"Mas." Anita menyambut Damian yang baru keluar dari kamar mandi. Wanita itu tersenyum manis melihat tubuh kekar suaminya yang masih basah karena bulir-bulir air masih berjatuhan dari rambutnya. "Mau aku bantu keringkan rambut Mas Mian?"
"Tidak perlu," tolak Damian begitu saja. Pria itu juga langsung berjalan melewati Anita dan mengambil baju di lemari. Tampak tak mempedulikan keberadaan Anita. "Tapi rambut kamu masih basah, Mas. Ayo, biar ku bantu keringkan." Anita kembali menawarkan bantuan. Tapi, Damian malah bertanya hal lain, "Airin sudah pulang?" Ekspresi Anita berubah, namun ia berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja. "Tidak tahu, Mas. Tapi sepertinya belum." "Ah, dia pasti sangat marah hingga bermalam di hotel. Aku harus segera menjemputnya," gumam Damian penuh keresahan. Pria itu memilih asal pakaiannya dan segera dibawa menuju kamar mandi. "Kenapa masuk ke kamar mandi lagi, Mas?" "Kamu tidak lihat? Aku ingin mengenakan pakaian." "Astaga, di sini saja, Mas. Kita 'kan sudah menikah. Lagipula ...." Damian menghentikan langkahnya dan kembali menoleh pada Anita. Menatap wanita itu yang kini malu-malu melanjutkan ucapannya, "Kita sudah melihat tubuh masing-masing, Mas." Damian sontak kembali teringat kejadian tadi malam. Saat itu, ia benar-benar tidak menginginkan Anita dan bahkan tak mempedulikan keberadaannya di kamar. Damian sibuk mengkhawatirkan Airin. Tapi Anita terus merayunya. Bukan dengan cara murahan memang. Gadis itu mengajaknya bicara dari hati ke hati. Mendengarkan keresahan Damian yang tak tega dengan keadaan Airin sekarang. Lantas gadis itu mengusulkan agar mereka menuntaskan apa yang seharusnya terjadi secepatnya agar Damian bisa kembali fokus pada Airin. Dengan kelembutan dan suara hangat Anita yang menghipnotis, Damian pun luluh dan membiarkan Anita memulai ritual malam pertama mereka. Ah, mengingat itu membuat Damian benar-benar dirundung rasa bersalah pada istri pertamanya. "Ingat, Anita. Aku melakukan ini bukan karena kehendakku," tampik Damian dengan tatapan memperingati, "setelah ini kamu kembali ke tempatmu. Tidur di ruang tamu dan jangan menggangguku dengan Airin kecuali di hari Minggu. Jangan mengingkari perjanjian yang kukatakan sebelum pernikahan." Senyum Anita kembali luntur. "Iya, Mas. Aku mengerti." "Bagus kalau begitu." "Tapi, bisakah—" Damian tak mendengarkan ucapan Anita lagi dan segera masuk ke dalam kamar mandi. ... "Engh ...." Aku melenguh pelan saat cahaya matahari serasa menusuk netraku. Sungguh silau sekali meski kedua kelopak mataku tertutup. Karena tidurku terusik begini, mau tak mau aku membuka mata. "Anda sudah bangun?" "Ah!" Aku terperanjat kaget melihat siapa yang berdiri di samping ranjang saat ini. Seorang pria! Dan dia jelas bukan suamiku! "A-apa? Kamu siapa?!" pekikku nyaring saking syoknya. "Kenapa kamu ada di kamar saya?! Keluar!" "Kamar Anda?" Pria itu menaikkan satu alisnya. "Ini kamar saya." "A-apa?!" Aku lantas mengedarkan pandangan. Benar, ini bukan kamarku! "Kenapa aku bisa ada di sini? Kamu, kan, yang membawa saya ke sini?! Apa yang kamu lakukan pada saya?!" Pria itu malah menghela napas dan berujar malas, "Sepertinya Anda sudah sehat kembali, ya, Bu. Baguslah, silakan pergi sekarang." Aku mengernyitkan kening. Kenapa pria ini memanggilku begitu? Apa aku tampak setua itu? Tunggu ... kenapa wajahnya terasa familiar? Di mana aku pernah melihat pria ini? Di saat aku diam dan sibuk mengingat-ingat, pria itu kembali angkat suara, "Saya tidak melakukan apa pun pada Anda. Saya hanya bermaksud menolong. Itupun sebenarnya terpaksa karena Anda adalah guru anak saya," jelasnya datar. Dan dengan begitu, aku sudah teringat siapa pria ini. "A-ayahnya Eca ...," gumamku lirih. Lalu kembali mendongak menatapnya. "Pak Daniel, bukan?" "Hmm," balasnya ambigu. Aku meringis pelan, merasa malu karena sudah menuduh macam-macam wali muridku. Selain itu, bagaimana bisa aku berakhir di sini? Di kamar hotel ayahnya Eca? Seolah tahu kebingunganku, Pak Daniel kembali menjelaskan, "Anda pingsan di lobi hotel kalau Anda lupa. Dan kebetulan saya ada di sana. Karena tidak tahu di mana kamar Anda, saya pun terpaksa membawa Anda ke kamar saya. Tapi tenang saja, saya tidak melakukan apa pun selain meletakkan Anda di kasur itu dan mendatangkan dokter untuk memeriksa keadaan Anda." Ia menjabarkan semuanya dengan rinci. Ah, aku merasa bersalah karena sempat berpikir buruk tentangnya. "Tapi, Pak Daniel ... kenapa Anda bisa ada di sini?" tanyaku sedikit penasaran. Ia pasti punya rumah sendiri, bukan? Kenapa bermalam di hotel? Bagaimana dengan Eca? Apa dia sendirian di rumah? Mengingat ia tidak memiliki ibu ... ah, aku seketika jadi mencemaskan anak didikku itu. "Saya memiliki urusan pribadi yang tidak perlu Anda ketahui," balasnya dingin. "A-ah, iya, maaf." Aku sempat menunduk, tapi hanya sedetik karena aku langsung menatap Pak Daniel kembali. "Tapi Eca bagaimana, Pak? Dia sendirian di rumah?" Pria itu mengernyit lagi. "Daripada banyak bertanya pada saya, bukankah Anda lebih baik kembali ke kamar Anda sendiri, Bu? Tidak kah Anda merasa tidak nyaman berduaan bersama pria lain dalam satu ruangan?" "Ah, iya!" Aku segera menyadarkan diri dan membuka selimut yang menutupi tubuhku. Syukurlah, pakaianku masih lengkap dan sama seperti semalam. Energi tubuhku pun sudah kembali dan aku tak merasa pusing lagi. Sepertinya aku sudah mulai sembuh. "Terima kasih banyak karena telah menolong saya, Pak. Saya harus bagaimana untuk membalas kebaikan Pak Daniel? Anda bilang Anda bahkan memanggil dokter, bukan? Biar saya ganti uangnya, Pak. Berap—" "Tidak perlu. Anggap saja ini ucapan terima kasih saya karena sudah menjaga Natasha di sekolah. Bahkan juga menemaninya saat saya terlambat menjemput," sela Pak Daniel. Ia tak mengubah ekspresi dan nada suaranya. Pria itu tampak benar-benar datar dan dingin. Bahkan kesan pertamaku padanya dulu juga tak begitu baik. Dia terlihat seperti orang yang acuh tak acuh. Tapi kenyataannya ia telah menolongku. Itu membuatku semakin merasa bersalah karena sudah seenaknya menyimpulkan kepribadiannya hanya dari penampilan luarnya. "Saya tetap merasa tidak enak, Pak. Saya pasti sudah merepotkan Anda. Jadi—" "Saya bilang tidak perlu." Aku refleks menautkan kedua alisku. Sedikit kesal karena dia terus memotong ucapanku. Padahal aku baru saja membatin akan kebaikannya. Ah, tenyata pria ini tetap saja sedikit menyebalkan. Daripada terus menawar dan ditolak berkali-kali olehnya hingga mengulur waktu, kuputuskan untuk menuruti kemauannya saja. "Baiklah, terima kasih banyak kalau begitu, Pak. Maaf telah merepotkan Anda. Saya permisi." "Anda akan mengajar hari ini, bukan?" Pria itu malah kembali bertanya saat aku sudah ingin beranjak pergi. "Semalam Natasha seharian memasang wajah sedih. Saat saya tanya, katanya Anda tidak pergi ke sekolah lagi." "Eh?" Aku terkejut mendengarnya. Benar juga, selama ini Eca memang sangat menempel padaku. Dulu saja ia pernah menangis karena aku cuti selama tiga hari, dan anak itu berpikir aku berhenti menjadi gurunya. "I-iya, Pak. Saya semalam kurang enak badan." "Semalam juga ada acara pernikahan kedua suami saya, Pak," lanjutku dalam hati. "Saya harap Anda tidak terlalu sering mengambil cuti, Bu Airin. Itu membuat anak saya bersedih seharian." Baiklah ... aku mengerti maksudnya. Tapi, bukankah ia terkesan agak mengatur? Maksudku, kami tidak terlalu saling mengenal sampai ia bisa berkata begitu. Aku hanya bisa tersenyum kikuk. "Saya permisi, Pak. Sekali lagi, terima kasih," pungkasku kemudian segera keluar dari sana. Aku pergi ke lobi untuk meminta kartu akses kamarku seperti yang kulakukan tadi malam, tapi urung karena tiba-tiba pingsan. Aku memang membooking kamar selama dua hari. Jadi rencananya aku tetap akan bermalam di sini. Mungkin besok baru akan pulang ke rumah. "Airin!" "Mas Damian," gumamku lirih setelah mendapati suamiku itu berjalan menghampiriku. Ah, kenapa ia harus menyusulku ke sini? Aku masih tidak ingin bertemu dengannya. "Sayang, Mas benar-benar mengkhawatirkan kamu," kata Mas Damian sembari menarik aku ke dalam pelukannya. "Kenapa kamu pergi dari rumah, Sayang? Kenapa sampai bermalam di hotel seperti ini? Kamu tahu Mas benar-benar mengkhawatirkan kamu?" "Mengkhawatirkan aku? Bukankah Mas Damian sibuk bersenang-senang dengan Anita tadi malam?" "Ai ...." "Mas bahkan tidak peduli dengan diriku yang sedang sakit." Aku melepaskan pelukannya. Menatap Mas Damian dengan sorot mata terluka. "Kenapa Mas ke sini? Aku sedang tidak ingin melihat Mas Damian." "Ai, bukan seperti itu. Dengarkan Mas, Mas sangat mencemaskan kamu tadi malam. Dan Mas ke sini untuk menjemput kamu. Mas tidak bisa berhenti mengkhawatirkan kamu, Sayang." Aku berdecih pelan. "Omong kosong." "Airin—" "Bu Airin." Ucapan Mas Damian tiba-tiba terpotong oleh panggilan Pak Daniel yang tanpa kuduga menyusulku. Tangannya terulur, memberikan handphone yang ku ketahui milik diriku sendiri. "Handphone Anda tertinggal di kamar saya." A-astaga! Aku tercekat di tempat. Kenapa Pak Daniel harus berbicara seperti itu? Aku tahu ia hanya mengatakan keadaan sebenarnya. Tapi ... di sini ada suamiku. Rasa takut dan gugup mulai berdatangan dalam diriku. Dengan was-was aku melirik suamiku itu, kulihat ia sedang menatap Pak Daniel dengan tajam sekarang. "Anda siapa?" tanya Mas Damian dingin. Terlihat aura permusuhan mulai menguar dari diri Mas Damian. Tapi Pak Daniel tak mempedulikannya dan hanya menjawab enteng, "Saya orang tua murid. Hanya ingin mengembalikan handphone Bu Airin yang tertinggal. Itu saja." "Kenapa bisa tertinggal di kamar Anda?" "Karena tadi malam ia menginap di kamar saya?" "Pa-pak!" tegurku cepat. Tidakkah pria bernama Daniel ini sadar kalau balasan ambigunya itu bisa membuat orang berpikir macam-macam? "Mas, aku bisa jelaskan. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Jadi—" Mas Damian menepis tanganku. "Apa kamu bilang? Istri saya menginap di kamarmu?" "Ah, jadi Anda suaminya? Baiklah, Maaf, Bu Airin. Sepertinya saya sudah membuat Anda panik." Apa katanya? Hei, ucapannya ini malah membuat keadaan bertambah aneh! "Apa yang kamu lakukan dengan istri saya, hah?!" Mas Damian yang sudah tersulut emosinya menarik kerah kemeja Pak Daniel. Aku berusaha melepaskannya sebelum kami bertiga menjadi pusat perhatian mengingat ini di tempat umum. "Hanya merawatnya yang sedang sakit," balas Pak Daniel masih dingin datar. Oke, aku tahu yang ia ucapkan itu fakta. Tapi tidak bisakah ia memilih kata yang baik dan benar? Yang tidak menggiring opini orang ke hal negatif! "Mas, aku bisa jelaskan! Tolong lepaskan Pak Daniel dulu. Kamu salah paham. Tidak ada apa-apa diantara kami!" "Airin! Kamu berselingkuh dengannya?!" "Mas! Sudah kubilang kamu salah paham! Ayo ikut aku dulu!" "Aku tidak percaya! Kamu menginap di kamar pria ini tadi malam? Kamu tidur bersamanya?!" Mas Damian tampak benar-benar marah dan itu membuatku merasa ketakutan. Tapi aku berusaha melawan rasa takut itu karena harus menjelaskan semuanya padanya. "Mas, aku mohon dengarkan aku dulu. Lepaskan dia, ya? Kita bicara dulu. Aku bisa jelaskan, Mas. Aku mohon." Mas Damian akhirnya mau melepaskan kerah baju Pak Daniel, meski dengan cara kasar dan sedikit mendorongnya. "Pak Daniel, sekali lagi maaf karena Anda disalahpahami lagi. Terima kasih juga sudah mengembalikan handphone saya." "Airin," tegur Mas Damian dengan ekspresi berubah dingin. Aku pun segera berpindah ke sisinya dan membawanya menuju kamar hotelku. Kebiasaan Mas Damian jika emosi maka sikapnya akan berubah-ubah. Tadi ia marah-marah, sekarang ia bungkam dengan ekspresi datar dan dingin. Dan aku yakin nanti ia akan kembali marah-marah. Setelah masuk ke dalam kamar hotelku, aku pun langsung mengajak Mas Damian bicara kembali untuk menjelaskan kesalahpahaman ini. "Mas, aku mohon dengarkan aku, ya? Jangan langsung marah." Aku menarik napas, lalu mulai menceritakan kronologisnya, "tadi malam saat aku baru sampai di hotel ini dan ingin check-in, aku tiba-tiba pingsan lagi, Mas. Lalu pria itu menolongku. Daniel namanya. Dia orang tua dari Eca, muridku. Kami sungguh tidak melakukan apa-apa, Mas. Aku bahkan hanya sebatas mengenalnya sebagai wali murid. Kami tidak memiliki hubungan lain selain itu. Jadi, kejadian ini hanyalah sebuah kebetulan. Dia menolongku karena aku guru anaknya. Itu saja. Lalu kenapa aku menginap di kamarnya? Itu karena ia tidak tahu di mana kamarku. Aku pun terkejut saat bangun dan menyadari ada di kamarnya, Mas. Tapi, dia memang tidak melakukan apa pun. Dia hanya bermaksud membantuku yang pingsan tadi malam dan memanggilkan dokter untukku. Itu saja." Aku menjelaskan panjang lebar. Tapi Mas Damian yang duduk di pinggir ranjang hanya diam dengan segala pemikiran yang berkecamuk di kepalanya. "Mas ...." Aku ikut duduk di samping Mas Damian dan mengambil tangan kanannya. "Mas, kamu mengenal aku, bukan? Mana mungkin aku berselingkuh darimu, Mas. Apalagi sampai tidur dengan pria lain. Kamu tahu aku bukan wanita seperti itu." Mas Damian mulai menoleh. Ia tersenyum getir. "Kamu pikir aku akan percaya begitu saja?" "Mas—" "Pria dan wanita bermalam dalam satu kamar hanya berdua, tidak mungkin kalian tidak melakukan apa pun!" Mas Damian bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di hadapanku. "Kamu pikir aku bodoh, Airin? Kamu pikir aku percaya dengan cerita tidak masuk akal itu? Harusnya ia membawa kamu ke rumah sakit atau bertanya pada resepsionis di mana kamarmu! Bukan malah membawa kamu ke kamarnya!" "Mas!" Aku benar-benar terkejut saat Mas Damian mendorong tubuhku hingga telentang di atas ranjang. Dalam sekejap pria itu sudah berada di atasku dan menekan leherku dengan tangannya. "M-mas! Ini sakit!" "Apa yang kamu lakukan, Airin? Kamu bermain-main di belakangku? Kamu selingkuh dengan pria lain?!" bentak Mas Damian di depan wajahku, "beraninya kamu bermalam bersama pria lain di saat aku lengah!" "Mas!" Aku menepuk-nepuk tangannya yang semakin kuat menekan leherku. Rasanya sangat sakit. Aku nyaris tidak bisa bernapas. "Kamu tidur dengannya, huh? Atau dia yang menidurimu? Di mana dia menyentuhmu?!" Mas Damian menarik paksa pakaianku hingga robek. Dengan kalap dirinya menyentuh tubuhku. Memeriksanya, padahal jelas-jelas tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada bekas percintaan seperti yang dipikirkan Mas Damian. Tapi emosinya saat ini benar-benar mengerikan. Aku tidak pernah melihat Mas Damian seperti ini. Aku sangat takut padanya sekarang. "Mas!" pekikku kesakitan. Ia begitu kasar sekarang. Bahkan tangannya di leherku masih belum dilepaskan. Energiku yang baru kembali rasanya sudah disedot habis. Padahal aku baru saja sembuh, tapi Mas Damian malah memperlakukanku begini. Rasanya begitu sakit, dan tubuhku kembali melemah sekarang. Aku menangis kencang. Merintih. Memohon agar dirinya berhenti. Tapi pendengaran suamiku itu seolah tak berfungsi. Lagi-lagi, emosi Mas Damian malah bercampur dengan nafsu. Sialnya ia malah tampak menikmatinya. Pria itu baru mau melepaskan tangannya dari leherku saat mendapatkan pelepasannya. Aku kontan terbatuk-batuk, dan ia malah menarik tubuhku hingga bangun dan memelukku erat. Tiba-tiba dirinya berbisik, "Maafkan Mas, Ai." Kamu gila, Mas. Bersambung...Setelah kejadian tadi, aku tak kunjung bangun dari ranjang. Aku memilih berdiam diri di dalam selimut. Berpura-pura tidur setiap kali Mas Damian memanggil dan membujuk agar aku berhenti merajuk.Bagaimanapun juga, perlakuannya tadi sudah sangat keterlaluan. Leherku bahkan masih terasa perih. Aku yakin akan ada jejak kemerahan bekas cekikannya di sana. Belum lagi, aku masih merasa sangat ngilu. Apa ini sudah bisa kusebut tindak kekerasan dalam rumah tangga? Ia seolah ingin membunuhku tadi. Jujur saja, aku bahkan masih sedikit takut padanya. Baru kali ini Mas Damian mengamuk sampai menyakitiku."Airin." Mas Damian memanggil lagi setelah sebelumnya pergi ke kamar mandi. Sepertinya ia sudah selesai membersihkan diri.Merasakan guncangan di ranjang, aku pun semakin mengeratkan peganganku pada selimut. Saat Mas Damian mencondongkan tubuhnya untuk melihat wajahku, aku lantas segera menutup kedua mata rapat-rapat."Ai ...."Tubuhku menegang saat ia berbisik tepat di depan telingaku. Jantungku
"Mas." Anita menyambut Damian yang baru keluar dari kamar mandi. Wanita itu tersenyum manis melihat tubuh kekar suaminya yang masih basah karena bulir-bulir air masih berjatuhan dari rambutnya. "Mau aku bantu keringkan rambut Mas Mian?""Tidak perlu," tolak Damian begitu saja. Pria itu juga langsung berjalan melewati Anita dan mengambil baju di lemari. Tampak tak mempedulikan keberadaan Anita."Tapi rambut kamu masih basah, Mas. Ayo, biar ku bantu keringkan." Anita kembali menawarkan bantuan. Tapi, Damian malah bertanya hal lain, "Airin sudah pulang?"Ekspresi Anita berubah, namun ia berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja. "Tidak tahu, Mas. Tapi sepertinya belum.""Ah, dia pasti sangat marah hingga bermalam di hotel. Aku harus segera menjemputnya," gumam Damian penuh keresahan. Pria itu memilih asal pakaiannya dan segera dibawa menuju kamar mandi."Kenapa masuk ke kamar mandi lagi, Mas?""Kamu tidak lihat? Aku ingin mengenakan pakaian.""Astaga, di sini saja, Mas. Kita 'kan sudah me
Hari ini adalah hari pernikahan Mas Damian dan Anita. Ya, pernikahan yang tidak kuharapkan itu benar-benar terjadi meski aku sudah bersusah payah melakukan berbagai cara untuk membatalkannya. Tapi, ibu mertuaku yang selalu teguh pada pendirian itu tetap memaksa melaksanakan pernikahan kedua putranya bagaimanpun keadaannya. Bahkan, jika aku tengah jatuh sakit seperti ini sekalipun.Hatiku berdenyut nyeri melihat Mas Damian dengan pakaian rapinya duduk berdampingan dengan wanita lain selain diriku. Teringat dulu aku lah yang duduk di sana, di tempat Anita. Memakai kebaya putih dan tersenyum gugup melihat Mas Damian mengucapkan ijab kabul. Tapi sekarang, posisiku itu telah digantikan oleh wanita baru.Anita ... wanita itu tampak benar-benar bahagia di samping Mas Damian. Ia seolah tidak mempedulikan statusnya yang hanya menjadi istri kedua dan pernikahan ini yang hanya pernikahan siri. Anita tampak terus menatap Mas Damian dengan tatapan mendamba seolah merasa Mas Damian akan menjadi mil
"Ini Anita, anak dari almarhumah tante Ratih. Kamu masih ingat, kan, Mas sama dia? Anita ini teman kecil kamu dulu, loh."Aku menatap sendu wanita yang duduk di samping ibu. Tak kusangka, ibu akan membawanya ke rumah kami secepat ini. Wanita itu begitu cantik. Tubuhnya ramping, rambut hitamnya panjang terurai dengan poni menghiasi dahinya, bulu matanya lentik dan kedua pipinya memiliki lesung pipit. Benar-benar definis cantik sekaligus manis di saat bersamaan.Seolah tahu apa yang kurasakan, Mas Damian tiba-tiba mengambil tangan kananku dan menggenggamnya. Aku menoleh padanya, mendapati dirinya tersenyum kecil padaku dengan sorot mata penuh arti. Ia seolah memintaku untuk percaya padanya."Mas," panggil ibu dengan tampang jengkel. Mungkin ia kesal karena penjelasannya tadi tak digubris Mas Damian. "Mas Mian, ini Anita mau kenalan, lho, sama kamu.""Ibu bilang kami pernah berteman saat kecil, kan? Itu artinya, kami sudah saling mengenal. Jadi tidak perlu berkenalan lagi," balas Mas Dam
"Airin," panggil Mas Damian saat memasuki kamar kami. Aku tak menjawab panggilannya. Bersikap seolah tak mendengar suara dan tak merasakan kehadirannya. Aku yang kini berbaring di ranjang dan membelakangi pintu, tengah sibuk terisak pilu."Sayang ...."Kemudian kurasakan ranjang bergerak, menandakan Mas Damian kini mengisi tempat kosong di sampingku. Sepersekian detik kemudian lengan kekarnya sudah melilit perutku. Pria itu menarik pelan tubuhku, mendekatkan pada tubuhnya sendiri hingga kini punggungku bersentuhan dengan dada bidangnya. Aku masih tak merespon sedikit pun bahkan saat Mas Damian menenggelamkan wajahnya di ceruk leherku."Ai ...," bisiknya lirih, "sayang, Mas minta maaf."Aku tidak butuh maaf darimu, Mas! Yang kubutuhkan adalah penolakan tegasmu atas kehendak ibu!"Airin, jangan mendiamkan Mas begini." Mas Damian semakin mengeratkan pelukannya. Napasnya yang menerpa tengkukku terasa panas. Sepertinya Mas Damian masih kurang enak badan.Ah ... bahkan saat marah dan kecewa
Hari ini aku mulai mengerjakan tugas-tugasku sebagai seorang istri lantaran sudah berbaikan dengan Mas Damian. Seperti biasa, setelah sholat subuh aku tak lanjut tidur lagi, aku akan pergi ke dapur untuk memasak sarapan. Lalu lanjut mempersiapkan kebutuhan Mas Damian dan kebutuhan diriku sendiri.Mas Damian hari ini sudah kembali mengajar. Katanya, banyak tugas-tugas dari mahasiswanya yang belum ia periksa. Untuk itu ia bisa menyerahkan ke asdos (asisten dosen), tapi hari ini ia juga harus mempersiapkan soal UTS para mahasiswanya. Itu sebabnya ia tetap harus ke kampus. Suamiku ini adalah dosen pengampu mata kuliah Linguistik Umum. Ia mengajar di fakultas FKIP, lebih tepatnya Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.Sedangkan aku adalah seorang pengajar di Taman Kanak-kanak. Kebetulan hari ini aku juga harus kembali mengajar setelah mengambil cuti tiga hari karena tidak bisa meninggalkan Mas Damian yang waktu itu masih terpuruk. Karena sekarang keadaan sudah membaik, kami pun haru