Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Laura lebih dulu pulang ke rumah dari Jonathan karena lelaki itu sedang ada meeting dengan para dosen lainnya.
“Halo, Kak. Di mana? Nanti malam ikut dinner nggak?” Laura menghubungi Kinara. “Nggak, Lau. Itu hanya dinner keluarga suami kamu aja. Kita nggak ikutan, males juga. Lama.” “Yaah. Kak Gerald, gimana?” “Apalagi dia. Itu orang lagi bulan madu, mau kasih adik buat si kucrit.” “Haah? Udah mau punya adek? Gilak!” “Gilak kenapa? Si kucrit udah gede, kali. Udah mau tujuh tahun usianya.” “Iya sih. Ya udah deh, aku mau mandi dulu. Kirain kalian juga ikut. Males banget, nggak ada kalian.” “Laura, Sayang. Kamu udah beristri, ada keluarga baru yang harus kamu sambut. Jangan harus ada kami terus. Beradaptasi dengan keluarga baru itu wajib. Jangan sedih terus dong. Masih cinta, sama Virza? Kamu yakin, dia mau ikut kamu?” Laura menelan salivanya dengan pelan. “Masih, Kak. Tapi, mau gimana lagi. Bener sih, kata Kakak. Belum tentu mau ikut aku. Aku juga sama, nggak akan mau juga. Papa juga pasti nentang banget.” “Itu kamu tahu. Udah … nikmati aja jadi pengantin baru. Udah unboxing belum?” “Unboxing dari Hongkong! Baru juga nyampe rumah, malah disuruh ngerjain tugas. Lagi pula, aku belum siap, Kak.” “Kenapa? Enak kok.”“Kak!” Kinara lantas tertawa mendengar Laura menggerutu. “Udah, yaa. Aku mau mandi dulu.” Laura kemudian menutup panggilan tersebut dan melempar asal ponsel tersebut ke atas tempat tidur. Merasa tidak ada siapa-siapa di dalam kamarnya, ia membuka pakaiannya karena hendak membersihkan diri. “Lama-lama juga kamu pasti akan melupakannya. “Astagaaa!” Laura terperanjat kaget kala mendengar suara bariton yang tengah berdiri di ambang pintu. “Maksudnya?” tanyanya seraya menutupi bagian dadanya dengan kemeja yang sudah dia lepaskan. Jonathan menghampiri perempuan itu. Sementara Laura melangkah mundur, tak ingin Jonathan mendekatinya. “Kamu sudah punya suami. Jangan mencintai orang lain yang belum tentu masih cinta sama kamu. Kamu yakin, dia masih cinta sama kamu?” tanyanya tanpa menghentikan langkahnya. Hingga mentok ke tembok, Laura sudah tak bisa mundur lagi. “Emangnya kenapa, kalau aku masih cinta sama dia?” Jonathan menghela napasnya. Ia kemudian mengambil ponselnya dan memberikan bukti jelas bahwa Virza bukan lelaki baik untuk Laura. “Masih mencintainya?” tanyanya kemudian. “Hargai keputusan papa kamu, Laura. Jangan membencinya karena sudah menjodohkan kamu dengan aku. Dia lebih tahu dari kamu, supaya anaknya tidak terjerumus dalam lubang yang salah.” Jonathan menggetok kening Laura kemudian keluar lagi dari kamar tersebut. “Mandi duluan aja. Aku mau ngopi dulu.” Laura masih menganga melihat potongan video Virza sedang bercinta dengan perempuan lain. Tanggalnya pun masih tertera dengan jelas, satu bulan yang lalu. “Anak setan!” ucapnya jengkel. Ia kemudian masuk ke dalam kamar mandi seraya menggerutu kesal. Lima belas menit berlalu. Sambil menunggu jam tujuh tiba, Laura memilih duduk di sofa kamar tidurnya sembari menikmati secangkir teh chamomile kesukaannya.“Masih cinta, sama orang yang udah khianati kamu?” Jonathan kembali membahas perasaan Laura. Perempuan itu kemudian melirik tajam suaminya yang baru selesai mandi. “Nggak usah ngeledek deh! Kamu juga punya pacar, kan? Jujur!” Jonathan mengangguk. “Punya. Dua bulan yang lalu udah putus tapi. Aku menerima perjodohan orang tua kita karena aku sudah tidak punya pacar lagi.” Laura menghela napas kasar. “Kenapa saat di kampus kamu kayak setan kutub utara. Tapi, di sini banyak ngomong.” Jonathan tersenyum miring. “Karena kamu tidak pernah mau mengenal dosen kamu sendiri lebih dekat.”“Emang sifatnya kayak gitu. Kenapa malah nyalahin aku?” “Aku nggak nyalahin kamu, Laura. Jangan salah paham.” Laura menyunggingkan bibirnya seraya melirik tajam pada suaminya itu.“Tolong jaga attitude kamu, ya. Orang tuaku sangat mengedepankan kedisipilinan. Kamu boleh ngelunjak ke aku, tapi jangan pada orang tuaku. Jangan sampai aku obrak-abrik kamu saat pulang dinner nanti.” “Nye nye nye nye!” Laura menghiraukan bahkan meledek lelaki itu. Jonathan masih sabar. Menikah dengan perempuan yang masih berusia dua puluh satu tahun merupakan tantangan tersendiri baginya. Perbedaan usia tujuh tahun itu cukup membuatnya lebih berpikir dewasa dan memahami kondisi Laura. Ia hanya geleng-geleng kepala seraya menyisir rambut tebal hitam itu. Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Di The Golden Resto, mereka sudah sampai di sana kemudian menyapa keluarga Jonathan yang sudah tiba di sana. Laura yang diminta supaya menggandeng tangan Jonathan merasa tersiksa di malam itu. Harus menerbitkan senyum, menyapa dengan ramah, dan lain sebagainya. Harus bersikap feminim juga jangan sampai lupa. “Cantik banget, menantu Mami.” Tiara memuji kecantikan sang menantu. Laura mengulas senyumnya. “Terima kasih, Mami. Mami juga cantik banget.” Tiara kemudian menggandeng menantu kesayangannya itu dan duduk di meja yang telah disediakan di sana.“Bagaimana, Sayang? Jonathan tidak pernah memarahi kamu, kan? Dia memang sedikit diam orangnya, tapi … kalau sudah marah, jangan dilawan. Bisa kayak macan kelaparan.” Laura meringis pelan. “Iya, Mi. Udah tahu kalau itu. Soalnya kalau lagi ngajar, nggak pernah sekali pun dia mengumbar senyum.” Tiara terkekeh pelan. “Menghindari kontak batin, Sayang. Supaya tidak jatuh cinta pada siapa pun kecuali sama kamu.” Laura benar-benar dibuat melting oleh mertuanya itu. Jonathan tidak semanis sang mama, hanya kejengkelan yang selalu pria itu tunjukkan kepadanya. “Makan dulu, yuk! Ini, ada makanan khas Eropa, makanan kesukaan kamu, Nak. Mami sudah siapkan semuanya. Selamat makan ya, Sayang.” Tiara begitu perhatian kepada Laura. Seolah seperti anaknya sendiri, ia sangat disayang oleh mertuanya itu. Namun, tetap saja tidak akan merubah dirinya untuk bisa jatuh cinta kepada pria yang baru saja menjadi suaminya. ‘Ini kenapa pikiran gue melayang ke arah jauh, yaa? Baru dua kali ketemu sama mamanya Jonathan, kenapa dia kayak udah kenal gue dari lama? Perasaan waktu di gereja nggak kayak gini.’ Laura menggaruk rambutnya dengan pelan. Banyak kejanggalan setelah melihat kedekatan Jonathan dengan Jason, Tiara yang begitu perhatian kepadanya, dan jangan lupakan Kayla yang sedari tadi berbincang dengan menantunya itu. “Nggak mungkin banget kayaknya kalau mereka baru kenal sebulan dua bulan. Gilak! Apa gue doang, yang nggak tahu apa-apa?” Laura menghela napasnya dengan pelan seraya menatap kedua orang tuanya yang tengah berbincang dengan menantunya itu. “Laura?” panggil Tiara kemudian. Laura menoleh. “Heuh! Iya, Mi?”“Euum … bagaimana dengan malam pertama kalian? Sukses?” Uhuk! Uhukk! Laura tersedak oleh makanan yang tengah ia kunyah. Bagaimana tidak, pertanyaan Tiara mengundang emosi jiwa karena sudah bertanya mengenai malam pertama penuh dengan emosi di dalamnya. ‘Sukses bikin gue gondok, iyaa. Malam pertama disuruh ngerjain tugas! Hanya satu di dunia ini dan itu hanya suami gue!’ Laura menggerutu dalam hatinya. “Eeuh! Belum, Mi. Kemarin aku harus ngerjain tugas kuliah dulu,” ucapnya jujur. “Walaah. Kirain langsung ditembak. Ternyata belum. Padahal, Mami udah kasih sesuatu untuk Jonathan. Udah dikasih belum, ke kamu?” Laura menggelengkan kepalanya. “Kasih apa, Mi?” tanyanya ingin tahu. Tiara menerbitkan senyum nakal. Ia kemudian memperlihatkan gambar yang ada di dalam ponselnya. Dengan mata membola, ia kemudian menelan salivanya dengan berat kala melihat gaun seksi yang sering dikenakan oleh Kayla. “Nanti pakai ya, Nak. Mami udah gak sabar, pengen punya cucu,” ucapnya tanpa dosa.“Heuh? Hukum mati?” Gerald tampak terkejut mendengar vonis untuk Frans.Jason menganggukkan kepalanya. “Ya. Bukan karena kasus penembakan yang dia lakukan pada kamu, melainkan karena polisi berhasil menemukan markas Frans. Gudang tempat menyembunyikan narkoba dan senjata illegal.”“Aaahh ….” Gerald manggut-manggut dengan pelan. “Jadi, hukumannya adalah hukum mati? Divonis mati?” tanya Gerald sekali lagi.Jason menganggukkan kepalanya. “Ya. Hukuman mati. Akan dieksekusi satu bulan lagi. Hanya membutuhkan satu kali sidang dan … dibawa ke tempat eksekusi.” Jason kembali menjelaskan kepada Gerald.Sementara Gerald tersenyum menyeringai sembari melirik Sandra yang masih duduk di sampingnya. “Baguslah. Aku lega, mendengarnya.” Gerald kemudian mengulas senyumnya kepada Jason.Jason menepuk-nepuk bahu Gerald dengan pelan. “Cepat sembuh, Gerald. Selesaikan kuliah kamu, lulus dengan predikat baik dan … menikahlah.” Jason menerbitkan senyum tulus kepada sang anak.Gerald menganggukkan kepalanya.
“Bagaimana kondisi anak saya, Dok?” tanya Jason dengan suara paniknya.Gerald langsung dibawa ke rumah sakit dan langsung dibawa ke ruang operasi untuk mengambil peluru yang menancap di tubuh lelaki itu. Kurang dari dua jam lamanya operasi itu akhirnya selesai dilakukan.“Operasinya berjalan dengan lancar. Beruntung, peluru itu hanya menancap di bagian tulang belakang. Peluru itu sudah berhasil diambil dan kondisinya saat ini masih kritis. Kami akan membawanya lima menit lagi ke ruang intensif untuk melakukan perawatan selanjutnya sampai kondisinya kembali normal,” tutur Dokter Azmi—penanggung jawab kala operasi pengambilan peluru di tubuh Gerald.Sandra menghela napas lega setelah mendengar kabar dari Dokter Azmi bila Gerald selamat dari tembakan itu. Ia mengalami sedikit trauma bila seseorang terluka oleh luka tembak. Sebab Gery meninggal oleh peluru yang menancap di jantungnya. Sehingga membuat Gery tidak bisa diselamatkan.Kayla datang dengan wajah paniknya. “Sayang. Kamu baik-bai
Waktu sudah menunjuk angka sembilan pagi. Hari ini adalah hari Minggu. Gerald dan Sandra pergi ke mall untuk belanja keperluan bayi yang sama sekali belum mereka beli.“Karena bayinya laki-laki, lebih baik kita beli warna yang lebih ke warnah laki-laki. Seperti warna biru, putih atau abu-abu. Yang cerah-cerah. Oke?” Sandra memberi saran kepada Gerald.Pria itu memberikan jempolnya kepada Sandra. “Oke, Sandra. Terserah kamu saja, yang penting semua keperluan untuk bayi kita sudah terpenuhi.”Sandra kemudian menerbitkan senyumnya. “Kita beli baju dulu kalau begitu. Baju, celana, handuk, selimut dan topi. Kaus kaki juga.”Gerald menggenggam tangan Sandra dan membawanya masuk ke dalam toko perlengkapan serba ada. Lengkap, berbagai macam keperluan bayi ada di sana.“Yang ini bagus, nggak?” Sandra menunjuk pakaian bayi kepada Gerald.“Bagus. Ambil aja yang menurut kamu cocok, Sayang. Jangan tanya aku. Aku mah terserah kamu aja. Kalau kata kamu bagus, berarti bagus juga menurut aku.”Sandra
“Bentar ... mau mandi dulu!” teriak Gerald menjawab panggilan dari mamanya itu.Sandra lantas memukul lengan lelaki itu. “Ishh! Gerald. Gak usah teriak juga.”Gerald terkekeh pelan. “Aku mau mandi dulu. Mau mandi lagi nggak?”Sandra menggeleng. “Mau cebok aja. Mandi mah besok pagi lagi aja.”“Ya sudah. Aku mandi dulu.”Sandra mengangguk. Ia kemudian beranjak dari tempat tidurnya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan area sensitifnya terlebih dahulu.Sepuluh menit kemudian Sandra keluar dari kamarnya dan menghampiri Kayla dan juga Jason serta Laura yang sudah menunggu mereka tiba di sana untuk makan malam bersama.“Gerald sudah dipanggil?” tanya Jason kepada Kayla.“Sudah. Tadi katanya mau mandi dulu,” ucapnya menjawab pertanyaan sang suami.Jason mengerutkan keningnya. “Kok, aku nggak lihat kamu naik tangga?”Kayla mengendikan bahunya. “Mungkin kamu lagi sibuk dengan rainbow cake buatan Sandra. Makanya nggak lihat aku ke atas.”Jason manggut-manggut dengan pelan. Ia kemudi
Waktu sudah menunjuk angka lima sore.Dering ponsel Sandra berbunyi, panggilan dari Gerald. Ia kemudian segera menerima panggilan tersebut.“Halo, Gerald?” tanyanya kemudian.“Sandra. Hari ini mungkin aku pulang jam tujuh malam. Banyak tugas yang harus aku kerjakan soalnya. Mengejar ketertinggalan tiga bulan nggak masuk.”“Oh iya, Gerald. Nanti aku simpan kuenya di kulkas saja kalau begitu. Kalau lapar, tinggal ambil saja di sana, yaa.”“Iya, Sayang. Ya sudah kalau begitu aku lanjut nugas lagi.” Gerald menutup panggilan tersebut setelah memberi tahu bila dirinya akan pulang malam. Khawatir Sandra cemas lantaran tidak ada pulang di jam yang biasanya dia pulang.Sandra kemudian keluar dari kamarnya setelah membersihkan diri. Menghampiri Kayla yang sedang menggendong Felisha.“Mamanya ke mana, Mom?” tanya Sandra kepada Kayla.“Lagi mandi dulu katanya. Biar pulang nggak perlu mandi lagi.”Sandra manggut-manggut. “Gerald tadi telepon, katanya dia akan pulang di jam tujuh. Ada banyak tugas
Satu minggu sebelum tragedi ....Gery menemui Jason di gedung International Global.“Ada yang ingin saya sampaikan pada Anda.” Gery berucap dengan tegas dan datar.“Apa itu?” tanyanya ingin tahu. “Silakan duduk.” Jason mempersilakan Gery duduk di sofa yang tak jauh dari kursi kebanggaannya.Gery menghela napasnya dengan panjang. “Anda masih belum ingin menyetujui hubungan Sandra dan Gerald? Saya sudah ikhlas mereka bersama, Pak Jason. Kalau masalahnya ada pada saya ....” Gery memberikan dokumen surat permohonan cerai kepada Jason.“Saya sudah menandatangani surat cerai ini dan dua minggu lagi sidang dimulai. Semoga hakim menyetujui permohonan ini dan Sandra akan saya minta mengenakan pakaian longgar agar tidak kelihatan kalau dia sedang hamil. Tolong, Pak Jason. Saya hanya bisa berharap banyak pada Gerald.“Dia pasti bisa menjaga Sandra dari Frans. Saya tidak ingin Sandra jadi budak Frans. Anda pasti tahu bagaimana kejamnya dia kepada perempuan. Bukan karena cinta, tapi obsesi. Saya,