Rania ternganga, namun dengan cepat menguasai dirinya. Ia mengatupkan bibir, lalu tersenyum canggung untuk menutupi rasa terkejutnya.
“Sa-saya hanya tamatan SMA, Pak. Saya tidak memiliki pengalaman kerja sebagai sekretaris,” ujar Rania terbata-bata.Ia tidak bisa memercayai hal ini. Melamar kerja sebagai office girl, tapi malah ditawari menjadi sekretaris. “Bukan sekretaris. Jadi asisten pribadi,” ralat pria yang mewawancarainya, Reza. Rania tidak menyembunyikan kebingungannya. Ia tidak bisa membedakan antara sekretaris dengan asisten pribadi. Bahkan, baru kali ini ia mendengar mengenai jabatan asisten pribadi. “Tugas Bu Rania adalah mendampingi Pak Radin, calon atasan Ibu, untuk bekerja. Intinya, Bu Rania akan fokus membantu Pak Radin melakukan pekerjaannya dari pagi hingga selesai. Bu Rania antara lain bertugas mengatur jadwal kerja, menerima telepon atau email untuk Pak Radin, menyediakan dan menyimpan dokumen yang diperlukan oleh Pak Radin, menyiapkan rapat termasuk mengundang pihak-pihak yang dikehendaki oleh Pak Radin dan melaporkan hasil rapat,” jelas Reza, merangkum secara runut apa saja tugas Rania jika ia menerima tawaran tersebut. “Maaf, Pak. Saya tidak punya pengalaman mengerjakan tugas-tugas itu.” Reza tersenyum lalu menunjukkan curriculum vitae yang dikirimkan oleh Rania sebelumnya. “Bu Rania terlalu merendah. Sebelumnya, Ibu bekerja di perkebunan karet, peternakan sapi dan usaha pertanian lainnya, bukan? Beruntung Ibu mengirimkan CV dan bukan hanya resume, sehingga kami dapat mengetahui kualifikasi Ibu yang sebenarnya. Dengan pengalaman seperti ini, Bu Rania akan menjadi andalan Pak Radin dalam bekerja.” Rania merasa tidak nyaman dan membalas, “saya hanya membantu usaha keluarga mantan suami saya, Pak.” “Saya sudah menghubungi tempat kerja Bu Rania yang lama dan berbicara dengan Pak Rustam. Beliau membenarkan apa yang tertulis dalam CV milik Ibu ini. Jadi, kami yakin bahwa Ibu adalah orang yang tepat untuk menjadi asisten pribadi Pak Radin. Jika Bu Rania menerima tawaran kami, maka dalam bekerja, Bu Rania akan banyak berkoordinasi dengan saya selaku sekretaris Pak Radin. Jangan khawatir, saya akan membantu dan membimbing Bu Rania dalam melaksanakan tugas,” lanjut Reza, tidak menyerah. Rania tertegun. Sejenak ia merasa aneh dengan tawaran yang terdengar memaksa tersebut. Namun wajah anaknya terbayang di benaknya. Apa pun akan ia lakukan demi anaknya. “Baiklah, Pak. Saya menerimanya. Saya mohon bimbingan dari Bapak agar saya dapat bekerja dengan baik,” kata Rania pada akhirnya. Reza tersenyum puas. Ia menyalami Rania. “Selamat bergabung dengan kami, Bu. Sekarang, mari saya antar ke kediaman Pak Radin. Dalam perjalanan, saya akan menjelaskan tugas-tugas Bu Rania. Ibu akan bertugas mulai besok pagi.” Rania tersentak. Bukan karena masa kerjanya dimulai secepat itu, melainkan karena ia harus menemui atasannya di rumahnya. “Maaf, Pak. Apakah perlu bagi saya untuk mengunjungi kediaman Pak Radin?” “Tentu saja. Ibu bertugas menyiapkan segala keperluan Pak Radin, dimulai dengan memilihkan pakaian yang akan Pak Radin kenakan pada hari kerja, setiap hari. Tujuannya agar Pak Radin tidak perlu menggunakan waktu dan pikiran untuk mengambil keputusan ‘remeh’ seperti memilih pakaian dan jenis makanan yang akan dikonsumsi. Sehingga, Pak Radin dapat fokus dalam mengambil keputusan-keputusan penting bagi perusahaan.” Rania terhenyak. Dia belum pernah bertemu dengan Radin, namun harus mengerjakan hal yang biasanya dikerjakan oleh seorang istri? Astaga, apakah Radin ini tidak memiliki istri atau memang dirinya terlalu manja untuk mengerjakan hal sepele seperti memilih kaus kaki? “Maaf, Pak Reza. Apakah tidak apa-apa bagi saya untuk melakukan pekerjaan bersifat pribadi seperti itu? Saya rasa, istri Pak Radin tidak akan menyukainya.” Reza tertawa pelan dan menjawab, “Pak Radin masih membujang, Bu. Jadi Bu Rania tidak perlu khawatir.” Rania tercengang. Kehilangan alasan untuk menolak. *** Reza dan Rania tiba di parkiran apartemen Radin sore itu juga. Rania tercengang saat mengetahui bahwa apartemen Radin tergolong sederhana untuk kelas seorang CEO perusahaan ritel nasional. Rinto, mantan suaminya, memiliki apartemen yang lebih mewah dan mahal daripada apartemen yang ditempati oleh Radin. “Pak Radin tinggal sendirian di sini. Para pekerja rumah tangganya hanya bekerja dari pagi hingga malam hari dan tidak menginap di sini,” jelas Reza. Reza dan Rania kemudian turun dari mobil Reza. Sesaat setelah mereka menutup pintu mobil, seruan seorang pria membuat mereka menoleh. “Rez! Ada apa main ke sini?!” Seorang pria tersenyum dan menghampiri Reza dan Rania. Penampilannya urakan, seperti orang mabuk. Tiga kancing teratas kemejanya terbuka dan dasinya tergantung sangat longgar. Rambutnya awut-awutan dan wajahnya sedikit kusut. Dia seperti baru saja keluar dari dapur usai memasak dan mencuci piring dengan pakaian formal. “Itu Pak Radin,” jelas Reza pada Rania, sambil menghampiri pria tersebut. Setelah mendapatkan penjelasan dari Reza mengenai Radin, Rania tidak terkejut lagi saat ia bertemu dengan pria itu. Kesan pertamanya adalah pria itu berjiwa bebas dan hidupnya tidak teratur. Jika sudah teratur, dia tentunya tidak memerlukan asisten pribadi untuk memilihkan pakaiannya, bukan? Radin ternyata masih muda, mungkin hanya lebih tua satu atau dua tahun daripada Rania yang berusia tiga puluh satu tahun. Kulitnya eksotik, berwarna kecokelatan. Bentuk tubuhnya bagus dan cukup kekar, menandakan dia cukup berolahraga. Wajahnya… entahlah. Rania tidak bisa mengatakan ia tampan. Namun, tanpa melihat status sosialnya, Rania menganggapnya berpenampilan menarik dengan senyuman yang simpatik. Akan tetapi, sebelum ketiga orang itu saling berhadapan, mereka dikejutkan oleh deru sebuah mobil yang melaju kencang ke arah Radin. Decit ban terdengar saat mobil direm persis di belakang Radin. Dua orang pria dengan wajah disamarkan, turun dari mobil. Dengan sangat cepat, mereka memasukkan kepala dan tubuh bagian atas Radin ke dalam sebuah kantung hitam, lalu menyeretnya masuk ke dalam mobil. Mobil kemudian melaju lagi meninggalkan lokasi, membawa pergi Radin bersamanya. Kejadian itu begitu cepat hingga membuat Rania hanya dapat membeku beberapa saat. Saat Reza berteriak dan mencoba mengejar mobil para penculik, barulah Rania sadar dari rasa terkejutnya. Saat ia mengarahkan pandangan lagi ke mobil yang membawa kabur Radin, ia hanya melihat bagian belakang mobil berwarna putih tersebut. Reza sendiri lalu melakukan tindakan paling logis yang dapat ia lakukan: menelepon untuk meminta bantuan. Rania tidak tahu, dengan siapa Reza berbicara, namun tampaknya bukanlah pihak keamanan atau aparat kepolisian. Reza menyebut istilah-istilah yang asing baginya, sama asingnya dengan nama posisi asisten pribadi yang baru Rania jabat. “Maaf, Bu Rania. Saya terpaksa meninggalkan Ibu di sini karena saya harus menangani insiden ini. Akan ada yang menjemput dan mengantar Ibu balik ke kantor. Besok pagi, saya pastikan Ibu sudah dapat bekerja sesuai kesepakatan,” ujar Reza usai menelepon. Tanpa menunggu jawaban Rania, Reza membawa mobilnya pergi menuju arah yang sama dengan arah perginya mobil penculik. Rania tercengang. Kebingungan ditinggal sendirian tanpa penjelasan. Apa yang telah terjadi sebenarnya?Dua bulan kemudian.“Saya terima nikah dan kawinnya Rania binti Ramdan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”Radin mengucapkan kabul dengan mantap, tanpa kesalahan dan tanpa rasa gugup sedikit pun. Ia sudah menantikan pernikahan ini selama tiga belas tahun, jadi tidak ada alasan untuk melakukan kesalahan atau merasa gugup sedikit pun.Setelah dua orang saksi menyatakan sah, ucapan hamdalah menggelora di ruang keluarga kediaman Rasyid sekeluarga. Rasyid sendiri selaku saksi nikah dari pihak Radin, bahkan tak kuasa menahan tangis haru melihat pernikahan anak angkatnya tersebut.Demikian pula Rustam yang menjadi saksi nikah dari pihak Rania. Sebagai orang yang telah mengikuti kisah cinta Rania dan Rais atau Radin sejak masih remaja, ia tampak sangat bahagia dan lega karena pada akhirnya, Rania dan Radin bisa bersatu. Tiga belas tahun bukan waktu yang singkat untuk cinta yang terhalang ha
Mobil yang ditumpangi Rania dan Rea melaju dengan kecepatan sangat tinggi hingga tiba di kediaman Rasyid dalam waktu yang lebih cepat daripada biasanya. Keduanya langsung menemui Rasyid yang tengah menemani Rona yang tengah ‘bermain’ di sebuah dojo.Rania tersentak saat melihat putrinya tengah belajar dasar-dasar ilmu bela diri dari seorang wanita. Karate, jiujitsu, entahlah, Rania tidak yakin. Hal yang lebih penting adalah, keberadaan Rona di dojo itu adalah tanpa sepengetahuan Rania sebagai ibunya.Namun, Rania tak ingin langsung menyinggung hal itu. Sebab, saat ini, ada hal yang lebih genting untuk dibahas dengan Rasyid.“Bundaaa!” seru Rona sambil berlari untuk memeluk Rania. “Aku latihan karate. Kata Kakek Rasyid, aku bisa sekuat Om Radin kalau rajin latihan.”Rania mengusap puncak kepala putri semata wayangnya itu. Astaga. Lihatlah anak ini.
Hanya terdengar suara ringisan dan jeritan mereka yang tertembak. Hampir dapat dipastikan, korban terbanyak jatuh dari pihak Rinto. Entah dengan anak buah Radin. Kalau pun jatuh korban dari pihak mereka, tentunya mereka sudah menolong kawan mereka.Dari luar toko, di antara keluh penderitaan anak buah Rinto yang tertembak, terdengar langkah kaki seseorang yang mendekat. Bunyi langkahnya teratur, menimbulkan gema yang tertata di antara teriakan para anak buah Rinto.“Bagaimana terornya? Rinto, pasti menyeramkan, ya, tidak bisa ke mana-mana karena bisa tertembak kapan saja. Di kandang lawan, lagi.”Rinto terkesiap. Itu Radin! Dia sedang mengejek Rinto, pria yang sudah ‘merebut’ cinta pertamanya.Kedua tangan Rinto terkepal. Dia murka atas penghinaan itu. Tapi untuk saat ini, tidak ada yang bisa ia lakukan. Radin sedang di atas angin berkat kelicikannya menipu Rinto yang tidak me
Mobil yang ditumpangi oleh Rania dan Rea melesat sekencang-kencangnya, menjauh dari lokasi pertemuan Radin dan Rinto. Sayup-sayup, terdengar bunyi rentetan tembakan dari gedung bekas pusat perbelanjaan tersebut.“Mas Radin sedang mengamuk,” komentar Rea sambil menengok ke belakang, seakan ia bisa melihat pertempuran di dalam gedung tersebut. “Mereka mungkin sudah kehilangan nyawa.”Namun Rania tidak sependapat. Ia ikut menengok ke belakang.“Kalau mereka terluka, aku rasa iya. Tapi, seperti kata Radin, tidak ada yang akan mati atau masuk penjara. Radin pasti akan menyelesaikan sesuai janjinya,” ujar Rania tenang. Sama sekali tidak gusar atau merasa cemas atas apa yang tengah terjadi.Rea menoleh pada Rania. Tercengang mendengar ucapan Rania.“Jadi, Mas Radin akan mengampuni mereka?” tanya Rea, tampak meragukan ujaran Rania.&
Tapi, di sisi lain, persetujuan Rania untuk hidup bersama dengan Radin telah menggoyahkan tekad Radin untuk membalas perbuatan Rinto. Barangkali memang benar, jalan terbaik adalah melupakan lalu mengambil langkah baru bersama seseorang yang berharga seperti Rania ….“Baiklah kalau begitu. Aku akan ….”Ucapan Radin terputus saat seseorang menyela kalimatnya. Bukan Rea atau Rania, melainkan seorang pria yang telah memaksa Radin berbuat sejauh ini.“Rania? Kau mau hidup bersama penjahat ini???!!!”Rania, Radin dan Rea serempak menoleh pada Rinto. Rupanya, dia telah keluar dari toko. Ramon dan Ryan mungkin masih dalam posisi siaga terhadap anak buah Rinto, sehingga Rinto memanfaatkan ketegangan itu untuk ke luar.Dugaan Radin ternyata hampir sepenuhnya benar. Di belakang Rinto, empat orang anak buahnya mengikuti disusul oleh Ramon dan Ryan.
Radin mendengus dan tersenyum miring. Ia tidak ingin menunjukkan emosi apa pun lagi. Segalanya tergantung pada Rania. Ia pun menoleh pada kamera ponsel yang dipegang oleh Ramon.“Bagaimana, Rania? Sudah mengingatku? Apa pendapatmu? Diselesaikan di luar sana atau di sini?” tanya Radin tenang.Sementara itu, Rinto tampak terguncang. Wajahnya memucat. Tubuhnya gemetaran dan menggeleng berkali-kali. Tidak memercayai apa yang ia alami saat ini. Para anak buahnya mulai saling melirik. Jelas, mereka sudah membaca situasi yang tidak menguntungkan itu.Namun Radin tak peduli pada keadaan Rinto. Ia hanya menunggu tanggapan Rania.Sayangnya, tidak ada tanggapan dari seberang sana. Bahkan, layar ponsel menunjukkan gambar yang bergoyang, pertanda pemegang ponsel tengah bergerak secara tiba-tiba.“Hei! Tunggu! Jangan ke sana!”Terd