Share

Dusta

“Hallo Mbak Venus, untuk pilihan dekornya sudah saya kirim lewat email ya mbak … pilihannya enggak baku kok, Mbak Venus masih bisa nambah atau ngurangin sesuai keinginan Mbak.”

Kepala Venus langsung pening mendengar salah satu anggota Wedding Planer menghubunginya untuk membicarakan perihal pesta pernikahan.

“Oh iya, Mbak … makasih infonya, nanti akan saya kabarin.”

“Baik, Mbak … untuk fitting-nya apa sudah dilakukan? Apakah gaunnya sudah oke?”

Belum, Venus dan Altezza tidak sempat fitting karena Altezza mendadak harus meeting atau bercinta dengan Wulan dan Venus sudah tidak semangat mempersiapkan pernikahannya lagi.

“Oh ya, Mbak … bisa telepon calon suami saya enggak, buat ngingetin tentang fitting?”

Mendengar permintaan Venus, si mbak-mbak Wedding Planer langsung diam.

Dia bingung, kenapa harus dia yang memberitahu sementara calon istrinya si mempelai pria adalah Venus.

“Oh … baik, Mbak.” Meski begitu, dia menyanggupi dari pada pernikahan mereka batal.

Dia mengira antara Venus dan Altezza tengah terjadi perang dingin dampak dari ketegangan yang dirasakan keduanya sebelum hari besar mereka.

Sambungan telepon pun terputus.

Venus menutup wajahnya dengan kedua tangan yang sikutnya bertumpu di meja kubikel.

Dia menarik napas kemudian mengeluarkannya perlahan.

Entah lah apa yang dirasakan Archio setelah mengetahui istrinya selingkuh karena dia yang belum menikah dengan Altezza saja rasanya sakit sekali, gundah, kecewa dan sekarang bimbang.

Apa dia harus pulang dulu ke Bandung untuk bertemu kedua orang tuanya dan menceritakan semua ini?

“Venus,” panggil Diana yang entah sudah ke berapa kali.

“Lo ngelamun?” tanyanya menyindir.

“Eh … eng-enggak.” Venus terbata.

“Lo belum cerita hasil dari penelusuran lo ngikutin Altezza kemarin … gimana? Dia terbukti selingkuh?”

Venus memang belum menceritakan apapun kepada Diana karena akhir-akhir ini mereka sibuk sekali.

Dia hanya mengembalikan mobil Diana, memarkirkannya di kossan sahabatnya itu dan menitipkan kunci kepada sekuriti kossan.

Kebetulan Diana ngekos di kossan eksclusive yang parkirannya luas.

Diana juga punya dua mobil, mobil yang sering dia gunakan adalah mobil pemberian kekasih barunya dan mobil yang dipinjamkan kepada Venus untuk menguntit Altezza kemarin adalah mobil milik pribadi yang dibeli dari hasil kerja keras Diana sendiri.

Venus hanya tersenyum kecut menanggapi pertanyaan Diana.

“Lo beneran … liat dia selingkuh?”

Ditanya seperti itu, mata Venus langsung berkaca-kaca membuat Diana yakin dengan tebakannya.

Venus menganggukan kepala, air matanya seketika jatuh tidak terbendung.

“Ya Tuhan ….” Diana langsung memeluk Venus.

“Lo sempet gerebek dia enggak? Lo jangan lemah, lo harus kuat ….” Diana memberi semangat.

Venus masih menangis dalam pelukan Diana, suara tangis Venus terdengar hingga ke ruangan atasannya.

Pak Hendi jadi keluar untuk menghampiri kubikel Venus.

“Ada apa?” Beliau bertanya.

“Enggak Pak, biasa … kalau lagi PMS cewek memang gini, sensitif …,” jawab Diana sembari sesekali tersenyum.

“Oooh … kirain kenapa, kamu balik ke tempat kamu …,” kata Pak Hendy kepada Diana.

Diana dan Venus memang beda divisi dan kedatangan Diana ke sini hanya iseng setelah tadi dia dari toilet yang letaknya kebetulan dekat dengan divisi Venus.

“Baik, Pak ….” Diana melepaskan pelukannya dari Venus.

“Nanti gue minta OB untuk buatin lo teh manis ya.” Diana mengusap-mengusap lengan Venus.

Venus mengangguk sembari mengeringkan air matanya menggunakan tissue.

“Permisi, Pak.” Diana mengangguk sedikit ketika melewati Pak Hendy.

“Kamu, bawa notes … terus ke ruangan saya, jangan lupa panggil Hendrik, Tyo dan Reza,” titah Pak Hendy.

Bukannya kejam tapi dia tidak ingin Venus bersedih terus menerus meski beliau tidak tahu alasannya dan Pak Hendy juga tidak mau tahu.

Jadi Pak Hendy akan memberi Venus pekerjaan agar dia sibuk dan berhenti memikirkan masalahnya.

Meeting di ruangan Pak Hendy selesai bertepatan dengan jam pulang kerja.

Venus kembali ke kubikelnya untuk merapihkan meja.

Sebetulnya dia masih memiliki pekerjaan tapi akan diselesaikan di apartemennya.

Ketika merapihkan barang-barangnya, ponsel di atas meja berdering.

Nama Altezza muncul di layar.

“Hallo?” Malas-malahan Venus menyahut.

“Lemes banget, sayang.”

Jujur, Venus tidak bersemangat berkomunikasi dalam bentuk apapun dengan Altezza sekarang.

“Aku beres-beres dulu ya, aku udah mau pulang.”

“Oke, aku sekarang lagi di parkiran… aku tunggu di sini ya.”

“Parkiran, mana?” Venus langsung bergerak ke dinding kaca yang menunjukkan pemandangan parkiran.

“Parkiran kantor kamu lah, sayang.”

“Mau ngapain?”

“Ya jemput kamu … kamu mah suka amnesia, kamu ‘kan pacar aku ya aku jemput kamu lah … kita fitting sekarang.”

“Tapi aku bawa mobil.”

“Ya udah, nanti aku anter ke apartemen terus besok aku jemput kamu lagi.”

***

Yang tadinya Venus ingin cepat pulang ke apartemen dan membenamkan dirinya di kasur saja—akhirnya harus fitting pakaian pengantin bersama Altezza.

Demi apa, Venus sampai bingung karena Altezza tampak antusias dan dia banyak bicara meminta ini dan itu agar tuxedo-nya sempurna.

Begitu juga ketika menilai gaun pengantin Venus.

Dia meminta agar bagian dada dari gaun itu dinaikkan agar tidak terlalu mengekspose bagian dada Venus.

Seolah-olah, Altezza adalah pria baik-baik, bertanggung jawab dan mencintai Venus sepenuh hati dan tidak ingin tubuh indah Venus dilihat orang lain.

Jujur, Venus jadi muak.

“Kamu sakit ya? Akhir-akhir kamu jadi pendiam.”

Venus hanya menoleh, menatap sekilas pada Altezza yang tengah mengemudi.

Sekarang mereka sudah berada di dalam mobil dalam perjalanan ke apartemen Venus.

“Capek mungkin ….” Venus menjawab singkat enggan suara pelan.

“Ada yang lagi kamu cemaskan?” Altezza bertanya lagi.

Lalu hening beberapa saat karena Venus memilih untuk mengabaikan pertanyaan Altezza.

Tapi tidak lama kemudian dia memanggil nama pria itu

“Al ….”

“Ya?” Dia meneloh menatap Venus cukup lama setelah menginjak rem untuk menunggu lampu lalu lintas berubah hijau.

“Kamu yakin sama aku? Kamu yakin sama pernikahan kita?”

“Kok tiba-tiba nanya gitu? Kita mau nikah lho sebentar lagi … kamu enggak liat gimana senengnya aku? Kamu memangnya enggak yakin ya? Apa yang buat kamu ragu?”

Sebetulnya pertanyaan Altezza diakhir kalimatnya itu adalah jalan untuk mengungkap perselingkuhan pria itu yang sudah diketahui oleh Venus.

Tapi entah kenapa Venus tidak bisa melakukannya.

Ada perasaan takut kalau Altezza akan balas marah mengetahui dia menguntitnya.

Juga takut tentang banyak hal karena setahun lalu dia pernah ada di posisi ini dan mereka bertengkar hebat.

Tapi ujung-ujungnya Venus malah menerima lamaran Altezza.

Rasanya seperti buang-buang waktu dan tenaga saja.

Sekarang Venus hanya memiliki dua pilihan, mencoba memaafkan Altezza dengan memperbaikinya, membuat pria itu sadar agar berhenti selingkuh atau memutuskan untuk meninggalkan Altezza, membatalkan pernikahan mereka.

“Tuh yaaa … malah ngelamun kamu maaah ….” Altezza mengusap-ngusap puncak kepala Venus.

“Sini sayang, bobo di pangkuan aku.” Perlahan Altezza menarik kepala Venus agar berbaring di pahanya.

Dan Venus menurut, merebahkan kepalanya di atas pangkuan Altezza yang sedang menyetir.

Venus memejamkan mata, dia sedang berusaha menahan tangis.

Altezza tidak selalu buruk, kadang dia juga manis dan hangat serta romantis.

Venus jadi semakin bingung dan bimbang.

“Sayang, kamu tidur?” Altezza bertanya setelah memberhentikan mobilnya di depan lobby apartemen Venus.

Venus menjawab dengan menegakan tubuhnya.

“Aku enggak turun ya, aku masih ada kerjaan … tadi pulang cepet biar kita bisa fitting.”

“Iya … aku juga punya kerjaan.” Venus siap-siap turun, dia memasukan ponselnya ke dalam tas.

“Oh iya, Al … long weekend ini aku mau pulang ke Bandung, kamu temenin aku ya?”

“Haduuuuh ….” Altezza membatin.

Dia tidak bisa mengantar Venus pulang mengunjungi kedua orang tuanya karena telah memiliki janji dengan Wulan pergi ke Bali.

Baru tadi pagi dia memesan tiket dan hotel untuk dirinya dan Wulan.

“Weekend ini aku ada gathering di Bali.”

Tentu saja Altezza berdusta, dia sudah memikirkan alasan begitu merencanakan liburan ke Bali dengan Wulan.

“Ooohhh … ya udah aku pulang sendiri saja ….”

“Yakin, kamu enggak apa-apa pulang sendiri?”

“Enggak apa-apa.” Venus tersenyum ironi.

“Kamu hati-hati ya,” kata Venus sebelum dia turun dari mobil Altezza.

“Besok aku jemput ya, sayang.”

Venus memberikan anggukan kepala lalu menutup pintu mobil.

Altezza bisa melihat senyum Venus ketika tunangan cantiknya itu melewati bagian depan mobil.

Venus lupa mencium bibir atau pipi Altezza jadi pria itu membuka kaca jendela.

“Sayang.”

Venus menghentikan langkah lalu menoleh ke belakang.

“Kamu belum cium aku.” Altezza melongokan kepala.

Tanpa diminta dua kali, Venus membungkuk mengecup pipi Altezza.

“Bye …,” ucapnya sebelum menginjak pedal gas.

Venus melambaikan tangan, senyumnya berubah getir.

Di saat yang sama tapi beda kota, tepatnya di Kota Surabaya.

Secara mengejutkan Wulan pulang lebih awal ke rumah.

Archio yang baru saja turun dari lantai dua usai membersihkan tubuhnya di kamar mandi—sempat terkejut melihat Wulan sedang membuka heel-nya di ruang tamu.

“Kamu sudah pulang?” Archio bertanya basa-basi.

“Iya … aku bawa makan malam, tadi aku ke restoran ibu … udah lama enggak ketemu ibu.”

Segera saja senyum tersungging di bibir Archio, dia senang sekali Wulan mengunjungi ibunya.

Archio menghampiri Wulan.

“Aku siapin di meja makan, kamu mandi dulu aja sana.” Archio mengambil alih paperbag dari tangan Wulan.

“Oke,” kata Wulan disertai senyum yang dibuat setulus mungkin.

Selagi Wulan mandi, Archio menaruh makan malam yang dibawa Wulan ke piring saji.

Dia menyiapkan piring, menuang air ke jar sampai menyalakan lilin agar makan malam mereka menjadi romantis.

Tidak lama Wulan turun, matanya berbinar takjub melihat meja makan yang sudah ditata rapih oleh Archio.

Archio juga senang sekali melihat senyum di wajah Wulan.

“Sayang …,” panggil Wulan membuat Archio mendongak dari piring yang sedang ditekuninya.

“Kenapa sayang?” Archio menyahut sama mesranya.

“Weekend ini aku ada acara gathering ke Bali … pergi Kamis malam … pulang minggu.”

Wulan bukan sedang meminta ijin, dia sedang memberitahu.

Archio menatap Wulan, raut wajah yang tadi ceria berubah dingin.

“Oh …,” kata Archio yang curiga kalau Wulan sedang berdusta.

Tapi dia juga masih ragu dengan prasangkanya.

Tahun ini memang belum ada gathering dari kantor Wulan dan memang biasanya gathering dilakukan antara pertengahan tahun sampai akhir tahun sedangkan sekarang sudah melewati pertengahan tahun.

Bisa jadi Wulan berkata jujur tapi tidak menutup kemungkinan juga kalau istrinya sedang berdusta agar bisa menemui selingkuhannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status