Alika hampir saja tersedak pizza yang sedang dikunyahnya. Buru-buru dia mengambil botol minum dan meneguk isinya. "Kamu dengar kan aku ngomong apa?" Dave menatap Alika lekat meskipun gadis itu mencoba menghindar. "Aku sudah menikah, Dave." Berapa kali Alika harus mengatakan hal itu pada pemuda tampan di hadapannya ini. Walaupun, lagi-lagi, pernikahan yang sudah di ambang kehancuran. "Emangnya kamu mau dicap perebut bini orang?" kekehnya, untuk mengusir ketegangan di antara dirinya dn Dave. Dave menggeleng. "Aku serus, Lika." Tatapan Dave tetap tajam menusuk relung hati Alika. Tidak ada senyum di bibir tipisnya. Pemuda ini benar-benar dalam mode serius.Alika menghela napasnya berat. "Aku nggak mau ngomongin ini." Dipalingkannya wajah ke arah lain. "Pokoknya aku bakalan nunggu sampai kamu bilang iya dan sampai kamu ceraiin si Raka brengsek itu." "Kamu emang bebal banget, ya?" "Biarin." Dave menyahut dengan santainya. Alika mengibaskan tangan sambil meggeleng pelan. "Terserah kam
Raka tidak tahu apa yang sedang dia rasakan. Seharusnya dia tidak lagi peduli dengan Alika. Sejak dia jatuh cinta dan menjalin cinta dengan Risa, perasaannya pada Alika telah memudar. Rasanya dia tidak lagi memiliki gairah dengan Alika. Risa jauh lebih seksi dan lebih liar di ranjang. Dia senang memperlihatkan kemesraannya dengan Risa pada Alika. Dia senang melihat istri pertamanya itu menderita. Raka merasa memiliki kuasa. Namun, saat tahu Alika baik-baik saja dan malah dekat dengan Davian Dharmawangsa, hatinya merasa tidak rela. Dia tidak rela melepaskan Alika begitu saja. Risa yang sedang hamil menjadi sangat manja dan cerewet. Dia juga sudah resign dari pekerjaannya dan hanya bermalas-malasan di rumah. Pelayanan Risa di atas ranjang pun berkurang drastis karena kehamilannya. Hal ini sedikit membuat Raka frustrasi. Raka tidak tahu kenapa justru sekarang Alika yang tampak lebih menarik. Jauh lebih menarik dari pada saat awal-awal pernikahannya dengan Alika dulu. Wajah Alika bahka
Tangan Alika bergetar hebat. Hampir saja benda pipih milik Raka---suaminya---yang sedang dia pegang, terjatuh, jika saja dia tidak segera memegangnya erat. Oh, sebaris kata dalam notifikasi pesan yang muncul di layar benar-benar membuat dadanya sesak.Okay, Alika tidak ingin berprasangka buruk. Tetapi bagaimana bisa? Jelas-jelas sebaris kata itu terbaca oleh netranya. I love you, Mas. Begitu yang tertulis, dari sebuah nama, Risa. Siapa Risa ini. Dan ada hubungan apa dengan Raka. Kenapa dia mengucapkan kata-kata sakral itu pada suaminya, yang seharusnya hanya Alika yang berhak untuk mengucapkannya.Satu menit, dua menit, Alika menunggu Raka keluar dari kamar mandi kamar luas mereka. Dan saat pria itu muncul dari balik pintu sambil mengeringkan rambut dengan handuk, Alika hanya bisa berdiri mematung. Gawai milik Raka masih berada di tangannya, sehingga membuat pria itu mengerutkan kening."Kamu periksa-periksa hape-ku, Lika?" Raka merebut ponsel dari tangan Alika dengan kasar, kemudian
Chat berisi kata-kata mesra di ponsel Raka memang bukan isapan jempol belaka. Raka memang memiliki hubungan dengan seorang perempuan bernama Risa, yang sudah terjalin selama dua bulan terakhir. Perempuan itu adalah sekretaris di perusahaan kolega Raka. Dan pertemuan pertama terjadi tatkala Risa ikut bosnya meeting dengan Raka untuk membicarakan proyek kerjasama antar dua perusahaan.Pembawaan Risa yang luwes dan menyenangkan membuat Raka terpesona pada pandangan pertama. Selain perempuan itu begitu cantik, tubuhnya pun seksi dengan lekuk-lekuknya yang mampu membuat mata lelaki mengerjap-ngerjap.Dan yang pasti, permainannya di atas ranjang mampu membuat Raka ampun-ampun. Hot bukan main.Dan di sebuah kamar hotel bintang tiga di tengah kota Jakarta yang sedang padat-padatnya siang itu, Raka justru menghabiskan istirahat siangnya dengan menikmati hidangan terlezat yang disajikan oleh Risa.Perempuan bertubuh sintal ini selalu membuatnya menggila. Sampai-sampai dirinya merasa hambar saat
"Mau ke mana kamu?" Marini menatap sinis Alika yang baru saja menuruni tangga. Melihat sang menantu yang dibencinya itu berpakaian rapi mirip orang kantoran, membuatnya penasaran."Aku mau melamar kerja, Ma.""Kerja? Kerja apa?" Marini bersidekap sambil memandang remeh pada Alika. "Biasa apa kamu memangnya? Paling-paling melamar kerja jadi babu," ejeknya.Alika menghela napas dalam-dalam menahan gemuruh di dada. "Ada lowongan pekerjaan di sebuah perusahaan pengembang, Bu."Marini mencebik. "Memangnya jatah dari Raka kurang? Sampai-sampai mau melamar kerja."Maunya perempuan ini apa sebenarnya. Berdiam diri di rumah saja, dibilangnya ongkang-ongkang. Giliran ingin bekerja, dibilangnya jatah suami kurang. Susah memang kalau orang sudah benci, semua akan terlihat salah di matanya."Aku pamit dulu, Bu," ucap Alika sambil meraih tangan sang mertua, namun dia tidak diizinkan untuk menyentuhnya."Naik taksi saja, atau ngojek sekalian. Nggak usah pake mobil apalagi minta diantar sopir!"Alika
Alika pulang dengan hati riang. Akhirnya dirinya memiliki pekerjaan. Memang tidak disangka akan semudah ini. Sedikit aneh juga karena mengingat dirinya belum pernah punya pengalaman kerja sama sekali.Tetapi, untuk apa dipikirkan. Yang penting, dirinya sudah memiliki pekerjaan sekarang dan tidak harus berdiam diri saja di rumah meratapi nasib. Dan, yang membuat Alika senang adalah, dia tidak harus meminta uang bulanan pada Raka untuk dikirim pada ibu dan adiknya.Alika tidak sabar ingin memberitahu kabar gembira ini pada Raka. Maka, sore hari saat suaminya itu pulang, dia segera memberitahukan padanya."Apa?!" seru Raka. Matanya nanar menahan kesal. Reaksi Raka di luar dugaan Alika."Kenapa kamu kerja di perusahaan Darmawangsa? Kamu sengaja pingin bikin aku kesel, ya?"Alika melongo. Dia tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Raka. "M-memangnya kenapa, Mas?""Kenapa, kenapa. Kamu tahu Darmawangsa itu kompetitor besar perusahaan Goenarto!"Alika terperangah. Tentu saja dirinya tidak ta
Saking banyaknya pekerjaan pertama Alika hari ini, dia harus lembur hingga jam tujuh malam. Raka tidak menelepon sama sekali. Hal itu sedikit membuatnya kecewa. Tetapi, Alika sudah menduga sebelumnya. Mungkin, jika dirinya tidak pulang ke rumah, Raka tidak akan mempermasalahkannya."Loh, Lika, masih di sini?" tanya Dave saat melintas di depan ruangannya dengan pintu terbuka."Aku baru aja selesai." Alika sedang memasukkan barang-barangnya ke dalam tas selempangnya. "Kamu juga masih di sini, Dave?" tanyanya heran."Iya, baru selesai juga," kekehnya. "Pulang bareng, yuk?""Aku naik ojek aja," sahut Alika seraya berjalan ke arah Dave yang berdiri di ambang pintu. Keduanya pun berjalan bersama menuju lift yang akan membawa mereka turun ke lobi."Jangan, dong. Aku anter aja, ya, rumahnya searah, kok.""Beneran nggak usah." Alika menggulir layar ponsel untuk memesan ojek."Takut suamimu marah, ya?" tanya Dave."Nggak, sih, cuma nggak mau ngerepotin aja.""Nggak repot, dong. Udah, ya, aku an
Alika masih meratapi kesedihannya di tepi ranjang. Berkali-kali menyusut air mata tetapi buliran bening itu susul menyusul jatuh di pipi tak berkesudahan.Ini pertama kalinya Raka berbuat kasar padanya secara fisik. Sebelum-sebelumnya, dia hanya melontarkan kata-kata menyedihkan, namun tidak sampai mengangkat tangan. Kenapa begini. Bukankah seharusnya dirinya yang marah karena melihat dengan mata kepala sendiri, Raka bermesraan dengan perempuan lain. Kenapa malah sekarang dibalik, dirinya yang dituduh oleh suaminya itu, dekat dengan lelaki lain.Dan yang membuatnya heran, kenapa Raka bisa tahu dirinya tadi siang pergi makan ke kantin dengan Dave. Apakah ada salah satu karyawan yang mengenal Raka dan melaporkan hal itu padanya.Raka marah bukan karena cemburu dirinya berinteraksi dengan lelaki lain. Dia hanya menjaga nama baik keluarga Goenarto. Dan itu membuat hatinya bertambah perih.Malam ini, Raka pergi entah ke mana. Sungguh sesak dada Alika membayangkan suaminya menghabiskan wakt