Share

Hari Pertama

Alika pulang dengan hati riang. Akhirnya dirinya memiliki pekerjaan. Memang tidak disangka akan semudah ini. Sedikit aneh juga karena mengingat dirinya belum pernah punya pengalaman kerja sama sekali.

Tetapi, untuk apa dipikirkan. Yang penting, dirinya sudah memiliki pekerjaan sekarang dan tidak harus berdiam diri saja di rumah meratapi nasib. Dan, yang membuat Alika senang adalah, dia tidak harus meminta uang bulanan pada Raka untuk dikirim pada ibu dan adiknya.

Alika tidak sabar ingin memberitahu kabar gembira ini pada Raka. Maka, sore hari saat suaminya itu pulang, dia segera memberitahukan padanya.

"Apa?!" seru Raka. Matanya nanar menahan kesal. Reaksi Raka di luar dugaan Alika.

"Kenapa kamu kerja di perusahaan Darmawangsa? Kamu sengaja pingin bikin aku kesel, ya?"

Alika melongo. Dia tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Raka. "M-memangnya kenapa, Mas?"

"Kenapa, kenapa. Kamu tahu Darmawangsa itu kompetitor besar perusahaan Goenarto!"

Alika terperangah. Tentu saja dirinya tidak tahu sama sekali. Raka juga tidak pernah membicarakan urusan kantor dengannya selama ini.

"Maaf, aku nggak tahu, Mas Raka."

Raka mendecak sebal. "Terserah kamu lah. Lakuin aja yang pingin kamu lakuin. Tapi, kalau ada apa-apa nanti nggak usah bawa-bawa nama Goenarto!" Lelaki itu menatap sekilas pada Alika dengan tatapan sinis, sebelum akhirnya keluar dari kamar dengan membanting pintu keras, seperti biasa.

Alika hanya bisa mengelus dada. Perih sekali rasanya diperlakukan seperti ini oleh suaminya. Meskipun dia mulai terbiasa dengan perlakukan kasar Raka, tetapi, setiap kali masih saja terasa sakit.

Biar bagaimanapun, Alika masih sangat mencintai Raka. Ya, tentu saja. Usia pernikahan mereka baru menginjak tiga tahun, yang seharusnya masih terasa begitu manis, meskipun mereka sudah bersama cukup lama sejak pacaran.

Dan pikiran tentang Raka yang memiliki perempuan idaman lain membuat dada Alika terasa sesak. Siapa perempuan bernama Risa itu sebenarnya. Apa dirinya harus menyelidiki. Tetapi, bagaimana caranya. Dia tidak akrab dengan siapa-siapa untuk dimintai tolong.

*******

Hari senin pagi adalah hari pertama Alika masuk kantor barunya. Dia begitu bersemangat mempersiapkan semuanya. Termasuk sebelumnya mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluan Raka ke kantor. Raka memandang dingin saat melihat Alika telah rapi dengan setelan kardigan dan rok sepan sebatas lutut.

Dan sarapan pagi itu diawali oleh nyinyiran Marini yang tiada habisnya. Dari penampilannya sampai niatnya bekerja di luar rumah. Dan seperti biasa, Raka membiarkan ibunya menghujat Alika habis-habisan.

"Palingan kamu cuma mau tebar pesona di luar sana. Alasan saja kerja. Iya, kan?" cibir Marini.

"Aku menang niat kerja, Ma," ucap Alika membela diri.

"Halah! Malu-maluin anakku saja kamu. Dikiranya nggak ngasih nafkah. Padahal kamu perempuan nggak tahu bersyukur."

"Ma, kenapa ngomongnya kaya gitu?"

"Kenapa? Nggak terima kamu? Memang kenyataannya begitu kok. Kamu pasti dulu juga merayu almarhum suamiku biar dapat bagian harta keluarga Goenarto. Iya, kan?"

"Astaghfirullah, Ma. Aku nggak pernah melakukan semua itu."

Raka beranjak dari duduknya tanpa menyelesaikan sarapan. Dia berpamitan pada Marini, dan tidak menggubris Alika sama sekali. Kemudian lelaki itu berlalu dari ruang makan begitu saja.

Seharusnya Raka menawari Alika untuk pergi ke kantor bersama, toh satu jalan. Tetapi, Alika tentu tidak berani berharap demikian karena semua itu tidak mungkin.

Seperti saat pergi ke interview beberapa hari lalu, Alika pergi ke kantor Darmawangsa Group dengan naik ojek online. Ya, sedikit percumah dia berdandan rapi, kalau akhirnya berantakan juga terkena angin.

Tiba di kantor, dirinya mencari ruangan sekretariat di mana akan menjadi ruang kerjanya. Bosnya adalah seorang perempuan berusia empat puluhan yang masih terlihat cantik dan seksi, plus elegan. Namanya Kayla. Orangnya ramah dan bersedia membantu menjelaskan detail pekerjaannya dengan sabar. Meskipun dulu saat kuliah Alika mengambil jurusan bisnis manajemen, tetap saja ini pengalaman pertamanya bekerja dan buta dengan seluk beluk perusahaan ini.

"Belum pernah punya pengalaman kerja sebelumnya, ya, Lika?" tanya Kayla.

"Belum, Bu." Alika menjawab dengan senyum malu-malu.

"Hmmm ...." Kayla mengelus dagu. Dari ekspresi wajah, perempuan itu terlihat heran. "Biasanya susah loh masuk sini kalau belum ada pengalaman kerja. Kamu ada orang dalam kah?"

"Nggak, Bu. Saya nggak kenal siapa-siapa. Dapet lowongan saja dari iklan online," terang Alika. Sebenarnya dirinya juga merasa heran dari kemarin saat mendapat pesan kalau dirinya diterima.

"Ya, udahlah, nggak papa. Yang penting nanti kamu bisa menjalankan kerjaan kamu dengan baik, ya."

"Iya, Bu."

Saat Kayla kembali ke mejanya, Alika langsung disibukkan dengan satu box surat yang harus dia sortir. Beruntung dia cukup cerdas dan mengingat petunjuk dari Kayla.

"Nanti jam istirahat siang kamu anterin kopi ke ruang dirut, ya? Pak Direktur suka kopi item gulanya dikit, jangan lupa."

" Okay, Bu," sahut Alika.

Dan dari pagi hingga menjelang istirahat siang, Alika baru selesai menyortir surat lalu mengantarnya ke beberapa divisi. Kini, dia berada di pantry untuk membuatkan kopi buat sang direktur. Pria paruh baya bernama Pak Bagas Darmawangsa. Ada beberapa orang karyawan di sana sedang melakukan hal yang sama. Namun, bedanya, mereka membuat kopi untuk diri mereka sendiri.

"Hei, ketemu lagi." Suara yang terdengar tidak asing memaksa Alika mendongak saat mengaduk kopi.

"Eh, Dave," sapa Alika sambil mengulas senyum. "Kamu juga diterima, ya?"

Dave mengangkat kedua tangan sambil mengedikkan bahu. Entah apa maksud pemuda itu, yang jelas, tentu saja dia pasti diterima bekerja di kantor ini, kalau tidak, untuk apa dia ada di sini.

"Kamu di ruangan Bu Kayla, kan?" tanya Dave saat hanya tinggal mereka berdua di pantry.

"Iya, Dave," jawab Alika sambil menaruh cangkir ke atas nampan. "Aku mau anter kopi ke ruangan Pak Bagas dulu, ya," pamitnya sambil melangkah keluar. Namun, Dave buru-buru mengejarnya.

"Ruanganku juga deket ruangan Bu Kayla," terang Dave sambil menyejajarkan langkahnya dengan Alika.

"Oh ya?"

"Lika, abis kamu nganter kopi, kita makan siang bareng, ya?" tawarnya sebelum mengetuk pintu ruang direktur. "Aku baru kenal akrab sama kamu doang soalnya. Laper, nih, tapi nggak enak makan sendiri," cerocosnya sambil mengelus perutnya yang rata.

"Mmm ... okay." Alika mengulas senyum lalu mengetuk pintu di depannya. Setelah terdengar suara seseorang memberinya izin masuk, dia pun membuka pintu.

Beberapa saat kemudian Alika keluar dan Dave masih menunggu di sana seraya menyandarkan punggungnya di dinding koridor.

"Kamu udah tahu kantinnya di mana?" tanya Alika sambil mengikuti langkah Dave.

"Tau lah," kekeh Dave.

Alika tertawa renyah. "Kamu udah keliling, ya?"

"Hari ini kerjaanku emang keliling doang," gelak Dave membuat Alika mengerutkan kening. Tetapi, sejurus kemudian, perempuan itu ikut terbahak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status