Share

Kebohongan

Bagi Venus yang pernah melihat kebohongan Altezza dengan matanya sendiri akan sulit bisa mempercayai pria itu kembali.

Jadi, ketika Altezza mengatakan akan mengikuti gathering dari kantornya weekend ini—sama sekali Venus tidak percaya.

Dia memang tidak mengkonfirmasi kepada orang-orang di kantor Altezza karena tidak ada satu pun yang Venus kenal tapi feeling-nya sangat kuat, Altezza sedang membohonginya.

Padahal hati Venus sudah mulai luluh melihat Altezza yang bersemangat saat fitting baju pengantin dan sikapnya yang kembali hangat juga mesra.

Venus yang tengah menggosok giginya di wastafel kamar mandi apartemen pun tertawa sumbang menatap ke cermin mendengar pemikirannya sendiri.

Kemudian raut wajahnya menyendu, tatap matanya kosong kembali.

Venus mengembuskan napas panjang kemudian membasuh mulutnya dari busa pasta gigi.

Setelah itu Venus mandi dan pergi bekerja tanpa sarapan.

Semenjak memergoki perselingkuhan Altezza, selain hidup Venus tidak lagi bergairah—dia juga tidak nafsu makan.

Setiap hari gundah melanda sampai terkadang dia ‘hilang’ sebentar di tengah-tengah obrolan.

Apa Venus perlu mengunjungi psikiater?

Sekarang dia tengah mengemudikan mobilnya sendiri untuk tiba di kantor.

Dalam perjalanan ponselnya berdering, nama ‘Ambu’ muncul di layarnya.

Venus menekan earphone yang tersangkut di telinga untuk menjawab panggilan tersebut.

“Neng … geulis,” sapa ambu dari ujung sambungan telepon sana.

Ambu adalah panggilan Venus untuk ibunya.

“Iya Ambu? Ambu sama abah sehat?”

Dan Venus memanggil ayahnya dengan sebutan Abah.

“Alhamdulillah … Ambu sama abah sehat, kamu sehat?.”

“Syukurlah … kalau Ambu sama abah sehat … Venus juga sehat, Ambu.” Raganya sehat tapi tidak dengan jiwanya.

“Ada apa Ambu telepon pagi-pagi?”

“Giniii, Ambu teh mau tanya … warna tema dari dekor pesta pernikahan kamu teh apa? Ambu mau sesuaikan sama seragaman keluarga dan karyawan abah.”

Abahnya Venus adalah seorang tuan tanah dan pemilik hektaran perkebunan teh yang terletak di Lembang, Bandung, Jawa Barat.

Beliau juga memiliki peternakan sapi dan pemasok daging utama ke Restoran, Caffe dan Hotel selain pasar.

Sebetulnya Venus tidak perlu bekerja hingga merantau ke Jakarta.

Venus bisa membantu abah mengelola perkebunan dan peternakan tapi dia ingin mandiri dan merasakan tinggal di kota besar.

Jadilah dia mengambil pekerjaan dengan gaji yang lebih kecil dari uang jajan yang diberikan abah setiap bulannya.

Abah dan ambu mendukung keinginan putri semata wayang mereka.

Kata abah sama ambu, biarkan saja Venus merantau karena kalau bosan dan lelah—Venus akan kembali pada mereka.

Dan ditanya perihal seragaman untuk pesta pernikahannya, kepala Venus mendadak pening.

Dadanya juga tiba-tiba sesak.

“Ambu, ini Venus lagi di jalan … nanti Venus telepon Ambu lagi ya?”

“Oh iya … iya … hati-hati di jalan ya geulis.”

“Iya ambu.”

Keduanya mengucapkan salam perpisahan sebelum memutus sambungan telepon.

Berbeda dengan Venus yang sudah yakin akan kebohongan Altezza—Archio justru tengah dilanda bimbang dengan pikirannya sendiri.

Archio kesulitan untuk membuktikan apakah benar tentang adanya gathering di kantor Wulan karena tidak memiliki akses untuk mendapat informasi yang sebenarnya dari kantor Wulan.

Archio tidak mengenal teman satu kantor Wulan, dia hanya mengenal Luna-sahabat Wulan dari SMA dan tidak mungkin dia bertanya secara langsung kepada wanita itu.

Sebetulnya ada satu nama yang bisa Archio konfirmasi namun entah kenapa dia segan menghubungi gadis itu.

Mungkin karena Archio malu sudah menjadi seorang pengecut?

Tapi hanya menghubungi Venus, satu-satunya cara yang bisa dia lakukan sekarang untuk mengetahui apakah Wulan sedang membohonginya atau tidak.

Akhirnya setelah hari kerja masuk ke jam makan siang, Archio menghubungi Venus melalui sambungan telepon.

“Venus … hape lo bunyi,” kata Diana mengendik pada ponsel Venus yang berada di atas meja kantin kantor mereka.

Usai memesan makanan, Venus bergegas mendekati mejanya kemudian meraih ponsel yang dia telungkupkan.

Nama ‘Mars’ muncul di layar, keningnya mengkerut bingung tapi kemudian firasatnya mengatakan bahwa panggilan Archio ini pasti ada hubungannya dengan kepergian Altezza ke Bali.

“Gue jawab telepon dulu ya.” Venus pamit dan langsung mendapat anggukan kepala dari Diana.

“Hallo … Mas Archi?”

Suara lembut Venus mengurungkan niat Archi untuk memutus panggilan yang cukup lama tidak mendapat jawaban.

“Venus … Sorry, apa saya ganggu?”

“Enggak, Mas … ada apa?”

“Gini … tadi malam Wulan bilang katanya long weekend sekarang dia ada gathering ke Bali … saya mau tanya, apa kamu tahu rencana kegiatan Altezza long weekend sekarang?”

Venus memejamkan mata bersama senyum ironi di bibirnya.

Dia menekan telapak tangannya pada kening dari kepala yang ditundukkan.

Mencelos hati Venus seketika.

Ternyata prasangkanya terbukti.

Kenapa dirinya yang akan menjadi istri Altezza tapi Wulan yang diajak bulan madu oleh pria itu?

Pantas saja kemarin sikapnya baik sekali, mau melakukan fitting baju pengantin dan sangat hangat juga perhatian.

Venus nyaris terpedaya.

“Brengsek!” Venus mengumpat di dalam hati.

“Mas ….” Venus mengesah.

“Ya, gimana?”

“Kemarin malam, aku ngajak Al pulang ke Bandung tapi dia bilang kalau long weekend ada gathering dari kantornya … ke Bali.”

Deg.

Jantung Archio rasanya berhenti sepersekian detik kemudian seakan diremat oleh tangan tak kasat mata.

Sakit sekali rasanya sampai tanpa sadar dia menahan napas.

Tidak menyangka kalau kemarin itu istrinya hanya sedang berakting.

Wulan pulang lebih sore, datang ke restoran ibu dan mereka makan malam bersama.

Semua itu hanya untuk mengambil hatinya agar tidak curiga dan memberi ijin pergi gathering ke Bali.

“Jadi ….” Kalimat Archio menggantung.

“Iya, udah pasti mereka pergi bersama.” Venus menyempurnakannya.

Selama beberapa saat hening, mereka sedang sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Apa Mas mau ngikutin Wulan ke Bali?”

Tiba-tiba saja Venus bertanya.

“Kamu mau ngikutin Altezza ke Bali?” Alih-alih menjawab, Archio malah balas bertanya.

Butuh tiga detik hingga Venus akhirnya kembali bersuara.

“Kayanya iya, Mas … kemarin aku enggak punya bukti dia berselingkuh, aku enggak tahu di sana nanti akan berani gerebek mereka langsung apa enggak tapi yang penting, aku ingin punya bukti perselingkuhan mereka biar Al enggak punya kata untuk mengelak lagi.”

“Oke … kalau gitu, kita harus sampai di Bali sebelum mereka.”

Apa?

Jadi Archio juga ingin ikut dalam perjalanannya menguntit Altezza dan Wulan di Bali?

“Gi-gimana, Mas?”

“Kamu bisa cuti enggak hari Kamis?”

Venus berpikir lagi, dia tidak mungkin cuti sekarang karena sudah mengambil cuti nikah dan bulan madu.

Memangnya Venus akan terus melanjutkan rencana pernikahan dengan Altezza?

“Kayanya aku bisa berangkatnya malem atau besok pagi, Mas.”

Venus keukeuh tidak ingin mengambil cuti.

“Oke, enggak apa-apa … aku akan pergi duluan, nanti kabarin kalau sudah sampai sana … oh iya, jangan naik pesawat sore, naik pesawat terakhir aja atau besok paginya karena Wulan naik pesawat sore, saya yakin Altezza juga … jadi kayanya pulang kantor mereka langsung berangkat ke Bali.” Archio berpesan.

“Iya, Mas … aku cari tiket pesawat dulu.”

“Oke, kabarin kalau kamu berubah pikiran.”

“Enggak Mas, aku enggak akan berubah pikiran.”

Venus yakin sekali dengan niatnya pergi ke Bali, kali ini dia harus mendapatkan bukti perselingkuhan Altezza.

“Oke … sampai ketemu di Bali.”

Keduanya sepakat memutus sambungan telepon.

Setelah itu Venus malah tercenung bukannya kembali ke mejanya.

“Venus,” panggil Diana dari meja mereka.

Venus membalikan badan.

Soto ayam di pesannya telah tersaji di meja dan mungkin sudah dingin.

“Telepon dari siapa?” Diana bertanya.

Venus belum sempat menceritakan secara rinci tentang hasil penelusurannya menguntit Altezza kepada Diana.

“Itu … suami dari selingkuhannya Altezza,” jawab Venus memulai ceritanya.

“Hah? Kok bisa?” Diana tampak syok.

“Jadi, waktu gue ngikutin si Al… dia masuk ke hotel, terus gue ikutin juga masuk ke hotel … pas gue minta akses kamar si Al ke resepsionis, ajaibnya gue dikasih donk … pas gue lagi cari nomor kamar si Al, gue ketemu cowok yang ternyata lagi nguntit istrinya juga, dan kebetulan … cowok itu adalah suaminya Wulan-selingkuhannya Al.”

“Hah?” Diana tercengang.

“Tapi bentar, ini Wulan yang sama yang setahun lalu bukan?”

Diana memang tahu tentang perselingkuhan Altezza di masa lalu dan ketika Venus menerima lamaran Altezza—Diana adalah orang pertama yang tidak setuju karena menurutnya selingkuh merupakan suatu karakter yang akan melekat terus pada diri seseorang sampai mati.

“Iya … kayanya ini Wulan yang setahun lalu karena kata suaminya Wulan, setahun lalu Wulan sempet keguguran dan kaya enggak sedih sama kegugurannya.”

“Ah … brengsek mereka berdua.” Diana sampai memukul meja.

Dia juga menduga kalau perselingkuhan Wulan dengan Altezza sudah kelewat batas hingga menghasilkan janin.

“Terus … lo sama suami si Wulan ini yang merasa senasib jadi deket, gitu?”

Kenapa pertanyaan Diana jadi terdengar menyindir?

Venus mengerutkan kening.

“Iyaaaaa, jadi maksud gue … lo sama si suami itu jadi intens komunikasi untuk bertukar informasi tentang mereka?” Diana mengklarifikasi.

Venus menganggukan kepalanya membenarkan.

“Kemarin malam, gue ngajak Al pulang ke Bandung tapi Al bilang long weekend sekarang dia ada gathering dari kantornya ke Bali terus barusan mas Archi-si suaminya Wulan ini telepon gue, katanya kemarin malem Wulan minta ijin mau pergi ke Bali long weekend sekarang karena ada gathering dari kantornya ke Bali,” tutur Venus dengan suara bergetar.

“Wah … gue yakin, mereka enggak gathering … mereka honeymoon.” Diana sampai menampar meja yang tidak bersalah karena merasa yakin sekali dengan ucapannya.

“Tapi memangnya setelah lo mergokin si Al sama si Wulan di hotel, lo enggak ngelabrak mereka? Terus … setelahnya lo enggak ngomong apa-apa sama si Al?”

Venus menggelengkan kepala. “Nyali gue sempet ciut, gue bingung … karena pasti gue sama Al akan berakhir membatalkan pernikahan.”

“Ya memangnya lo mau terus lanjut sama si Al?”

Pertanyaan Diana tersebut membuat Venus termenung.

“Gue harus ngomong apa sama abah ambu? Tadi pagi aja ambu telepon nanyain warna nuansa dekor venue pernikahan gue, katanya mau cari kain buat seragaman.”

Diana juga jadi mengesah mendengarnya.

“Jadi lo enggak punya bukti perselingkuhan si Al?”

“Belum, rencananya gue mau ke Bali long weekend ini sama mas Archi … gue mau bikin bukti perselingkuhan mereka.”

“Terus kalau udah punya bukti mau apa?”

Venus menatap Diana lama.

“Seenggaknya gue enggak perlu berdebat sama dia, langsung kasih bukti itu dan denger penjelasan dia.”

“Lo masih mau denger penjelasan dia? Ya pasti si Al itu akan berkilah, Venuuuusss … tahu ah, lo itu enggak tegas jadi si Al enggak jera bohongin lo.”

Diana jadi gemas.

“Jadi lo pergi Jumat?” Diana bertanya kembali.

“Harusnya sih Kamis siang, karena kata mas Archi—Wulan pergi sore … jadi kayanya Al juga pulang kerja langsung berangkat, mereka naik penerbangan sore … jadi gue harus naik penerbangan siang biar dateng duluan jadi nanti bisa ngikutin ke hotel tempat mereka menginap.”

“Ya udah, lo ambil cuti.”

Diana saja memberi saran demikian.

“Tapi gue udah ambil cuti nikah dan bulan madu.”

Segera saja Diana merotasi bola matanya.

“Jadi lo tetap mau lanjut nikah sama si Al tukang selingkuh itu?”

Venus kembali termangu, dia sedang berpikir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status