"Bagaimana kabarnya Tiara ya pak, kenapa dia tidak lagi mengunjungi kita. Apa kita pastikan saja kerumah Bram?" ujar Suti pada Wisnu-suaminya."Jangan buk, ibu lupa bagaimana Bram meminta kita untuk tidak lagi campuri urusan mereka. Apalagi, sekarang Tiara sudah menjadi istrinya, Bram punya hal penuh akan apa yang harus dan tidak harus Tiara lakukan," jawab Wisnu."Tapi kita orang tuanya, pak! Apalagi bapak, bapak kandungnya, lebih berhak akan kehidupan Tiara!" pekik Suti sedikit meninggi suaranya.Wisnu yang sedang duduk di kursi, dekat Suti yang sedang merapikan pakaian pelanggannya, hanya menyandarkan punggung disertai helaan nafas pelan mendengar suara lantang sang istri.Entahlah, sekarang istrinya itu sering berkata lantang padanya, setelah kepulangan Tiara beberapa waktu lalu."Hah! mungkin dengan begitu, bapak tidak lagi menyulitkan hidupnya," gumam Wisnu yang terdengar samar oleh Suti."Ngomong kok gak jelas," ketus wanita itu. Namun, begitu melihat raut kesedihan yang tampak
"Jadi benar, Tiara memiliki anak dari Ziyan," tanya Wisnu pelan."Apa anda tidak mengetahui itu?" Thomas justru balik bertanya.Wisnu menggelang kepala, walaupun sebenarnya percuma ia lakukan itu, karena Thomas juga tidak melihatnya."Bapak baru menyadari itu sekarang, maafkan atas kelalaian bapak ini, nak" ujarnya penuh sesal."Hah! sudahlah pak, semuanya sudah terjadi. Saya hanya berharap, sekarang bapak bisa bersikap baik pada Tiara maupun Nana," balas Thomas. "Itu pasti akan bapak lakukan, Nak," jawab Wisnu, "Lalu, bagaimana dengan Bram? Apa dia bisa menerima anak Tiara?""Iya, karena anak itu begitu menggemaskan. Anda tenang saja, karena secepatnya aku pasti membawa Nana berkunjung ke rumah anda.""Benarkah!" sela Wisnu yang seketika berubah sumringah.Keharuan tidak bisa lagi pria paruh bayah itu sembunyikan, ia bahkan tersenyum sambil meneteskan air mata
"Mau kemana kamu?" tanya Thomas.Ia yang saat itu sedang duduk di kursi dekat kolam, memperhatikan ikan-ikan peliharaannya, seketika menegakkan tubuh begitu mendapati Sari hendak lewat di sampingnya"Kamu nanyak, kamu bertanya-tanya," jawab gadis itu.Thomas berdecit melihat Sari justru memajukan bibir.'Sial! bibirnya bikin otakku langsung traveling,' geramnya dalam hati."Gitu amat jawabnya Sar, tanya baik-baik loh ini," ujar Thomas."Iya mas Tom-Tom, aku mau bantu-bantu mbak di dapur siapin makan siang, mumpung Nana lagi belajar melukis di kamar," jawab Sari dengan suara dibuat sehalus mungkin dan disertai senyum kaku."Nah, gitu kan enak di lihat. Buatin kopi dong, terus, anter ke ruang kerjaku ya," pinta Thomas."Iya, mas Tom-Tom," sambung Sari masih bersikap terpaksa baik pada Thomas.'Ck, kalau saja kamu bukan adiknya tuan Bram, mungkin sudah aku nikah
Sari merutuki diri, merasa lancang karena sudah berani menanyakan urusan pribadi Thomas. Terlepas dari apa yang pernah dilakukan pria itu padanya, tapi Sari menganggap jika pertanyaannya barusan sudah berlebihan."Maaf mas, kalau aku sudah lancang bertanya." Sari spontan menarik kedua tangannya, lalu terjingkat bangun."Kamu mau kemana, sini biar aku obati dulu," terang Thomas seraya mendongak."Enggak apa-apa mas, ini hanya luka kecil, aku bisa obati sendiri dibelakang kok."Sejujurnya, Sari merasa kikuk bisa sedekat itu dengan Thomas, walaupun mereka sering bertemu selama dirinya tinggal di paviliun, tapi dengan jarak sedekat itu, baru pertama kali terjadi. Dan lagi, Sari juga cukup sadar diri siapa dirinya."Sudahlah, jangan membantahku. Duduk lagi, aku obati lukamu. Ini juga karena aku kedua tanganmu bisa merah begini," ucap Thomas."Ta-tapi–""Sudah, duduk saja," sela Thomas.
"Kau sudah pulang kak," tanya Thomas yang kebetulan berpasangan dengan Bram saat berada di tangga."Ada apa dengan wajahmu? apa kau baik-baik saja?" Begitulah Bram, di balik wajah datar dan sikap pendiamnya, sebenarnya pria itu memiliki kepedulian tinggi pada orang-orang terdekatnya."Apa kamu sudah melihat berita hari ini?" Thomas justru balik tertanya."Tidak, aku belum sempat membuka berita apapun hari ini.""Ck, memang begitu, kalau sudah berurusan dengan ranjang, tidak ada hal lain lagi yang ingin dilakukan," sindir Thomas.Tidak ingin menanggapi sindiran Thomas, Bram langsung merogoh ponsel dari dalam saku celananya. Dan dalam hitungan menit, pria itu-pun langsung membuka berita trending hari itu."Cih, sudah aku katakan, dia bukan wanita yang pantas bersanding denganmu, dan sekarang. Dia sendiri yang membuktikan siapa dia sebenarnya," cibir Bram.Pria itu seringai,
Tangan mungil Nana terus menggenggam erat jari telunjuk Bram. Keduanya berjalan beriringan saat memasuki pusat perbelanjaan. Ternyata, Bram memutuskan mengajak Nana ke tempat itu, daripada ke taman bermain seperti yang ia ucapkan sore tadi. Setelah makan malam, Bram langsung mengajar Nana keluar, agar gadis itu tidak lagi murung mengingat ibunya."Wah .. tempat ini besar sekali, paman. Apa kita nanti akan naik kesana?" tanya Nana seraya menunjuk eskalator."Iya, kita kesana sekarang."Mengenakan pakaian santai lengkap dengan kacamata hitam, Bram berjalan penuh percaya diri. Seolah, genggaman erat Nana di jarinya tidak membuat pria tiga puluh satu tahun itu risih sedikitpun. Bahkan, tatapan kagum para kaum hawa yang menyebutnya 'hot daddy' tidak Bram pedulikan. Pria itu tetap acuh, saat sesekali membenahi poni Nana yang menghalangi matanya.Sungguh, pemandangan manis layaknya seorang ayah dan anak perempuan pada umumnya. Walaupun sebenarnya, mamang itu-lah ikatan yang terjadi diantara
Begitu mobil berhenti, Bram keluar lebih dulu, lalu kembali membuka pintu depan, samping kemudi untuk menggendong Nana yang tertidur. Terlalu semangat bermain, bocah itu sampai kelelahan, dan akhirnya tertidur ketika mobil Bram baru beberapa meter meninggalkan pusat perbelanjaan.Bram, tampak begitu hati-hati saat mengeluarkan Nana dari dalam mobilnya. Seolah khawatir, bocah itu akan terbentur pintu ataupun yang lain."Biar saya saja, tuan," ucap Sari yang sigap mendekat begitu mendengar mobil Bram kembali."Tidak usah, biar aku saja," jawab Bram tanpa suara."Buka saja bagasi, ada beberapa mainannya di sana," jelas Bram yang kini bersuara pelan."Baik tuan."Tanpa menoleh kebelakang lagi, Bram langsung bergegas memasuki rumah melewati pintu penghubung yang terdapat di garansi."Ya ampun, aku lupa bertanya, bagaimana buka bagasinya," gumam Sari kebingungan.Gadis itu sibuk
"Iya," jawab Bram singkat."Sebegitunya kau menyukai anak tirimu itu, kak?" Bram acuh melihat Thomas menahan senyum, sebelum akhirnya ia menjawab, "Kau tahu jawabannya, kenapa masih bertanya""Iya, dan aku hanya ingin memberimu saran, lebih baik kau siapkan kamar sendiri untuk Nana. Agar, saat kamu memasuki kamarnya tidak ada wanita lain," cetus Thomas.Itulah alasannya, kenapa Bram membawa Nana ke kamarnya, karena di paviliun Nana masih tidur bersama Sari. Sementara Bram, setelah apa yang ia lakukan dengan Tiara dan juga Mawar dulu. Membuatnya merasa tidak nyaman berada di kamar wanita dewasa, meskipun hal itu mustahil terjadi, tapi Bram tetap tidak bisa melakukannya."Akan aku pikirkan nanti," jawab Bram, "Pergilah, aku juga ingin istirahat sekarang," sambungnya."Baiklah, selamat malam," ucap Thomas yang langsung berbalik badan dan melenggang pergi.Melihat Thomas sudah berlalu, Bram menutup pintu dengan pelan, khawatir akan mengusik tidur Nana. Setelah berada di kamarnya, Bram mem