Share

Pernikahan Suamiku

Author: Julya Cancer
last update Last Updated: 2025-01-09 10:29:53

Hari ini adalah hari pernikahan Mas Damian dan Anita. Ya, pernikahan yang tidak kuharapkan itu benar-benar terjadi meski aku sudah bersusah payah melakukan berbagai cara untuk membatalkannya. Tapi, ibu mertuaku yang selalu teguh pada pendirian itu tetap memaksa melaksanakan pernikahan kedua putranya bagaimanpun keadaannya. Bahkan, jika aku tengah jatuh sakit seperti ini sekalipun.

Hatiku berdenyut nyeri melihat Mas Damian dengan pakaian rapinya duduk berdampingan dengan wanita lain selain diriku. Teringat dulu aku lah yang duduk di sana, di tempat Anita. Memakai kebaya putih dan tersenyum gugup melihat Mas Damian mengucapkan ijab kabul. Tapi sekarang, posisiku itu telah digantikan oleh wanita baru.

Anita ... wanita itu tampak benar-benar bahagia di samping Mas Damian. Ia seolah tidak mempedulikan statusnya yang hanya menjadi istri kedua dan pernikahan ini yang hanya pernikahan siri. Anita tampak terus menatap Mas Damian dengan tatapan mendamba seolah merasa Mas Damian akan menjadi miliknya seutuhnya.

Sementara aku hanya bisa menangis pilu dalam diam. Aku yakin wajahku pucat karena seminggu ini aku jatuh sakit. Kepalaku begitu pusing, badanku panas. Mira bahkan tak meninggalkanku sedikit pun karena merasa iba dengan keadaan diriku.

"Mbak ... Mbak mau ke kamar aja? Mira antar buat istirahat di kamar, ya, Mbak?" ujarnya sedikit berbisik karena kini kami tengah duduk di antara para tamu.

"Tidak perlu, Mir. Mbak ingin melihat mas-mu selesai mengucapkan ijab kabulnya."

"Mbak ...."

"Mbak akan baik-baik saja, Mira."

Adik iparku itu lantas hanya bisa menghela napas berat. Aku tahu ia sejak awal tidak sependapat dengan ibunya karena tak tega dengan kondisiku. Adik bungsu Mas Damian ini memang baik dan lembut. Berbeda dengan kakak perempuan Mas Damian yang sebelas-dua belas dengan ibu mereka.

"Berhentilah menangis. Jangan membuat orang lain berpikir kami menyakitimu, Airin. Kamu membuat kami terlihat jahat di sini," celetuk kak Fena—kakak dari Mas Damian yang kusebut di atas. Wanita itu tiga tahun lebih tua dari Mas Damian dan sudah memiliki tiga orang anak.

"Mbak Fena, jangan berbicara seperti itu," tegur Mira.

"Kamu mending jagain Naufal, Mir. Dia ada di kamar tamu, lagi tidur. Siapa tau bangun."

"Tapi, Mbak ...."

"Ayolah, Mir. Kamu tidak liat Mbak lagi kerepotan menyuapi si kembar? Tidak mau membantu kakakmu ini?"

"Tidak apa-apa, Mir ...," sahutku yang tahu Mira tak enak hati meninggalkanku, "pergi aja. Mbak tidak apa-apa di sini."

Mira menghela napas berat. Mau tidak mau beranjak pergi setelah meminta maaf karena terpaksa meninggalkanku. Sekarang, aku benar-benar merasa sendiri di antara orang-orang yang mendukung pernikahan ini.

"Makanya ... dari muda makannya jangan sembarangan, dong. Biasakan makan makanan sehat dan pintar-pintar jaga kesehatan," kelakar Mbak Fena, "oh iya, kamu kan dari kampung, pasti makannya yang gak sehat terus dari kecil. Pantas jadinya begini."

Mendengar ucapannya membuatku teringat dengan orang tuaku di kampung. Ah, kalau mereka tahu apa yang terjadi denganku, mereka pasti akan sangat sedih dan khawatir. Apalagi mereka sudah tua dan sakit-sakitan, bisa-bisa kedua orang tuaku itu syok mendengar anaknya dimadu dan berujung jatuh sakit bersamaan. Itu sebabnya, aku memilih menyembunyikan semua ini dari ibu dan bapak.

"Jujur saja, Airin, sejak awal aku tidak begitu setuju adik laki-lakiku satu-satunya menikah denganmu. Maksudku, kamu hanya perempuan dari kampung yang pasti tidak memiliki kualifikasi wanita sehat dan sempurna. Sayang, adikku itu terlalu mencintaimu waktu itu. Dan ibu yang tidak ingin dia sedih pun terpaksa merestui kalian." Aku hanya diam mendengarkan celoteh kakak iparku ini. "Lihatlah sekarang, ucapanku dulu tidak salah. Sekarang mereka juga yang menyesal karena membiarkan wanita sepertimu masuk ke dalam keluarga kami. Padahal adikku itu dari kecil selalu diajarkan hidup sehat oleh Ibu. Sayang, ia salah memilih istri hingga tidak terlambat memiliki momongan seperti ini."

Aku tidak habis pikir ... bisa-bisanya Mbak Fena berbicara seperti itu sambil menyuapi kedua anaknya yang tampak menyimak ucapan ibu mereka dengan tampang polos. Nina dan Nino baru berumur tiga tahun. Sama sekali tidak pantas mendengar permasalahan orang dewasa seperti ini.

"Mbak—"

"Baiklah, kita akan memulai proses ijab kabulnya."

Ucapanku terpotong oleh suara pak penghulu. Aku sontak kembali memusatkan atensi ke depan dan melihat Mas Damian kini sudah menjabat tangan penghulu di depannya. Aku seketika tercekat dengan jantung berdebar kencang.

"Pak Damian, ikuti saya, ya," ujar pak penghulu, meminta Mas Damian bersiap. Entah kenapa Mas Damian tampak gugup. Padahal aku berharap dia biasa-biasa saja bahkan memasang wajah datar.

"Bismillahirrahmanirrahim, saya nikahkan dan saya kawinkan Damian Ahmad Anggoro bin Abdul Anggoro dengan Anita Fitriana binti Hermawan dengan maskawin seperangkat alat sholat dan uang senilai dua juta rupiah dibayar tunai!"

Mas Damian tak langsung menyahut. Ia menatap ke arahku selama beberapa saat dan aku hanya bisa membalas dengan tatapan nanar. "Saya ... saya terima nikahnya Anita Fitriana binti Heramawan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"

"Sah para saksi?"

"SAH!"

"Alhamdulillah ...."

Kepalaku tiba-tiba berdengung kencang dan tubuhku pun melemas. Aku tidak bisa lagi menyangga berat tubuhku lantaran tak memiliki energi lagi hingga berujung pingsan. Sebelum tak sadarkan diri sepenuhnya, aku sempat mendengar teriakan khawatir Mas Damian dan para tamu yang seketika ribut. Aku juga sempat merasakan pelukan Mas Damian dan suara paniknya yang mencoba menyadarkanku kembali. Tapi sayangnya, aku lebih memilih tenggelam dalam kegelapan ini karena sungguh tak sanggup lagi.

...

Hari sudah berganti malam saat aku terbangun setelah pingsan berjam-jam. Merasa ada sesuatu yang lembab di keningku, aku pun mengambilnya. Ternyata kain kompres. Sepertinya aku demam tinggi tadi.

Aku mengedarkan pandangan, mencari keberadaan Mas Damian. Tapi tak ada. Aku sendirian di kamar ini. Tunggu ... ini bukan kamarku!

Kedua mataku terbelalak saat menyadari diriku berada di kamar tamu. Kontan saja hatiku langsung sesak disertai dengan kedua mata yang memanas.

Itu artinya ... wanita itu—Anita sedang berada di kamarku bersama Mas Damian sekarang. Berani-beraninya mereka melakukan ini! Siapa yang mengizinkannya masuk ke dalam kamarku dan Mas Damian? Harusnya ia yang ada di sini!

Aku memaksakan tubuhku untuk bangun dari ranjang. Tapi sayangnya, tubuhku masih terlalu lemah hingga membuat diriku kesulitan menyeimbangkannya. Aku lantas kembali terduduk di atas ranjang. Menangis pilu sambil membayangkan apa yang kini dilakukan Mas Damian dan istri barunya itu di kamar kami.

Aku tahu ini sebenarnya bukan kemauan Mas Damian. Pasti ibulah yang membuatku beristirahat di kamar tamu sementara Mas Damian dan Anita disuruhnya tidur di kamar kami. Ini benar-benar keterlaluan. Aku begitu marah sekarang, namun tak berdaya karena tubuhku pun begitu lemah.

Apa mereka akan melakukan itu? Batinku bertanya-tanya. Mengingat ini malam pertama mereka membuat diriku panas. Aku sungguh tidak rela jika Mas Damian bercinta dengan wanita lain.

Aku kembali memaksakan tubuhku untuk bangun dan berjalan keluar dari kamar meski tertatih. Syukurlah tidak ada ibu ataupun keluarganya di lantai atas. Entah mereka sudah pulang atau masih berkumpul di bawah, aku tidak tahu. Tapi aku yakin Mas Damian dan Anita ada di kamar kami.

Tanganku berpegangan pada tembok untuk menyangga berat tubuhku. Kamar tamu dan kamarku dengan Mas Damian jaraknya tak begitu jauh. Tapi tetap saja langkahku yang terasa berat ini membuatku membutuhkan waktu lama untuk ke sana.

"Airin!"

Saat aku sudah sampai di depan pintu kamar itu, tiba-tiba ada yang memanggil namaku. Aku lantas menoleh, mendapati ibu kini berjalan cepat ke arahku.

"Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Aku ingin kembali ke kamarku sendiri, Bu," jawabku datar. Ekspresi wajahku pun sungguh tak bersahabat. Biar saja jika ia menganggapku tak sopan padanya. Aku sudah lelah.

"Di dalam ada Anita. Jangan ganggu mereka. Sudah, kamu kembali saja ke kamar tadi. Malam ini kamu tidur di kamar tamu dulu!"

"Tapi, Bu—"

"Ini malam pertama Damian dan istri barunya, Airin! Jangan jadi pengganggu!"

Pengganggu katanya? Aku? Aku ini istri pertama Mas Damian! Sah di mata hukum dan agama! Sedangkan Anita? Dia yang menjadi pengganggu dalam rumah tanggaku dan Mas Damian!

Ingin sekali aku berteriak mengatakan semua itu pada wanita paruh baya di depanku ini. Tapi sayangnya tak bisa. Semuanya tertahan di ujung lidah. Aku masih begitu menghormati mertuaku ini meski ia terus mencampuri rumah tanggaku dan mengatur suamiku.

"Ayo, sekarang kembali ke kamar tamu. Kamu masih sakit, bukan? Biar Ibu antar," ujarnya melunak. Mungkin sedikit iba juga melihatku yang begitu pucat dengan kedua mata sembab sekarang.

"Mas Mian, emm ...."

Aku seketika membeku saat suara menggelikan itu tiba-tiba terdengar. Jantungku bahkan sempat berhenti berdetak sesaat, sebelum kembali berdegup kencang. Sangat kencang sampai aku merasa nyeri di sana. Air mataku otomatis semakin deras berjatuhan, meski tak lagi disertai dengan isakan. Kini kedua sorot mataku pun berubah kosong.

Mas Damian ... pasti sedang bersenang-senang, ya, di dalam sana?

"Airin, ayo." Ibu kembali memanggilku. Bahkan sekarang tangannya sudah mengambil tanganku untuk diajak pergi dari sana. Sepertinya ia pun mendengar suara laknat tadi

"Mira ada, Bu?" Aku malah menanyakan keberadaan adik iparku.

"Ada. Dia masih di bawah."

"Tolong panggilkan Mira, Bu. Aku ingin minta tolong diantarkan dia ke suatu tempat."

"Kamu mau ke mana, Rin? Kamu masih sakit begini. Sudah malam pula."

"Panggilkan saja, Bu. Aku ingin pergi ke mana saja asal tidak berada di sini." Aku menatap ibu nanar. "Di sini malah membuatku semakin sakit."

Ibu menghela napas berat dan mau tak mau menuruti permintaanku. "Baiklah, tunggu sebentar, Ibu panggilkan Mira dulu."

...

"Mbak, Mbak yakin mau menginap di hotel saja? Sendirian pula. Mira temani, ya, Mbak?"

"Tidak perlu, Mir. Kamu kembali saja ke rumah. Masih harus bantu-bantu membereskan sisa acara tadi, bukan?"

Adik iparku itu menggeleng dan terus memasang wajah khawatir. "Masih banyak orang lain di sana, Mbak. Lebih baik, Mira ikut menginap di hotel saja untuk menemani Mbak Airin."

Aku ikut menggelengkan kepala dan memasang senyum tipis. "Tidak apa-apa, Mir. Kamu pulang saja. Jangan khawatir, Mbak akan baik-baik saja di sini. Mbak akan langsung beristirahat saat sampai di kamar hotel nanti."

"Tapi, Mbak ... Mbak Airin sedang sakit. Tidak seharusnya ditinggalkan sendiri."

"Mira ...." Aku mengambil tangan Mira, menggenggamnya lemah dan tersenyum menyakinkan. "Mbak akan baik-baik saja. Lagipula, Mbak memang sedang ingin sendiri, Mir. Mbak tidak ingin diganggu siapa pun sekarang."

Mira lantas menghela napas berat dan mengangguk pasrah. "Kalau ada apa-apa, tolong kabari, ya, Mbak. Jika butuh sesuatu atau ingin minta jemput, langsung telepon Mira saja."

"Iya, terima kasih banyak, Mir."

Setelah itu, Mira pamit pulang ke rumah dengan mobilnya. Aku memang minta di antar ke hotel olehnya. Kupikir lebih baik aku sekalian bermalam di luar saja daripada tidur di kamar tamu dan terbayang-bayang Mas Damian bercumbu dengan Anita.

Lantas aku menggerakkan tungkaiku untuk masuk ke dalam hotel. Diriku sudah memesan kamar secara online tadi. Tinggal meminta kunci atau kartu aksesnya saja pada pegawai di sana.

Tapi sayang, sebelum aku sampai menuju meja resepsionis, denyutan kencang kembali menyerang kepalaku. Langkahku kontan berhenti dan kedua tanganku pun langsung memegangi kepala. Aku merintih tertahan, merasa tak sanggup kembali berjalan karena pandanganku mulai berkunang-kunang.

"Anda baik-baik saja?" samar-samar aku mendengar ada yang bersuara di sampingku. Diriku hanya bisa meliriknya dengan ekor mata, tapi tak bisa melihatnya dengan jelas lantaran penglihatan memburam.

"Apa Anda merasa pusing?"

Pertanyaan itu tak bisa kujawab karena sibuk menetralisir rasa sakit ini. Tapi aku merasa tak sanggup lagi saat merasakan kedua mataku memberat dan ingin kehilangan kesadaran seperti tadi. "To-tolong," cicitku, entah di dengar pria itu atau tidak.

Sebelum aku benar-benar ambruk ke lantai dan jatuh pingsan, aku bisa merasakan tangannya tiba-tiba menarik pinggulku hingga aku jatuh ke dalam pelukannya. Dia menahan tubuhku yang lemas dengan satu tangannya. Sementara tangannya yang satu lagi ia gunakan untuk mengambil handphone.

"Halo? Kamu tidak perlu datang ke kamar saya hari ini. Saya ada urusan lain," ujarnya yang masih bisa kudengar sebelum mulai kehilangan kesadaran. Setelah itu, semuanya menjadi gelap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Disakiti Suami Mandul, Dicintai Agen Rahasia   Pernikahan Suamiku

    Hari ini adalah hari pernikahan Mas Damian dan Anita. Ya, pernikahan yang tidak kuharapkan itu benar-benar terjadi meski aku sudah bersusah payah melakukan berbagai cara untuk membatalkannya. Tapi, ibu mertuaku yang selalu teguh pada pendirian itu tetap memaksa melaksanakan pernikahan kedua putranya bagaimanpun keadaannya. Bahkan, jika aku tengah jatuh sakit seperti ini sekalipun.Hatiku berdenyut nyeri melihat Mas Damian dengan pakaian rapinya duduk berdampingan dengan wanita lain selain diriku. Teringat dulu aku lah yang duduk di sana, di tempat Anita. Memakai kebaya putih dan tersenyum gugup melihat Mas Damian mengucapkan ijab kabul. Tapi sekarang, posisiku itu telah digantikan oleh wanita baru.Anita ... wanita itu tampak benar-benar bahagia di samping Mas Damian. Ia seolah tidak mempedulikan statusnya yang hanya menjadi istri kedua dan pernikahan ini yang hanya pernikahan siri. Anita tampak terus menatap Mas Damian dengan tatapan mendamba seolah merasa Mas Damian akan menjadi mil

  • Disakiti Suami Mandul, Dicintai Agen Rahasia   Kedatangan Calon Istri Kedua

    "Ini Anita, anak dari almarhumah tante Ratih. Kamu masih ingat, kan, Mas sama dia? Anita ini teman kecil kamu dulu, loh."Aku menatap sendu wanita yang duduk di samping ibu. Tak kusangka, ibu akan membawanya ke rumah kami secepat ini. Wanita itu begitu cantik. Tubuhnya ramping, rambut hitamnya panjang terurai dengan poni menghiasi dahinya, bulu matanya lentik dan kedua pipinya memiliki lesung pipit. Benar-benar definis cantik sekaligus manis di saat bersamaan.Seolah tahu apa yang kurasakan, Mas Damian tiba-tiba mengambil tangan kananku dan menggenggamnya. Aku menoleh padanya, mendapati dirinya tersenyum kecil padaku dengan sorot mata penuh arti. Ia seolah memintaku untuk percaya padanya."Mas," panggil ibu dengan tampang jengkel. Mungkin ia kesal karena penjelasannya tadi tak digubris Mas Damian. "Mas Mian, ini Anita mau kenalan, lho, sama kamu.""Ibu bilang kami pernah berteman saat kecil, kan? Itu artinya, kami sudah saling mengenal. Jadi tidak perlu berkenalan lagi," balas Mas Dam

  • Disakiti Suami Mandul, Dicintai Agen Rahasia   Perdebatan di Atas Ranjang

    "Airin," panggil Mas Damian saat memasuki kamar kami. Aku tak menjawab panggilannya. Bersikap seolah tak mendengar suara dan tak merasakan kehadirannya. Aku yang kini berbaring di ranjang dan membelakangi pintu, tengah sibuk terisak pilu."Sayang ...."Kemudian kurasakan ranjang bergerak, menandakan Mas Damian kini mengisi tempat kosong di sampingku. Sepersekian detik kemudian lengan kekarnya sudah melilit perutku. Pria itu menarik pelan tubuhku, mendekatkan pada tubuhnya sendiri hingga kini punggungku bersentuhan dengan dada bidangnya. Aku masih tak merespon sedikit pun bahkan saat Mas Damian menenggelamkan wajahnya di ceruk leherku."Ai ...," bisiknya lirih, "sayang, Mas minta maaf."Aku tidak butuh maaf darimu, Mas! Yang kubutuhkan adalah penolakan tegasmu atas kehendak ibu!"Airin, jangan mendiamkan Mas begini." Mas Damian semakin mengeratkan pelukannya. Napasnya yang menerpa tengkukku terasa panas. Sepertinya Mas Damian masih kurang enak badan.Ah ... bahkan saat marah dan kecewa

  • Disakiti Suami Mandul, Dicintai Agen Rahasia   Bercerai atau Dimadu

    Hari ini aku mulai mengerjakan tugas-tugasku sebagai seorang istri lantaran sudah berbaikan dengan Mas Damian. Seperti biasa, setelah sholat subuh aku tak lanjut tidur lagi, aku akan pergi ke dapur untuk memasak sarapan. Lalu lanjut mempersiapkan kebutuhan Mas Damian dan kebutuhan diriku sendiri.Mas Damian hari ini sudah kembali mengajar. Katanya, banyak tugas-tugas dari mahasiswanya yang belum ia periksa. Untuk itu ia bisa menyerahkan ke asdos (asisten dosen), tapi hari ini ia juga harus mempersiapkan soal UTS para mahasiswanya. Itu sebabnya ia tetap harus ke kampus. Suamiku ini adalah dosen pengampu mata kuliah Linguistik Umum. Ia mengajar di fakultas FKIP, lebih tepatnya Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.Sedangkan aku adalah seorang pengajar di Taman Kanak-kanak. Kebetulan hari ini aku juga harus kembali mengajar setelah mengambil cuti tiga hari karena tidak bisa meninggalkan Mas Damian yang waktu itu masih terpuruk. Karena sekarang keadaan sudah membaik, kami pun haru

  • Disakiti Suami Mandul, Dicintai Agen Rahasia   Berkorban

    Fana merah jambu telah menyingsing, lukisan semesta pun tampak indah melengkung di langit setelah hujan reda. Tapi suasana hatiku begitu buruk untuk mengagumi keindahan alam saat ini. Diriku baru saja mengantar keluar ibu dan Mira yang memutuskan pulang. Sebelumnya, ibu berencana ingin menginap dan membicarakan tentang masalah rahimku yang sebenarnya sehat-sehat saja. Tapi, Mas Damian meminta mereka pulang dengan alasan ingin membicarakan sesuatu yang penting berdua bersamaku. Meski Mas Damian mengatakannya secara halus, ibu tetap merasa seperti diusir. Wanita paruh baya itu pulang dengan ekspresi kesal dan perasaan dongkol. "Mas." setelah mobil Mira dan ibu benar-benar pergi, aku langsung masuk kembali ke rumah dan menghampiri Mas Damian yang masih duduk di sofa ruang tamu. Pria itu tampak memijit pelipisnya dengan ekspresi lelah. "Apa maksud Mas Damian tadi? Kenapa berkata seperti itu pada Ibu?" tuntutku meminta penjelasan. Mas Damian bangun dari tempat duduknya dan berdiri di ha

  • Disakiti Suami Mandul, Dicintai Agen Rahasia   Kalimat Canda Menjadi Nyata

    "Terima kasih telah bersedia menjadi istriku dan ibu dari anak-anakku kelak." Kalimat itu kudapatkan bersamaan dengan ciuman hangat di kening. Hanya selang beberapa saat, ia kembali menatap mataku dalam, memancarkan aura mendamba yang begitu kentara. Senyum indah tak luntur dari bibirnya. Kurasakan kedua pipiku yang direngkuh olehnya memanas saat menyadari ke mana arah netra itu memandang. "M-mas," cicitku gugup. Menurunkan pandangan karena tak mampu lagi menatapnya. Pria yang beberapa jam lalu resmi menjadi suamiku itu tersenyum. Mengusap suraiku dengan penuh kelembutan. Mengangkat daguku agar kembali menatapnya. Lalu berujar, "Hari ini, malam ini, kita sudah resmi dipersatukan. Kamu, istriku, akan menjadi satu-satunya wanita yang berdampingan denganku hingga akhir hayat nanti." Hatiku menghangat mendengar penuturannya. Mas Damian dengan segala kelembutannya tak akan pernah berhenti membuat jantungku berdebar. "Mas, bimbing aku agar menjadi Istri yang pantas untukmu, ya? Ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status