Share

Diterima di Tempat Kerja

"Mau ke mana kamu?" Marini menatap sinis Alika yang baru saja menuruni tangga. Melihat sang menantu yang dibencinya itu berpakaian rapi mirip orang kantoran, membuatnya penasaran.

"Aku mau melamar kerja, Ma."

"Kerja? Kerja apa?" Marini bersidekap sambil memandang remeh pada Alika. "Biasa apa kamu memangnya? Paling-paling melamar kerja jadi babu," ejeknya.

Alika menghela napas dalam-dalam menahan gemuruh di dada. "Ada lowongan pekerjaan di sebuah perusahaan pengembang, Bu."

Marini mencebik. "Memangnya jatah dari Raka kurang? Sampai-sampai mau melamar kerja."

Maunya perempuan ini apa sebenarnya. Berdiam diri di rumah saja, dibilangnya ongkang-ongkang. Giliran ingin bekerja, dibilangnya jatah suami kurang. Susah memang kalau orang sudah benci, semua akan terlihat salah di matanya.

"Aku pamit dulu, Bu," ucap Alika sambil meraih tangan sang mertua, namun dia tidak diizinkan untuk menyentuhnya.

"Naik taksi saja, atau ngojek sekalian. Nggak usah pake mobil apalagi minta diantar sopir!"

Alika mengangguk. Dia memang tidak berniat untuk meminta sopir mengantarnya ke tempat dia akan melamar kerja. Dirinya cukup tahu diri untuk tidak menggunakan fasilitas di rumah ini sembarangan. Padahal Alika tahu, surat wasiat Pak Arka Goenarto jelas-jelas membaginya seperempat harta keluarga ini. Tetapi, Alika bukan orang yang materialistis. Dia lebih senang menjaga keutuhan keluarga dari pada berebut harta. Apalagi dengan suami yang dicintainya.

Ojek yang Alika pesan sudah tiba di depan pintu gerbang. Perempuan itu segera naik di belakang pengemudi motor setelah memasang helm yang disodorkan padanya.

Tujuannya sebuah perusahaan bernama Darmawangsa Group yang membutuhkan waktu sekitar setengah jam jika tidak macet.

Sampai di tempat tujuan, Alika segera menuju ke sebuah ruangan di mana dia harus mengantri untuk di panggil wawancara. Posisi asisten sekretaris menjadi incarannya. Sepertinya ada beberapa perempuan seumuran dirinya yang berada di ruangan itu, dan seorang pemuda berkemeja merah marun dengan lengan baju digulung hingga siku.

Satu-satunya kursi kosong adalah di samping si pemuda yang tersenyum ramah padanya. "Permisi," ucap Alika meminta izin untuk duduk di kursi.

"Mau interview juga, Mbak?" tanya si pemuda dengan santai. Memang pembawaannya santai, tidak tegang seperti dirinya dan yang lain.

"Iya, Mas."

"Davian," ucap si pemuda sambil mengulurkan tangan.

Alika yang kebingungan terpaksa menyambut uluran tangan pemuda itu. Apakah Davian itu namanya, sepertinya iya. "Alika."

Davian mengulas senyum. "Tegang banget, Alika. Santai aja. Pasti keterima, kok. Mereka lagi butuh asisten sekretaris banget," kekehnya.

Alika mengerutkan kening. "Masnya juga mau interview?" tanyanya kemudian.

"Yah, semacam itu." Davian tergelak. "Panggil Dave aja. Nggak usah pake mas segala," lanjutnya.

Alika meringis. Dave ini lucu. Gerak-geriknya yang luwes dan pembawaannya yang santai itu sempat membuatnya berpikir dia tidak sungguh-sungguh ingin melamar pekerjaan seperti dirinya.

"Davian!" Seseorang memanggil dari balik pintu. "Masuk."

"Aku udah dipanggil. Aku masuk dulu, ya?" Senyum jenaka Dave terbit sambil melangkah menuju pintu ruangan tempat interview  berlangsung.

Alika mengangguk. Kini dadanya kembali berdebar menanti gilirannya untuk dipanggil. Ini pengalaman pertama melamar kerja. Sebelumnya, dia belum pernah mengalami bagaimana rasanya mencari cuan sendiri. Pasalnya, setelah lulus dari kuliah, dia langsung menikah dengan Raka, dan menjadi ibu rumah tangga.

Mungkin, jika suasana rumah menyenangkan dan Raka masih memperlakukannya dengan baik, dirinya tidak akan melakukan semua ini. Ini demi kesehatan mentalnya. Siapa tahu dirinya akan terhibur dengan suasana baru dan bertemu orang-orang baru.

Beberapa saat kemudian Dave keluar dengan senyum lebar sambil mengacungkan jempol padanya. Kini giliran perempuan berpakaian merah dan berambut pendek yang dipanggil. Hal itu membuat dada Alika semakin berdebar kencang.

"Nggak usah tegang. Yang meng-interview baik kok orangnya. Tadi, aku juga udah titip pesen kalau ada yang namanya Alika, jangan digalakin," kekeh Dave.

Mau tidak mau Alika meringis. Dia tahu Dave hanya bercanda. Siapa dia berani menyuruh pewawancara melakukan hal itu. Dirinya saja calon karyawan baru.

Setelah semua perempuan telah dipanggil masuk, kini tiba giliran Alika. Dia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan sebelum bangkit dari kursinya.

"Santai aja, Alika, pasti diterima, kok." Alika tersenyum mendengar kata-kata penyemangat dari Dave.

*********

Alika terkejut saat keluar dari ruang interview, Dave masih duduk di kursinya. Tetapi, dia berpikir, mungkin pemuda itu masih ada urusan. Jadi, dia hanya melempar senyum pada Dave dan berlalu dari ruangan itu setelah sebelumnya berpamitan.

Namun, Alika tidak menyangka kalau Dave ternyata mengejarnya hingga ke lobi kantor.

"Gimana tadi?" tanya Dave sambil menyejajarkan langkah dengan Alika.

"Lancar, sih. Moga-moga hasilnya baik."

"Pasti baik," sahut Dave optimis.

"Kamu kok positif banget, Dave?" tanya Alika sambil mengerutkan kening.

"Loh, hidup harus positif, kan?"

Alika tersenyum tipis. Ucapan Dave benar. Dirinya juga positif. Jika putus asa, Alika tidak akan berada di tempat ini, melainkan mendekam saja di rumah meratapi nasibnya.

"Kita tunggu hasil wawancaranya di cafe seberang kantor, yuk," ajak Dave.

Alika mengerutkan kening. "Emang hasilnya secepat itu?"

"Cepet, kok. Beberapa jam lagi juga dikabarin."

Alika melirik jam di pergelangan tangan. Masih jam sepuluh pagi. Mungkin tidak ada salahnya menerima ajakan teman barunya ini. Akhirnya Alika menyetujui.

Dan di sebuah cafe bernuansa modern minimalis di seberang kantor Darmawangsa Group, dirinya dan Dave duduk saling berhadapan di kursi dekat jendela.

"Kamu tinggal di mana, Lika? Eh, boleh panggil Lika, nggak?" tanya Dave memulai pembicaraan.

"Iya, emang panggilanku gitu," kekeh Alika. Entah kenapa dia merasa nyaman berada di dekat pemuda itu. Mungkin, karena selama tiga tahun dia tidak pernah bertemu dengan teman-temannya. Jadi, pada Dave dia seperti mendapat teman baru yang seru.

"Tinggal di mana?" Dave mengulang pertanyaannya.

"Tinggal di ...." Alika menyebutkan alamat rumahnya.

"Wah, perumahan mewah tuh," seloroh Dave.

"Numpang di rumah suami dan mertua."

"Oh." Dave menggaruk kepala yang tidak gatal. "Udah punya suami."

Alika tersenyum tipis. "Iya," ucapnya lirih. Bukan apa-apa. Jika mengingat Raka, hatinya terasa perih.

"Kirain belum punya suami loh, masih kaya ABG."

Alika tergelak. "Bisa aja kamu, Dave."

"Tapi, nggak papa, ya, aku ngajak nongkrong istri orang gini?"

Hati Alika mencelos. Mengingat sepertinya Raka juga tidak akan peduli apa pun yang dilakukannya. "Enggak lah. Suamiku orangnya open minded, kok." Iya, saking open mindednya sampai-sampai dirinya tidak lagi dipedulikan.

"Aman lah, ya," kekeh Dave. Pemuda itu memperhatikan sekilas raut wajah Alika yang tiba-tiba sedikit muram saat membicarakan suaminya. Namun, dia tidak berniat untuk menanyakan hal itu. Tentu tidak sopan untuk ukuran orang yang baru saja berkenalan.

Beberapa saat kemudian ponsel di tas Alika bergetar. Perempuan itu memeriksa layar dan seketika matanya membulat.

"Aku diterima. Cepet banget, ya?" ujarnya girang.

Dave terbahak. "Aku bilang juga apa."

**********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status