi fasilitas kendaraan roda empat untuk suaminya, yang sekarang ikut lenyap dibawa Arsa.

Meski kekecewaan Fiani pada Arsa begitu dalam. Namun, di jurang hati terdalam, Fiani menolak kenyataan itu. Artinya dia masih meragukan kecurangan Arsa.

Fiani berdiri, lalu melangkah keluar kamar dan duduk di sofa depan televisi. Dia menangis agak keras, meluapkan kegundahan hati yang sungguh memilukan.

“Apa nggak ada jalan keluar lain, Mas? Aku nggak bisa jauh dari Reni. Siapa nanti yang akan menyiapkan makannya, mencuci baju dan menidurkannya? Sedangkan kamu itu nggak pernah sama sekali melakukan itu.” Suaranya tak terlalu jelas, tetapi masih bisa dicerna oleh siapa pun yang mendengar. Termasuk sang mertua yang tiba-tiba ikut menyela pembicaraan mereka.

“Fia ... Fia ... kenapa harus bingung? Kan ada Ibu. Biar nanti Reni Ibu yang rawat. Verry bisa cari kerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah. Sudah, jangan terlalu dipikirkan, yang penting kamu mantap untuk berangkat. Setelah dapat gaji, kamu bisa langsung transfer ke sini. Ya, tentu saja semua untuk kebutuhan cucu Ibu. Kamu nggak mau kan, kalo Reni sampai kekurangan?” Bukannya jadi tenang, ucapan Darmi justru membikin hati Fiani semakin kacau.

Fiani menggeleng lemah, lalu kemudian mengangguk dan menyetujui permintaan suami dan mertuanya dengan terpaksa.

“Aku mau Mas, tapi tolong, kamu jaga Reni dengan baik. Jaga rumah tangga kita dari godaan-godaan di luar sana. Aku harap, kamu bisa menahan dirimu selama tiga tahun.”

Verry tersenyum bahkan setengah tertawa dengan gurat semringah mewarnai sorot mata tajamnya. “Kamu nggak usah khawatir, Dek. Ada Ibu yang selalu ngingetin aku. Ya kan, Bu?”

“Oh, iya, tentu saja. Nggak usah dipikirin terlalu berat. Kalo Verry macam-macam, biar Ibu yang kasih pelajaran.”

“Nah, kalo gitu, Mas bisa langsung bilang Beny kalo kamu setuju terbang lusa.” Verry merogoh saku kemeja dan mengambil ponsel, lalu menghubungi Beny – teman sekaligus agen penyalur TKI.

Ucapan yang terdengar santai, tapi bikin Fiani terkejut sekali lagi. Secepat itukah?

“Mas, barusan kamu bilang apa?” tanya Fiani. Namun, Darmi langsung menahan tangan Fiani yang hendak mengikuti langkah Verry.

“Kamu nggak salah denger, Nduk. Memang benar Verry bilang lusa. Semakin cepat bukannya semakin baik? Kamu termasuk beruntung lho, Nduk. Lihat tuh, anaknya Pak Karim, dia sudah daftar setahun lalu, sampe dijualkan tanah lho sama Pak Karim, tapi sampe sekarang belum terbang juga. Syukuri aja.”

"Apa?!"

diara_di

Kira-kira, kenapa Verry maksa Fiani untuk cepat-cepat jadi TKI lagi, ya?

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status