“Mau ngapain kamu? Jangan mentang-mentang udah jadi suamiku, seenak jidatmu mau ini dan itu!” sengal Laura seraya menutupi bagian dadanya padahal tubuhnya masih tertutup rapi oleh baju yang ia kenakan.
Jonathan tak merespon apa pun. Hanya membuka kaus yang masih dia pakai seraya menatap Laura yang sudah ketakutan. “Jangan mendekat!” teriak Laura kemudian. Jonathan menghela napas pelan. “Laura. Bisa nggak, jangan teriak-teriak. Kamu pikir, aku mau perkosa kamu? Kamu ini istri aku. Di mana ceritanya, istri sendiri diperkosa? Gilak!” Laura mengerucutkan bibirnya seraya menatap Jonathan yang hanya mengenakan kaus oblong saja. Lalu, mengambi tas milik Laura. “Nih! Selesaikan tugas kamu kalau tidak mau aku kasih nilai E!” Laura membolakan matanya kemudian mengambil buku yang dipegang Jonathan dengan kasar. “Kirain apaan!” ucapnya kemudian. Jonathan tersenyum miring. “Selesaikan tugasmu. Setelah itu, baru ….” Jonathan tidak meneruskan ucapannya. Ia langsung keluar dari kamar tersebut setelah mengambil laptop miliknya. “Errgghhh! Dosen gilak! Suami gilak! Cowok gilak! Baru dua jam jadi istrinya udah bikin naik darah.” Laura menggerutu kesal seraya menyelesaikan tugasnya. “Gue nikah biar bahagia. Malah disiksa kayak gini. Dalam sejarah pernikahan manusia yang ada di muka bumi ini, baru gue yang malam pertamanya suruh ngerjain tugas. Jonathan maha killer, jangan harap gue mau digrepe-grepe.” Laura menyunggingkan bibirnya seraya menyelesaikan tugasnya. Waktu sudah menunjuk angka dua belas malam. Laura masih duduk di meja kerjanya dengan pulpen masih dia pegang, bukunya masih terbuka. Jonathan yang melihatnya lantas menghela napasnya dengan pelan. Lalu mengambil buku tersebut dan melihat hasilnya. Pria itu mengulas senyum tipis seraya memeriksa tugas milik istrinya itu. “Good. Seorang Laura memang jarang memberikan nilai buruk,” gumamnya kemudian menyimpan buku tersebut ke dalam tas milik istrinya. Sementara perempuan itu ia gendong dan membawanya ke atas tempat tidur. Sudah sangat pulas dan juga letih, Laura tidak bangun sedikit pun. “Selamat tidur, istri bawel,” bisiknya kemudian mencubit hidung Laura karena gemas. Menyunggingkan senyumnya dan memilih untuk tidur di samping perempuan itu. Masa bodoh kalau nanti Laura bangun kemudian berteriak karena melihat Jonathan tidur di sampingnya. Toh! Jonathan sudah jadi suaminya. **Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Di hari Senin, harusnya sebagai pengantin baru, mereka cuti atau berbulan madu. Tapi, pengantin baru ini memilih untuk tidak berlibur atau lain sebagainya. Karena Laura sendiri yang tidak meminta hal tersebut. “Huwaaaa! Nyenyak banget,” ucapnya seraya merentangkan tangannya. “Aaaaaaa! Jonathan! Ngapain kamu tidur di sini?” Dan benar yang diprediksi oleh Jonathan. Perempuan itu akan berteriak setelah melihatnya tidur di sampingnya. “Sekali lagi kamu berteriak, jangan harap aku akan melepaskanmu!” ucapnya seraya beranjak dari tidurnya. Lalu, masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. “Dasar!” ucapnya pelan. Hampir satu jam lamanya mereka melakukan aktivitas masing-masing. Sarapan, mandi dan lain sebagainya. “Mau ke mana kamu?” tanya Jonathan setelah melihat Laura mengambil kunci mobilnya. “You pikir, aku mau nebeng di mobil you? No! Aku bawa mobil sendiri, kamu juga! Jangan sampai ada yang tahu kalau kita udah nikah.”Jonathan mengendikan bahunya. Tak peduli, ia pun masuk ke dalam mobilnya. Laura menghela napas kasar seraya menggerutu kepada suaminya itu. Setibanya di kampus. Ia kemudian menatap Virza yang tengah duduk tepat di bangku panjang depan kelasnya. “Hei!” sapa Virza kepada perempuan itu. Laura mengulas senyum tipis. “Hei. Lagi ngapain di sini?” tanyanya kemudian. “Nungguin kamu. Aku udah tahu semuanya. Yang mau aku tanyakan, kenapa kamu nggak kasih tahu?” Laura menghela napas pelan. “Maaf, Virza. Semuanya terjadi gitu aja. Aku nggak bisa menolaknya karena Papa udah maksa banget.”Virza manggut-manggut dengan pelan. “Ya sudah. Kita belum ada kata putus soalnya, Lau. Makanya aku mau minta kejelasan dari kamu.”Laura terdiam. Bahkan, ia tidak tega memutuskan hubungan tersebut dengan pria yang dia cintai itu. Matanya menatap Virza dengan penuh. “Aku … aku masih cinta, sama kamu.” Virza tersenyum lirih. “Jangan, Laura. Kamu sudah punya suami. Kita jadi teman aja, yaa.” Laura menundukkan kepalanya. “Tapi, Virza. Jangan benci aku, yaa.”“Nggak kok. Kamu tenang aja. Ya sudah kalau gitu. Hubungan kita udah jelas, hanya jadi teman dan kisah kita cukup sampai di sini aja. Aku nggak akan ganggu kamu lagi dan … congrats. Semoga bahagia, yaa.” Laura tersenyum lirih. Virza kemudian menepuk lengan perempuan itu dan melangkahkan kakinya meninggalkan Laura yang tengah menahan tangisnya. “Jangan nangis! Cengeng! Masuk!” Jonathan datang dengan memasang wajah datarnya. Ia kemudian terisak pelan seraya mengusap air matanya. Masuk ke dalam kelas tanpa menoleh kepada Jonathan yang sudah merusak suasana di pagi hari. “Kenapa lo?” tanya Misya kepada Laura. Perempuan itu menggeleng. “Habis putus, sama Virza.”“Yaa kalau elo masih berhubungan dengan Virza, yang ada bokap elo marah. Elo udah nikah, mana bisa masih pacaran sama dia. Gila, lo!” Misya menghela napasnya dengan pelan. “Kumpulkan tugas dua hari yang lalu, yang saya berikan!” titah Jonathan tanpa basa-basi. “Nitip, Mis. Males banget gue lihat muka beruang kutub itu,” ucapnya kemudian memberikan tugasnya. “Jangan terlalu benci, Lau. Nanti cinta, berabe.” Misya menggoda sahabatnya itu. “Nggak usah ngeledek lo! Gue hajar bolak –balik.” “Haha. Elo tuh ya, kalau lagi marah, bukannya serem, malah lucu.” Misya mengambil buku milik Laura dan berjalan menuju meja. “Buka halaman 38. Perhatikan contoh hal-hal yang harus dilakukan untuk membuat kurikulum dalam mengembangkan project saat melakukan pertemuan dengan klien atau karyawan sendiri. Ini hanya contoh kecil saja. Biasanya, kalau sudah terjun ke dunia pekerjaan, masih banyak yang harus kalian lakukan. “Bisa kalian lihat setelah magang nanti. Jangan lupakan materi-materi di bagian ini. Kalian bisa mempraktikannya saat itu, dan kalian akan tahu, bagaimana rancangan, strategi dan lain sebagainya. Ada yang ingin ditanyakan? Boleh dibaca dulu. Saya tunggu sepuluh menit lagi.” Semuanya langsung menunduk dan membaca materi. Hanya Laura yang masih menangkup dagunya seraya menatap kosong ke arah jendela kelas. Jonathan menghela napasnya dengan pelan seraya menatap Laura yang terlihat tidak memperhatikan dirinya saat menjelaskan materi tadi. “Laura! Ada yang ingin kamu tanyakan?” Jonathan memanggil istrinya yang kini sedang menjadi muridnya. “Nggak ada! Udah jelas,” ucapnya pelan seraya melirik suaminya itu. “Sudah paham rupanya. Kalau begitu, sebut—“Dering ponsel Laura berdering hingga membuat Jonathan naik pitam kepada istrinya sendiri. “Saat jam masuk, jangan pernah menghidupkan HP, Laura. Sudah saya jelaskan berkali-kali. Kenapa masih bebal?” teriaknya sudah kehilangan kesabaran. “Papa, yang nelepon.” Laura memberikan ponselnya kepada Jonathan. “Nih! Angkat sendiri!” ucapnya memberikan ponsel tersebut kepada Jonathan. Tak bisa marah, sementara Laura sudah menggeser tombol hijau sehingga suara apa pun pasti terdengar oleh Jason. Jonathan lantas keluar kelas, menerima panggilan tersebut. “Halo, Pa. Ini aku, Jonathan. Laura udah masuk jam kuliah. Jadi, nggak boleh nerima panggilan. Kayaknya dia lupa matiin HP-nya.” Jonathan berucap dengan lembut. “Ooh. Maaf, Jonathan. Papa pikir, kalian nggak masuk kampus. Nanti malam, ada dinner keluarga jam tujuh di The Golden Resto. Jangan lupa datang, yaa. Tolong sampaikan ke Laura, yaa.” “Baik, Pa. Nanti aku sampaikan.” Jonathan kemudian menutup panggilan tersebut dan masuk kembali ke dalam kelas. Memberikan ponsel tersebut kepada pemilik ponsel itu. Jonathan kembali memberikan materi. Misya melirik Laura yang sudah sadar dari lamunannya. “Lau?” panggil Misya kemudian. “Heung?” ucapnya pelan. “Elo tahu nggak, kalau Pak Jonathan punya pacar?” Laura menggeleng. “Nggak tahu. Kenapa emang?”“Yaa elo tanya lah. Udah putus atau belum. Gimana sih!”Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Laura lebih dulu pulang ke rumah dari Jonathan karena lelaki itu sedang ada meeting dengan para dosen lainnya. “Halo, Kak. Di mana? Nanti malam ikut dinner nggak?” Laura menghubungi Kinara. “Nggak, Lau. Itu hanya dinner keluarga suami kamu aja. Kita nggak ikutan, males juga. Lama.” “Yaah. Kak Gerald, gimana?” “Apalagi dia. Itu orang lagi bulan madu, mau kasih adik buat si kucrit.” “Haah? Udah mau punya adek? Gilak!” “Gilak kenapa? Si kucrit udah gede, kali. Udah mau tujuh tahun usianya.” “Iya sih. Ya udah deh, aku mau mandi dulu. Kirain kalian juga ikut. Males banget, nggak ada kalian.” “Laura, Sayang. Kamu udah beristri, ada keluarga baru yang harus kamu sambut. Jangan harus ada kami terus. Beradaptasi dengan keluarga baru itu wajib. Jangan sedih terus dong. Masih cinta, sama Virza? Kamu yakin, dia mau ikut kamu?” Laura menelan salivanya dengan pelan. “Masih, Kak. Tapi, mau gimana lagi. Bener sih, kata Kakak. Belum tentu mau ikut aku. Ak
Waktu sudah menunjuk angka dua belas malam. Acara dinner keluarga sudah selesai dilangsungkan. Pertemuan antar dua keluarga itu cukup sukses. “Kamu tahu nggak, tadi Mami bilang apa?” kata Jonathan kepada istrinya itu. “Tahu!” ucapnya pelan. Jonathan tersenyum tipis. “Kalau nggak mau, belum mau, jangan dipaksa.” Laura tidak menjawabnya. Matanya sudah berat, ingin ditutup dan tak ingin mendengar suara apa pun. Jonathan kemudian menghela napasnya dengan pelan dan kembali melajukan mobilnya agar segera sampai ke rumah. Lima belas kemudian, mereka pun tiba di rumah. Laura segera keluar dari mobil tersebut dan masuk ke dalam rumahnya. Tidak peduli dengan Jonathan yang masih di dalam mobil. Ting! Notifikasi pesan masuk di dalam ponsel lelaki itu. Ia baru menghidupkan ponselnya karena tidak ingin ada yang mengganggu saat pertemuan keluarga itu. Tanpa nama: [Kamu di mana? Kenapa nomornya nggak aktif?] Jonathan meghiraukan pesan tersebut. Ia memilih memblokir nomor itu dan kembali mela
Laura dan Misya menoleh kompak ke arah perempuan cantik, tinggi, langsing. Cukup sempurna bagi pria yang melihatnya sudah pasti ingin memiliki perempuan itu. “Woaah! Bidadari turun dari mana ini?” gumam Misya, terpesona melihat kecantikan perempuan itu. “Kalau boleh tahu, Mbak ini siapa?” tanya Laura kemudian. “Eeum ....” Perempuan itu tidak meneruskan ucapannya karena matanya sudah menangkap orang dia cari. Ia kemudian melebarkan senyumnya dan melangkahkan kakinya menghampiri Jonathan yang tengah berdiri sembari menerima panggilan entah dari siapa. “Wahh! Wahh! Kayaknya pacarnya laki elo tuh! Gosipnya kan, Pak Jonathan punya pacar. Kata gue juga apa, Lau. Ada kan, pacarnya. Mana cantik banget, lagi. Kagak bisa move on gue sama mukanya.” Laura menelan saliva dengan pelan seraya menatap suaminya yang terlihat marah kala perempuan itu menghampirinya. Lalu, pergi dari taman tersebut tanpa ingin tahu siapa sebenarnya perempuan itu. “Nggak panas sih, hanya gosong aja. Tapi, kenapa ha
Laura mengerjap-ngerjapkan matanya kala mendengar ucapan Jonathan.“Heuuh?” Laura menatap Jonathan dengan mulut menganga. Jonathan menghela napasnya dengan pelan kemudian memegang kedua lengan perempuan itu. Matanya menatap dengan lekat seraya tersenyum tipis. “Aku … cinta, sama kamu,” ucapnya pelan. Laura semakin salah tingkah. Dia tidak pernah tahu isi hati Jonathan yang ternyata sudah mencintainya. “Sejak kapan?” tanyanya kemudian. “Perasaan tidak pernah tahu kapan datangnya, Laura. Yang jelas, aku mencintai kamu karena kamu istri aku. Cukup tahu itu saja. Semoga kamu bisa membalasnya.” Laura kembali menganga. “Serius?” tanyanya lagi. Jonathan menggetok pelan kening istrinya itu. “Harus dibuktikan dengan apa, supaya kamu percaya kalau aku cinta, sama kamu?” Laura menghela napasnya. “Kiara. Kenapa dia sampai datang ke kampus, nyariin kamu? Katanya udah putus. Kalau belum, itu artinya kamu selingkuh. Aku ini istri kamu. Kasta tertinggi dari hanya sekadar pacar!” Jonathan men
“Misyaaa!!” Laura berteriak kemudian menghampiri Misya yang tengah duduk di resto bersama sang kekasih.“Anak dajjal! Ngapa sih lo, teriak-teriak mulu? Dikira hutan apa.” Misya menyunggingkan bibirnya.“Misya. Besok gue suruh izi nggak masuk. Tolong kasih tahu Pak Santoso, yaa. Gue nggak nggak bisa masuk. Mau ke villa.”“Bulan madu lo, yee? Udah mau nih, ceritanya? Kok bisa?” tanyanya ingin tahu.“Emang kenapa sih Lau, harus ditunda-tunda? Enak tahu!” timpal Ricko kepada Laura.“Diem, dugong! Gue nggak ngomong sama elo. Emang dasar pedofil elo mah.”Misya memukul lengan sahabatnya itu. “Sendirian?”“Mana ada. Laki gue nungguin di mobil. Nggak mau ke sini dengan alasan malas. Nggak mau lihat muka kalian pada.”Misya lantas menyunggingkan bibirnya. “Setan Kutub Utara mana mau, mencairkan suasana di sini. Kita mah bobrok, dia mah kalem.”Laura meringis pelan. “Untung ganteng, yaa. Masih ketolong dikit.”Misya memutar bola mata lagi. “Udah siap beneran? Kok bisa?”Laura menghela napasnya.
Jonathan mengangguk. “Pasti.” Kemudian menerbitkan senyumnya.Dengan sangat pelan, lelaki itu melajukan temponya dengan sangat hati-hati. Menggerakan tubuhnya hanya untuk membuat Laura terbiasa akan benda asing yang masuk ke dalam tubuhnya.“Euuh!” keluh Laura seraya menggigit bibirnya menhan desahan yang ingin dia keluarkan. Namun, bukannya mendesah, yang ada menangis lagi. Ia pun memilih untuk diam saja seperti patung boneka yang tengah digerayangi.Mata itu kemudian terbuka. Menatap Jonathan yang masih mencoba bertahan dengan sikap Laura yang sedari tadi hanya diam. Jonathan benar-benar bekerja sendiri.“Kenapa, Jo?” tanya Laura tanpa dosa.Jonathan menatap Laura kemudian mencabutnya lagi. Duduk di samping perempuan itu seraya menatapnya dengan lekat.“Maunya, kamu ini juga ikut gerak. Jangan diam kaku seperti robot begitu. Kenapa ditahan? Semangatnya laki-laki itu karena mendengar desahan istriny
Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi. Kedua insan yang baru saja menyelesaikan malam pertama yang penuh dengan drama itu masih terlelap dalam tidurnya. Sinar mentari yang mencoba menerobos masuk ke dalam kamar tersebut tak berhasil lantaran tirai itu masih ditutup dengan rapat.Namun, dering panggilan dari ponsel Jonathan membuat telinga Laura bising sebab ponsel tersebut berada tepat di sampingnya. “Heeuuhh! Siapa sih, pagi-pagi begini telepon!” gerutu Laura seraya mengambil ponsel tersebut. Keningnya mengkerut kala melihat nomor tak dikenal menghubungi suaminya itu. “Nomor siapa nih?” Laura langsung beranjak dari tidurnya seraya menggeser tombol hijau pada ponsel tersebut.“Jonathan. Kamu pikir, dengan satu nomor bisa kamu blokir. Aku masih bisa menghubungi kamu dengan berbagai nomor yang aku punya. Di mana kamu, Jonathan? Aku sudah ada di depan rumah orang tuamu.” Laura menarik tangan Jonathan seraya melempar ponsel itu. “BANGUUNN!” teriak Laura merasa kesal. Jonathan kemud
Jonathan mengambil ponselnya dan melihat siapa yang tengah menghubunginya itu. Kemudian menghela napasnya seraya menatap Laura yang tengah menggerutu kecil. Tanpa memberi tahu, Jonathan menerima panggilan tersebut seraya menatap Laura yang masih seperti tadi. "Iya, Pi?" Laura langsung menoleh ke arah suaminya itu. "Papi, ternyata." "Kamu di mana, Jo? Kok nggak ada di rumah?" "Lagi di villa, Pi sama Laura. Ada apa?" "Oh. Lagi bulan madu, yaa? Emangnya Laura udah mau?" Jonathan terkekeh pelan. "Mau lah, Pi. Telepon aku hanya untuk menanyakan itu saja?" "Nggak. Papi lagi di rumah kamu. Kita mau ke luar negeri hari ini. Nggak lama sih, hanya satu mingguan saja." "Sama Mami?" "Ya iyalah, Jonathan." "Ke mana, Pi?" "Ke Milan. Mami kamu lagi pengen jalan-jalan katanya. Tadinya mau ajak kalian juga. Tapi, Laura lagi kuliah. Nanti saja lah. Kalian bisa jalan-jalan sekalian bulan madu saat libur semester nanti. Dua bulan lagi, kan?" Jonathan menganggukkan kepalanya. "Oke, Pi. Have f