Share

Terpikat Dengan Pesona Rusa

Chat berisi kata-kata mesra di ponsel Raka memang bukan isapan jempol belaka. Raka memang memiliki hubungan dengan seorang perempuan bernama Risa, yang sudah terjalin selama dua bulan terakhir. Perempuan itu adalah sekretaris di perusahaan kolega Raka. Dan pertemuan pertama terjadi tatkala Risa ikut bosnya meeting dengan Raka untuk membicarakan proyek kerjasama antar dua perusahaan.

Pembawaan Risa yang luwes dan menyenangkan membuat Raka terpesona pada pandangan pertama. Selain perempuan itu begitu cantik, tubuhnya pun seksi dengan lekuk-lekuknya yang mampu membuat mata lelaki mengerjap-ngerjap.

Dan yang pasti, permainannya di atas ranjang mampu membuat Raka ampun-ampun. Hot bukan main.

Dan di sebuah kamar hotel bintang tiga di tengah kota Jakarta yang sedang padat-padatnya siang itu, Raka justru menghabiskan istirahat siangnya dengan menikmati hidangan terlezat yang disajikan oleh Risa.

Perempuan bertubuh sintal ini selalu membuatnya menggila. Sampai-sampai dirinya merasa hambar saat bersama Alika---istri yang dinikahinya tiga tahun lalu, yang sudah menjadi kekasihnya sejak masa kuliah.

Erangan Raka memenuhi kamar bernuansa chic, seiring dengan pergerakan tubuh Risa di atasnya. Cara perempuan itu menyentuh dadanya sendiri sambil bergerak maju mundur menggesek dua alat di bawah sana, membuat Raka hilang akal. Nikmat. Hanya satu kata itu yang mampu menggambarkan rasa yang mengaliri tubuhnya saat ini.

Apalagi ucapan-ucapan cinta yang terlontar dari bibir tebal Risa, membuatnya rakus melahap semua yang ada di wajah perempuan itu, saat dirinya mengganti posisi tubuh di atas. Sudah tidak dapat dibendung lagi gelombang kenikmatan yang melanda dan akan segera meledak.

" I love you, Maaas," erang Risa membuat Raka semakin mempercepat gerakannya menggapai puncak. Hingga beberapa saat kemudian dia terkulai lemas di atas tubuh polos perempuan itu. Sementara kedua lengan Risa terkait di pinggangnya. Mereka terlihat seperti roti tumpuk yang ditengahnya sudah dilapisi selai.

"Aahh," ucap Raka lega seraya mengangkat badan dari atas Risa dan berbaring di samping perempuan itu.

"Makasih, Sayang, makan siangnya," kekeh Raka sambil mengecup pipi Risa lembut.

Bibir Risa mengerucut. Pura-pura ngambek sepertinya karena Raka sudah mencuri cium di pipinya. "Mas ...," panggilnya sambil membuat pola-pola acak di dada Raka.

"Apa, Sayang?" tanya Raka dengan mata yang mulai berat. Habis bercinta memang enak buat tidur. Apalagi tidur siang-siang begini sambil memeluk guling yang bisa kentut.

"Kapan mau nikahin aku?"

Raka terkesiap. Ini pertama kalinya dia mendengar hal itu keluar dari mulut Risa. Hal yang selama ini belum terpikir di benaknya.

"Kenapa, sih, ngomongin nikah?"

"Ya, emang mau gini-gini aja?"

Raka terkekeh. "Baru jalan dua bulan hubungan kita, Sayang. Masa udah minta nikah aja. Kamu juga kan tahu aku masih ada istri."

Bibir Risa manyun. "Katanya udah hambar hubunganmu sama istrimu, Mas. Ya, udah, cerai aja, sih."

Raka meloloskan tawanya. "Nggak semudah itu, Ris. Di surat wasiat papaku, seperempat harta dari keluarga Goenarto jatuh ke tangan istriku. Artinya kalau aku cerai sama dia, aku harus membagi harta gono-gini dengannya."

"Ya, biarin aja, sih. Toh, kekayaanmu masih banyak."

"Nggak lah, mamaku nggak akan suka Alika dapat bagian harta keluarga kami."

"Terus?"

"Kalau kami bercerai, Alika bisa dapat semua harta gono-gini karena aku selingkuh. Di mata pengadilan aku yang salah."

Risa menghela napasnya dalam-dalam. Sepertinya, hubungannya dengan Raka akan sulit. Ya, memang dia tahu dari awal bahwa yang dipacarinya ini lelaki beristri. Tetapi, Raka sudah meyakinkannya kalau perasaannya pada sang istri sudah mulai terkikis, hambar. Entah itu hanya omong kosong belaka agar Raka bisa menikmati tubuhnya, atau memang begitu adanya. Yang jelas, Risa jatuh cinta dengan Raka, dan ingin hidup bersama dengan lelaki itu.

"Sementara gini aja dulu, ya, Sayang. Biar aku pikirkan dulu kedepannya mau gimana. Tapi, jangan khawatir, prioritaskan tetap kamu, kok."

Risa tersenyum. Entah senang atau kecewa menerima jawaban dari Raka. Yang jelas, untuk sementara ini, selama masih bisa merasakan perhatian dan kehangatan Raka, dirinya akan menjalani hubungan ini dengan suka rela.

"Mas, beliin apartemen yang agak gedean dong, Mas. Apartemenku yang sekarang sempit banget, mana dibagi berdua sama temen. Jadi, kalau Mas Raka mau nginep-nginep kan enak. Nggak keganggu sama temenku."

"Iya, Sayang. Gampang itu. Besok kalau mau kita lihat-lihat apartemen yang cocok buat kamu."

"Beneran?"

"Ya, beneran, dong. Masa bo'ongan, sih?"

"Ah, makasih, Mas." Risa menghambur ke pelukan Raka dan mendusalkan kepala di leher lelaki itu.

"Apa, sih, yang enggak buat kamu."

Risa meringis. Kalau begini, nggak nikah cepet-cepet juga nggak papa. Yang penting bisa mendapatkan fasilitas mewah dan juga kasih sayang dari Raka.

*******

Alika menggulir layar ponsel sedari tadi mencari iklan lowongan pekerjaan. Ide mencari pekerjaan sebenarnya sudah terbersit dari lama. Tetapi, dia takut mengutarakannya pada Raka.

Namun, semenjak sikap Raka berubah dingin padanya, rasa bosan Alika selalu berkutat dengan rutinitas yang sama di dalam rumah mewah ini semakin menjadi. Apalagi ditambah dengan rasa curiganya terhadap Raka yang memiliki wanita idaman lain, meskipun belum terbukti dengan mata kepalanya sendiri, membuatnya ingin mencari suasana baru, agar pikirannya tidak kalut terus menerus.

"Apa aku melamar di perusahaanya Mas Raka aja, ya?" gumamnya setelah sekian menit mencari lowongan pekerjaan di internet, namun belum juga menemukannya.

Lalu, malam hari saat Raka pulang, dia menyambut sang suami seperti biasa, meskipun tetap saja sikapnya dingin. Niatnya dia ingin membicarakan tentang idenya melamar pekerjaan di perusahaan keluarga Goenarto.

"Mas, aku mau ngomong," ujar Alika sembari meletakkan tas yang milik Raka ke atas meja.

"Apa?" tanya Raka dingin.

"Aku boleh kerja, nggak?"

"Terserah." Raka menyambar handuk bersih dari dalam lemari di walking closet dan masuk ke kamar mandi.

Alika menghela napas dalam-dalam. Padahal dirinya belum selesai bicara. Akhirnya, dia terpaksa menunggu Raka selesai mandi melanjutkan pembicaraan.

"Aku bilang terserah. Mau kerja, kek, mau ngelayap, kek. Terserah kamu lah," ucap Raka ketus, saat Alika kembali membuka pembicaraan setelah dia keluar dari kamar mandi beberapa menit kemudian.

"Tapi, Mas ... aku mau ngelamar kerja di kantor kamu."

Raka menghentikan gerakan tangannya mengeringkan rambut. Dia lalu menatap Alika dengan tatapan nanar. "Kamu punya niat apa, sih?!"

"M-maksudmu, Mas?" Tenggorokan Alika tercekat mendengar bentakan dari Raka.

"Kamu mau mata-matain aku? Kamu nuduh aku selingkuh, gitu?"

"Bukan gitu, Mas. Aku kan belum punya pengalaman kerja di mana-mana. Mungkin, lebih baik aku cari pengalaman dulu dengan kerja di kantor kamu."

"Alaah! Alasan!" sentak Raka membuat Alika terdiam. "Kamu kalau mau kerja, sana kerja. Tapi, nggak di kantorku. Aku nggak suka, ya, gerak-gerikku diawasi. Modus aja kamu!" Raka membanting handuk ke atas ranjang, kemudian mengenakan pakaian rumahan dan keluar dari kamar seraya membanting pintu.

Alika hanya bisa mengelus dada, mencoba untuk bersabar. Sungguh tidak ada niat sama sekali untuk memata-matai gerak-gerik sang suami. Dia hanya ingin mencari pengalaman kerja. Itu saja.

**********

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status